Sabtu, 22 September 2012

I PROMISE YOU



   -One Shoot-
     Hai, aku Fumiko Utsukushī Wilson. Kalian pasti bisa tebak, aku adalah seorang gadis ‘ingusan’ bermata sipit berambut pirang, berdarah Jepang-Amerika. Umurku baru menginjak sebelas tahun, tepat pada bulan September ini. Hari ini seperti biasa, aku dan tujuh sekawan bermain di halaman rumah Ginny. Mereka adalah, Shane, Kian, Mark, Bryan, Nicky, Cho, dan tentu saja Ginny.
“Bagaimana kalau kita buat permainan pernikahan saja?” usul Kian, sangat konyol. Dengan bersusah payah kami menahan tawa agar tidak meledak di depannya. Namun, sudah terlanjur, Bryan dengan terpingkal-pingkal menunjuk-nunjuk Kian. Dia menggelengkan kepala seolah melihat badut memakai rok dan sebuah bandana.
“Baiklah, jika kalian tidak mau, aku tidak ikut main!” ancam Kian berhasil membuat Bryan mematung sejenak. Gawat! Jika Kian sudah ngambek, lain lagi ceritanya! Dengan perlahan-lahan aku mendekatinya,
“Kian, bukannya kita tidak menyetujui usulanmu, namun bolehkah kita mengganti permainan sekali-kali?” tanyaku pada Kian. Semua nya diam, seperti terbius untaian kata hipnotis secara tiba-tiba. Syukurlah, tak berapa lama Kian kembali tersenyum dan berhenti dari sikap merajuknya yang hampir membuat kami pingsan jika mom nya tau.

   Saat ini kami bermain permainan ular tangga. Ketika giliran pion ku yang jalan, tiba tiba mom memanggilku dari daun pintu rumah. Aku segera memenuhi panggilan mom dengan berlari kecil.
“Masuklah sebentar, ada yang harus kita bicarakan bersama dad di dalam.” Aku mengangguk sambil berteriak ke arah Mark,
“Lanjutlah dulu, aku akan segera kembali!”
Ketika aku masuk ke dalam rumah, di sudut pintu terdapat tumpukan koper besar dan beberapa kotak besar berjejeran. Tiba-tiba firasatku sama sekali tak menyenangkan, aneh! Aku mengikuti mom dari belakang menuju taman di belakang rumah. Terlihat dad sedang menghirup secangkir teh hijau dengan gulungan Koran yang sudah dibacanya. Dia melirik ke arahku sambil tersenyum.
“Utsu, duduklah.” Perintah ayah. Memang, dad sudah terbiasa memanggilku Utsu, teman-teman memanggilku Fumi dan mom memanggilku Miko. Aku segera duduk di samping mom yang sedang membetulkan kacamatanya.
“Begini Utsu, tugas dad di London sudah selesai. Dan kamu tau itu, kita harus segera pindah ke Jepang.” Bagai mendengar sambaran petir di siang bolong, aku terkaget-kaget. Mom membelai rambutku, mencoba menenangkanku sejenak.
“Dengarkan dulu, Miko.” perintah mom. Dad kembali menyeruput the hijaunya hingga tak tersisa.
“Jadi dad harap kamu bisa menerima keputusan ini secara lapang. Kita akan berangkat besok pagi. Pergilah main bersama teman-temanmu. Beritahu mereka sehingga tidak kaget esoknya.” Perintah dad. Tanpa sadar aku berlari, air mata ku jatuh, aku hampir menabrak pintu karena terburu-buru.

   Sekejap aku melihat mereka bermain sangat gembira. Dengan suasana seperti ini, tak mungkin aku menganggu mereka dengan berita itu. aku tidak tega merusak kebahagiaan mereka. Kemudian aku berjalan perlahan membelakangi mereka menuju ke sebuah ayunan yang mulai rapuh dimakan waktu. Aku menangis, belum tentu di Jepang sana aku akan menemukan teman sebaik mereka.
“Hei ada apa? Mengapa tidak bergabung bersama kami?” ucap seseorang di belakang. Aku hanya diam terisak seolah tidak menanggapi pertanyaan nya.
“Mengapa menangis?” tanyanya kembali. Ternyata Shane. Dia salah satu sahabat lelaki terbaikku, dan yah mungkin jika aku sudah dewasa dan mengenal apa itu cinta, aku akan jatuh cinta padanya. Shane menduduki ayunan di sampingku. Nyiiit nyiiiiit…. Suara derit ayunan membuyarkan lamunanku.
“Cerita padaku, oke?” ucapnya. Lalu, aku menceritakan semua persis apa yang dibilang dad tadi. Dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis padaku.

   “Begitulah,” aku mengakhiri cerita.
“Fumi, walau aku masih kecil namun aku mengerti bagaimana kondisi dad mu.” Dengan perlahan Shane memberiku semangat dan pengertian yang tak kusangka-sangka sebelumnya. Setelah itu Shane meninggalkanku. Tapi beberapa saat aku merasa ada yang memelukku. Aah! Teman-teman! Mungkin aku akan merindukan pelukan kalian!
“Mengapa tidak terus terang saja? Kita bisa mengerti kok.” Ucap Cho. Mereka semua mengangguk.
“Kami akan merindukan mu, Fumi. Sangat sangat merindukan mu.” Ucap Ginny, terisak. Mereka semua menangis seolah belum siap menerima kepergianku ke Jepang.
“Sssst, sudahlah, lewat telepon bisa kan? Atau web cam? Bryan pasti punya!” ujarku mencoba mendiamkan mereka. Bryan menangguk pelan dengan mata berkaca-kaca.
“Aku…. Ku mohon kalian mendoakan ku agar mendapatkan teman seperti kalian di Jepang nanti.” Mereka semua kembali menangis. Satu persatu memelukku dengan penuh kesedihan. Ketika giliran Shane memeluk, dia membisikkan ku beberapa kata,
“Ketika dewasa nanti, aku yakin kita dapat berjumpa lagi. Aku akan merindukan mu, Fumiko Utsukushī Wilson!” aku tercenang.
“Me too.” Sahutku.
***
   “Ayo Utsu! Pesawat segera berangkat!” peringat dad ketika aku masih bercakap-cakap dengan teman-teman di ruang tunggu airport. Aku segera memeluk mereka secara bersamaan.
“Kami akan merindukanmu! Fumiko!” teriak mereka bersama-sama. Kulihat Ginny dan Cho sangat terpukul. Dan dia, Shane, hanya tersenyum hingga hilang dari pandanganku.
***
*6 TAHUN KEMUDIAN*
 
@Yokohama, Kanto, Japan.
   Liburan musim panas telah usai. Kini aku harus fokus terhadap kelanjutan sekolah.
“Mom, bagaimana jika aku melanjutkan ke luar negeri?” tanyaku pada mom. Mom yang terlihat sangat lelah menyuruhku mendekat. Kondisinya mulai melemah karena faktor usia. Rambut nya yang mulai memutih, kulitnya yang mulai mengeriput membuatku sedikit tak tega meninggalkannya sendirian. Walau adik kandungku bernama Katsumi Utsukushī Wilson masih ada untuk menemani mom.
“Panggil dad ke sini. Kita bicarakan baik-baik. Mom sudah tidak kuat lagi berdiri terlalu lama.” Pintanya. Aku segera mencari dad di halaman belakang, ternyata dad sedang mengurus phon sakuranya. Sangat indah. Aku memanggil dad dan memintanya ke kamar mom.

   “Ada apa? Sepertinya sangat serius.” Tanya dad. Aku hanya tersenyum sambil memandang wajah kuyu mom. Aku mulai menjelaskan keinginan dan alasanku ke luar negeri. Jika kalian ingin juga mengetahui, salah satunya aku ingin menambah pengalaman.
“Jadi bagaimana? Apakah dad setuju?” Tanya mom. Dad membelai rambutku yang ku ubah menjadi warna hitam.
“Dad setuju, asal kamu memang benar-benar yakin, Utsu. Dad rasa sudah sepantasnya kamu berkeliling dunia untuk mencari ilmu.” Terang dad yang membuatku tersenyum bahagia.
“Baiklah, jika dad setuju, mom juga setuju, Miko.” ucap mom.
“Terimakasih mom, dad. Kalian memang orang tua yang terbaik!” ujar ku sumringah sambil memeluk mereka berdua.
“Jadi, hanya mom dan dad saja yang dipeluk?” tiba-tiba Katsu berdiri di belakangku sambil memanyunkan bibirnya. Dengan cepat kupeluk dia sambil tertawa lepas.

   Syukurlah, aku sudah menemukan universitas terbaik di negara pilihanku, Germany. Semoga saja usahaku tidak sia-sia. Dad, mom juga Katsu selalu berdoa semoga ku berhasil. Setelah menunggu beberapa minggu, aku mendapatkan sebuah surat pernyataan resmi dari universitas setempat, bahwa AKU LULUS! TUHAAAAN!! Terima kasih atas semuanya! Aku segera memeluk Dad, mom dan Katsu. Besok pagi aku akan berangkat ke Berlin memulai perjalanan. Yang tentunya sangat berharga!

*Keesok Harinya*

   “Jaga dirimu baik-baik, nak.” Pesan dad dan mom. Tak tahan, aku menangis di pelukan mereka. Begitu juga Katsu, aku akan sangat merindukannya. Dengan lambaian tangan aku berpamitan pada mereka karena pesawat segera landing.
“Aku akan pulang secepatnya! Tunggu aku di rumah, mom, dad juga Katsu! Aku mencintai kalian!” teriakku di tengah keramaian orang.
Deru pesawat seolah menenggelamkan kesedihanku, aku terlarut dalam lagu ‘Moments’ nya Westlife. Mengingatkan kenanganku pada mom, dad juga Katsumi.
“Aku janji, aku akan pulang!” tegasku dalam hati.
***

   Setelah melepas lelah semalaman di apartemen baru, dengan semangat yang memuncak aku memulai hidup baru di negeri orang. Dengan berpakaian se rapi mungkin, aku melangkah ke mobil menuju universitas.

@Universitas Hamboldt Berlin

Sesampainya di kelas filsafat, keadaan sudah sangat ramai. Ketika aku berjalan menuju kursi, semua orang memandangku dengan aneh. Beginikah cara orang Jerman menyambut tamu? Ah sudahlah, belum terpikir olehku. Beberapa saat kemudian, seorang dosen masuk dengan kacamata tebalnya. Baiklah, My first lesson begins!

   Sekian lama berkutat dengan buku-buku yang wow tebalnya dan dosen yang berbeda statistik sifatnya, rocker dalam perutku mulai menggelar konser! Dengan perbekalan roti isi sayur dan sebotol susu hangat, aku segera duduk di kursi taman. Ternyata aku tidak sendirian. Di sampingku ada seorang lelaki bermata biru indah menyala.
“Sangat lapar! Sialnya dompetku tertinggal di kamar!” kesalnya sambil memegangi perut. Kebetulan roti isi yang kubawa ada dua potong, mungkin bisa membantunya.
“Maaf, jika anda lapar, makanlah ini. Kebetulan saya punya lebih.” Aku mengulurkan padanya. Ketika dia menoleh, tiba-tiba otakku berputar ke masa lalu, saat aku masih di London dan bermain dengan teman-teman!
“Mark?” ucapku hati-hati. Begitu sebaliknya, mirip orang idiot, lelaki itu membuka mulut. Entah apa maksudnya. Aku mencoba memperhatikan wajahnya kembali.
“Ka.. kamu siapa??” dia balik bertanya. Hahaha, bodoh! Aku lupa pasti dia tidak mengenaliku, lihat saja penampilanku. Jauh berbeda dari yang dulu.
“Betul-betul tidak ingat? Aku teman kecilmu di London yang pindah ke Jepang.” Jelasku. Dia mengucek-ngucek mata sambil memakan roti yang ku beri.
“Fumiko Utsukushī Wilson? Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba dia memelukku. Sangat erat! Pelukan itu mengingatkan ku pada pelukan teman-teman yang lain.
Dan tiba-tiba pula dia pergi sambil berteriak,
“Pulang nanti tunggu aku di gerbang ya! Bye! Aku sangat merindukan mu!”
***
   “Cepatlah… cepatlah bergerak…” mohonku melihat putaran jam. Masih ada lima menit untuk segera keluar.
“Etnologi merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara satu bangsa dengan ….” Sebelum dosen itu menyelesaikan penjelasannya, waktu sudah menunjukkan waktu ‘go home’. Dengan terburu-buru hampir jatuh di anak tangga, aku menerobos beberapa mahasiswa sambil meminta maaf. Huuufh! Maklum, sebentar lagi aku akan melepas rindu pada teman lama ku. Ku harap selain Mark juga.

   Aku memperhatikan sekitar. Mana dia? Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik arah dan …
“Oh my God! I can’t believe!!! Kian, Mark, Bryan, Nicky??? Kalian di sini juga???” kaget ku setengah mati. Apa tidak sangat surprise aku bisa melihat mereka kembali? Ya Tuhan! Lalu mereka memelukku seperti biasanya.
“Kamu terlihat lebih cantik, Fumi!” puji Nicky yang membuatku melayang. Hahaha!
“Kalian bisa tau aku di sini dari siapa?” tanyaku pada mereka.
“Mark! Dia berlari ke arah kami yang sedang makan sampai-sampai tersedak!” ucap Bryan
“Dia bilang seperti ini, Hei!! Dengar! Gadis Jepang itu!!! aku menemuinya di taman! Sangat cantik! Dia bersekolah di sini! “ lanjut Kian. Sejenak kami tertawa bersama. Aku rasa ada yang kurang,
“Shane, dia lanjut kuliah di mana?” tanyaku. Mereka semua terdiam, hanya Mark tersenyum simpul.
“Dia melanjutkan kuliah di Irlandia.” Ucap Mark.
“Hanya Shane saja yang kamu tanyakan, ya?” goda Kian. Ckckckck!
“Tiii.. tidak tidak! Baiklah, bagaimana dengan Cho dan Ginny?”
“Mereka berdua tetap di Inggris.” Sahut Nicky.

   “Hei, bagaimana kalau kita buat party? Dalam rangka melepas rindu bersama? Hee?” usul Mark. Kami semua tersenyum dan menyetujui.
“Baiklah, Fumi, besok malam kamu akan ku jemput. Jangan lupa pakai long-dress ya, LONG-DRESS!” ingat Mark. Aku hanya menggembungkan pipi sambil menangguk pelan.
***
*Esok Malam* 
   Sudah dua jam aku berhadapan dengan berbagai baju pesta. Huuuf! Aku kira lebih rumit membuat tesis dibanding memilih baju party, ternyataaa…! Ting tooong! Oh no, Mark sudah tiba. Aku berteriak dari dalam apartemen, sekeras mungkin.
“WAIT FOR A MOMENT!!!” Ah sudahlah, hanya party kecil-kecilan kok! Akhirnya dengan tampang pasrah aku keluar menemui Mark. Tak berapa lama, Mark terkesima melihat penampilan ku. Pasti sangat buruk!
“Apa? Ada yang salah? Aku memang bukan orang yang modis!” kesalku.
“Tidaak tidak! Jujur, kamu terlihat lebih cantik! Akhirnya permintaanku memakai long-dress terpenuhi juga.” Ucapnya. Malam ini aku mengenakan long-dress berwarna Pink lembut dengan higheels pink tua dan sebuah pita di poni berwarna merah cerah. Yaah lumayan lah, lebih feminim dari biasanya. “Yuuk, capcusss!” ajakku. Mark mempersilahkan ku duduk di mobil nya.

   Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah rumah, sangat megah!
“Ini rumah ku. Mari masuk.” Ajak Mark. Katanya party dilaksanakan di halaman belakang sambil barbeque-an lah. Tepatnya di samping kolam renang dengan remangnya cahaya bermandikan sinar rembulan. 
“Ada sesuatu yang harus kubeli. Aku tinggal dulu ya, minumlah dulu. Yang lain akan segera datang.” Ujar Mark.
“Baiklah,”
Satu jam… dua jam… berlalu, Mark tak kunjung datang, mana hari semakin larut. Yang lain juga tidak datang-datang! Ke mana sih mereka??? Segera ku raih handphone dari dalam tas mini ku, ketika aku ingin menelepon Mark, tiba-tiba…  lampu berbentuk hati berwarna-warni menyala menggantung di atas kolam renang. Dentingan gitar dan sayup tuts piano mengiringi seseorang bernyanyi,



“When I'm with you
When I'm with you
When I'm with you you you
You.. when I'm with you

What good's a memory
Without you there with me
The morning sun ain't the same
Without you here
You are the summer breeze
The wind blowing through the trees
You make the loneliness
All just disappear

Nothing replaces your touch
Never stop believing in us
They try to break us
But we stand strong in love
They'll be no distance too far
I gotta be where you are (right where you are)

I don't wanna face this world alone
Without you by my side
You're the only one
That makes it feel like home
And I need you in my life
When you're not around I'm feeling
Like a piece of me is missing
When it feels like the day is closing in
Somehow I find the faith
To make it through
When I'm with you
When I'm with you
When I'm with you you you
You.. when I'm with you…..”

   Siapa sih?? Seperti orang tanpa jasad, bernyanyi dalam keremangan malam membuatku merinding namun juga tersentuh. Arloji menunjukkan pukul sepuluh tepat. Aku bersiap-siap untuk pulang dengan perasaan sedih juga kesal.
“SUUUURPRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSSSSSSSSSEEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!” teriak orang-orang di belakangku.
“Cho?? Ginny?? Kalian???” aku tercenang melihat mereka semua. Dengan gembira dan rasa haru kami semua menangis sambil berpelukan.
“Dan kamu tahu siapa yang bernyanyi tadi?” Tanya Cho. Dia memetikkan jari, entah apa maksudnya. Seseorang sangat tampan keluar dari persembunyiannya.
“Shane?” aku menutup mulut. Aku tak percaya,
“Maafkan aku, Fumi. Aku berbohong mengatakan Ginny, Cho dan Shane tidak di sini. Itu adalah ide gilaku memberi kejutan untukmu. KAMI SANGAT MERINDUKANMU!” jelas Mark.
“Shane, c’mon, bro!” ucap Nicky mengedipkan mata. Shane berjalan perlahan ke arah ku sambil membawa sesuatu.
“Kamu ingat yang ku katakan delapan tahun yang lalu, saat kita berpelukan di bandara London. Saat kita dewasa, aku yakin Tuhan mempertemukan cinta kita dengan proses yang beda. Dan sekarang ku rasa waktunya, saat kita sudah sama-sama berpikir maju….” Shane mngeluarkan sebuah kotak kecil, lalu membukanya,
“Cincin?” lagi-lagi aku terkaget.
“Fumiko Utsukushī Wilson, will you be my girlfriend?” hampir pingsan, benar benar hampir pingsan! Lelaki yang mungkin ku tebak akan kucintai nantinya benar-benar menyatakan itu padaku. Dengan segenap perasaan aku menjawab dengan mantap,
“Aku rasa…… Yes! I want to be your girlfriend!” Kemudian, Shane memelukku hingga berhasil diabadikan Bryan! Hahaha! Ternyata naluri persahabatan dan cinta sejati, dapat mempertemukan ku padanya, Shane Steven Filan. Terimakasih Tuhan, juga mom, dad dan Katsumi!

“True love will bring you a true anyway”

TAMAT

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


     
-Chapter 3-

     Gerimis mulai mereda berganti sinar emas yang mulai muncul dari celah dedaunan rimbun. Suasana teduh mencoba menyelip dari sisi-sisi sempit jendela mobil yang aku tumpangi di bawah kebisuan. Tanah yang basah sedikit lengket membuat perjalanan itu tak begitu mulus.

“Kau sedang sibuk dengan tesisi mu, ya?”
Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari mulutnya. Aku agak tersentak dan hanya mengangguk kecil.
“Kau tau dari mana?” mataku tajam menyelidiknya. Dengan sorot mata ke depan, dia menjawab sambil tertawa renyah.
“Yang perlu kau tau hanya, siapa saja berhak mengetahui hal yang dia tidak ketahui.” Dengan bibir mengerucut, aku menyilangkan tangan dan mempalingkan wajah ku sebelum dia memerkan senyum nya itu.
“Terimakasih untuk tumpangan mu yang kedua kalinya ini.” Ucapku seraya meninggalkannya menuju pelataran apartemen. Dia hanya membunyikan klaksonnya dan menancap gas dengan perlahan.

     “Menyebalkan!” dengusku sambil melayangkan tas ke sebuah kursi goyang tak jauh dari alat pemanas ruangan. Tidakkah ada manusia yang akan kutemukan di pemakaman selain dia? Pikirku melambung hingga batas kemampuan. Selama dua hari ini, aku memang selalu bertemu dengannya. Setidaknya hanya dengan bertatap muka.
“Aku rindu kampus.”
Mataku melayang mencoba menarik ulang kembali suasana di ruangan yang penuh desas-desus para mahasiswa. Sepertinya hatiku mulai tergerak untuk segera kembali ke kursi kuliahku. Baiklah, kumantapkan janjiku ini untuk kembali larut dalam diskusi menggelikan bersama teman dan menatap keseriusan seorang dosen barparas datar tanpa sunggingan senyum sedikitpun di urat bibirnya. It’s time to take a bath! Dengan langkah sedikit lega, kuraih handuk dan segera masuk ke kamar mandi.

“So Fresh!” aku sedikit berteriak setelah semua pakaian lengket di tubuh. Hari masih siang, secepat inikah kukatupkan mata hingga pagi besok? Tidak mungkin. Jika iya, kalian bisa memanggilku “Putri Tidur Abad ke -20”. Hahaha, tidak, aku hanya bercanda. Krunyuuuuukkkk….. Astaga, sepertinya jam makan siangku telah berdenting berkali-kali dan aku baru sadar sekarang? Aku segera berlari menuju dapur dan melihat isi tudung saji. Bagus, tidak ada tersisa sedikitpun makanan di sana. Sepertinya aku memang benar-benar hampir mati kelaparan semalam, hingga pagi ini sepotong roti keras pun tak bersisa.
“Atau kuajak dia untuk makan siang bersama?” pertimbangan bodoh itu sejenak melintas di kepalaku sampai-sampai dengan susah payah kutepis agar tak mampir kembali. Gila sekali jika aku memang benar-benar memintanya! Andai kau masih di sini Brad, kau adalah orang pertama yang akan kumintai untuk menemaniku makan siang hari ini. Kembali aku mengingat masa indah yang kuhabiskan bersama Bradey sebelum kematian menjemputnya. Kembali kusesali perbuatan egois ku hingga Brad yang menjadi korban. Apakah sepenuhnya salahku? Pertanyaan ini yang selalu menjadi pembelaan ketika bayangan menyalahkanku. Sambil melihat isi majalah kuliner edisi terbaru, aku berjalan menyusuri jalan menuju kamar dan meraih sebuah tas berwarna biru tua bercorak gelombang kecil sangat menarik. Errr, aku membuka pintu mobil sambil bersungut tak jelas, “Don’t you leave me alone…” mungkin tepatnya pernyataan ini tertuju pada almarhum Brad. Karena raga sudah terlalu lelah dan lapar sudah menyerang semakin cepat, akhirnya aku memutuskan mengendarai mobil sendiri dari pada harus mengantri menunggu bus lewat di terminal yang sangat ramai akan lautan manusia.

     “Damn! It’s really a traffic jam!” sungutku ketika terjebak dalam rimbunan kendaraan roda dua maupun empat. Darah panas ini mengalir begitu saja hingga mencapai titik pembuluh darah paling rendah. Dan akhirnya meledak melalui suara ‘terompet’ mobil begitu panjang. Aku mengusap dada, mencoba menenangkan diri sejenak. Haruskah aku keluar mobil, menorobos para pengendara lantas menyalahkan si petugas lalu lintas?  Ah! Gila sekali jika memang itu akan benar-benar kulakukan.

     Pedal rem kuinjak, aku memarkirkan mobil di sisi kiri depan gerbang keluar sebuah restaurant yang baru kujajali sekarang ini.
“D-ZoneLife” lidahku sedikit pegal mencoba mengeja satu per satu huruf yang terpampang jelas di sebuah tembok gramit bercorak cantik.
“Permisi nona, apakah anda pengunjung baru di sini?” Tanya seorang petugas berbadan kekar bermata tajam menusuk mataku hingga ke lensa juga kornea. Aku hanya mengangguk dan menatapnya malas.
“Peraturan di sini, bagi setiap pengendara roda empat harus membayar registrasi demi keamanan kendaraanya.” Lidahnya berkelat dan membiarkan liurnya berhamburan. aku mendelik merasakan kejijikan berada di dekatnya.
“Bisakah setelah kuselesaikan kunjungan ku ke dalam? Kau tau, aku sangat lapar.” Aku menolak bukan karena aku tak mau, namun aku sudah merasa sangat kesal. Mulai dari macetnya jalan sampai si lelaki menjijikan ini menghalangiku untuk segera mengisi kosongnya perut.
“Maaf, nona. Peraturan di sini memang begitu.”
“Aku sudah sangat lapar!” aku mulai naik darah.
“Tidak bisa!”
“Gila ya! Apa manager mu sekejam ini? Membiarkan pengunjungnya mati kelaparan demi sebuah registrasi yang tidak begitu penting?”
“Aku hanya menjalankan tugas! Jika tidak, silahkan anda pergi dari sini!”
“Tapi perutku sudah melilit!”
“Bukan urusan ku!”
Pria itu menajamkan matanya, mencoba mengegerkan ku hingga bertekuk lutut padanya. Dia mengisyaratkan ku untuk segera angkat kaki, atau memenuhi peraturan tadi.

     “Ada apa ini?”
Aku terkejut, melihatnya berdiri sambil berkecak pinggang layaknya seorang model berdiri di atas catwalk berwarna hitam berhawa panas.
“Kian?”
Dia mengangkat alis seolah melihat seorang budak memanggil namanya. Aku menatap sangar hingga membuatnya sedikit bergidik.
“Maaf tuan, nona ini tidak mau mematuhi peraturan.” Pria itu menunjuk-nunjukku.
“Oh, jadi kau kenal dengan dia?” aku melemparkan pertanyaan pada Kian. Dia mengangguk tanpa senyum sedikitpun.
“Kian, aku sudah sangat lapar. Dan kau mau temanmu ini mati kelaparan?” kini aku memelas menyayukan mataku di depan Kian. Lantas, Kian tak bergeming seolah dia seperti sang sutradara yang melihat ku sedang ber-akting-ria.
“Kau tidak percaya, heh?” aku mulai kesal.
“Baiklah, biarkan dia masuk. Nanti akan kuurus selesai ini.” ucap Kian.
Hufhh, syukurlah akhirnya aku akan makan siang juga hari ini. Aku hanya mengikuti Kian sambil mengucapkan terimakasih padanya tanpa memperdulikan gubrisannya.

     Aku menarik kursi di depan Kian dan memanggil pelayan lalu memesan beberapa menu yang kuanggap dapat mengenyangkan. Tak berapa lama, akhirnya pesananku datang dan tanpa aba-aba langsung kulahap tanpa berbicara sedikitpun pada Kian.
“Sudah selesai?” Kian bertanya dengan hati-hati. Aku meletakkan sebuah gelas berisi air mineral dan mengangguk pelan sambil memegang perut yang sudah sangat kenyang.
“Sepertinya kau sangat lapar? Apa kau tidak makan dari tadi pagi?” tanyanya kembali.
“Bahkan dari semalam!” aku mengepalkan tangan hingga membuat Kian menyangka, aku ingin meninjunya. Kian hanya menyeringai puas melihatku sengsara karena tidak mendapat asupan gizi.
“Kau bertengkar dengannya berapa lama? Apa kau hendak meninjunya?” Kian menunjuk ke arah petugas kekar tadi. aku mengangkat pundak ingin membuatnya penasaran. Kian hanya mengangkat alisnya. Kurasa dia sedang berpikir.
“Jika kau terlambat datang, mungkin dua mata si keparat itu sudah menghitam.”
“Keparat?”
“Untuk kali ini, kubilang dia keparat. Karena dia menghalangiku untuk makan. Kau tau kan, jika aku sudah sangat lapar pasti akan kulewati segala rintangan yang menghadang.” Ucapku seolah sedang berorator. Kian hanya tertawa renyah dan mengangkat sebuah tasnya berwarna coklat tua. Dia menyerahkan selembar kertas berwarna padaku. Loh, kertas ini mirip sekali dengan kertas yang kuterima dua hari yang lalu. Namun belum sempat kubaca apa isinya. Kian hanya tersenyum-senyum dan menutup ke dua wajahnya. Aku bergidik ngeri, apakah dia mengidap kelainan jiwa? Dia meberi isyarat padaku untuk membacanya. Tak butuh waku lama untuk membaca karena Kian membimbingku untuk membaca tulisan berukuran sedang yang tertera di bagian paling atas.

“Kian! Kau serius?”
Dia hanya mengangguk.
“Are you kidding me?”
Kian hanya tersenyum dan menggeleng meyakinkan.
“Kau benar-benar akan tampil?”
Dia kembali menutup wajahnya dengan sebelah tangan sambil mengangkat jempol. Ya Tuhan, Kian! You’re so amazing boy! Proud of you!
“Jadi, malam ini kau akan berdiri di situ bersama boyband yang kau bentuk itu?”
“Ya, Eilinora Muireann!” Kian sudah mencapai batas geramnya. Dia mencubit dan menarik ke dua pipiku. Aku menepis nya dengan ligat agar pipiku tak kembali memerah seperti mengenakan bloss-on.

     Kian Vanuell John Egan, teman yang sangat akrab denganku semenjak kami duduk di kursi sekolah menengah hingga saat ini, menginjak di gedung yang megah, universitas yang diidam-idamkan para pelajar masa depan. Baiklah, akan kuceritakan sedikit tentang teman ku ‘cool’ ku yang satu ini. Saat kami sedang membahas mengenai impian di waktu mendatang, dengan santainya dia melilitkan lidah ke sana ke mari sambil menepuk dadanya.
“Aku, Kian Egan, ketika umurku sudah matang nanti akan membuat sebuah grup musik ternama di seluruh dunia!” begitulah kira-kira ucapannya. Aku hanya menyiyir sambil memeletkan lidah.
“Ah, mana mungkin seorang seperti dia yang gayanya membuatku ingin sekali muntah akan bisa menjadi seorang penyanyi, terkenal lagi!” pikirku dalam hati. Saat itu aku selalu mengabaikan apa yang diimpikan Kian karena menurutku itu mustahil. Dan ketika kami sudah berpisah ketika duduk di bangku kuliah, dia memang sungguh-sungguh mengambil jurusan seni dan sastra. Kami memang tetap bertemu walau sangat jarang. Dan secara tidak sengaja hari ini aku bertemunya di sini dan dia membuatku terkaget-kaget setengah mati.
“Ku rasa, kau harus menarik ucapanmu kembali. Beberapa tahun yang lalu, Ei!”
Kian menatapku penuh kemenangan. Aku hanya tersenyum kecut sambil menyikut lengannya.
“Baiklah, kuanggap kau memang sudah bersungguh-sungguh. Namun kau belum terbukti kan bisa membuat grup mu itu membludak di mana-mana?” aku kembali menatapnya.
“Akan kuwujudkan itu beberapa waktu ke depan.”
Ah sudahlah, jika bicara tentang impiannya bisa-bisa aku akan menghabiskan waktu untuk berdebat masalah sepele dengannya. Seorang pelayan berperawakan jangkung mendekatiku sambil berkata,
“Bill nya, nona.” Astaga, lumayan melunjak pengeluaranku hari ini. Aku merogoh tas, tapi bukan dompet yang kudapatkan. Kembali kurogoh saku baju, nihil hasilnya. Aku mulai keringat dingin. Atau jangan-jangan tertinggal di laci meja rias ya? Ya Tuhan, sebodoh ini kah aku hingga melupakan harta terpenting itu?
“Berapa semuanya?” Tanya Kian pada si pelayan. Pelayan itu menyerahkan total harganya dan Kian membayar dengan cepat. Aku hanya meringis menusap kening dan menutup wajah karena malu luar biasa.
“Lain kali, kau harus persiapkan uang cash di saku baju mu.” Celetuk Kian sambil tertawa. Aku semakin terpojokkan melihat pelayan tadi menjauh sambil tersenyum jahat.

     “Ei, aku turut berduka cita ya atas kematian Bardey. Maaf waktu itu aku tak sempat berziarah ke pemakamannya. Kau tau kan, aku sangat sibuk dan terikat dengan masa kuliahku.” Kian menatapku teduh. Tiba-tiba saja aku kembali memutar waktu dan mengingat kembali pria itu. Sekarang aku mencoba untuk melupakannya dalam kehidupan, namun tidak dengan hatiku. Dia tetap menjadi yang pertama membuatku tarjtuh-jatuh dalam pelukan cintanya. Kian berdehem melihatku melamun.
“Have a problem, hun?” tanyanya.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih atas perhatianmu. Aku maklumkan ketidakhadiran mu, Kian.” Aku mengulas sederet senyuman mengalihkan perhatiannya yang menatapku sedih. Aku berjalan keluar melalui pintu di sisi kiri restaurant itu. Dia mengantarku sampai di depan pintu mobil dan berkata,
“Ku harap nanti malam kau bisa datang, ya Ei. Sekaligus menambah kepercayaan diriku.” Cengirnya.
“Akan kuusahakan, Kian. Good luck ya! Terimakasih atas bantuanmu tadi, apa perlu kuganti?”
“Mengajakku berbelanja barang-barang baru sepertinya cukup.”
Aku menepuk jidat sambil berkecak pinggang. Kian memang penggila belanja. Aku saja yang perempuan notabene suka berbelanja kalah cekatan dengannya. Tawa kami meledak dan dengan cepat reda ketika petugas kekar yang tadi menghalangiku menghampiri kami,
“Ah, dia datang lagi. Sepertinya dia tidak suka dengan ku ya, Ki?” aku berbisik pada Kian sambil menatap si petugas itu dengan sinis.
“Tenanglah, pulanglah kau sekarang, Ei. Soal itu aku yang mengurus.”
    
     Namun di saat aku hendak membuka pintu mobil, si keparat itu menghalangiku.
“Maaf nona,”
Kepalaku mendidih dan serasa ingin meledak dengan kecepatan tinggi. Muka ku memerah dan Kian yang melirikku seperti itu mulai menjauh bergidik ngeri.
“Maaf,” belum lagi dia menyelesaikan pembicaraannya sudah kupotong dengan kata-kataku yang sudah menumpuk di dada.
Ada apa lagi? Masalah registrasi tadi? Bukankah sudah dibilang akan diurus Kian? Apa anda tidak suka dengan saya sehingga mencoba mencari masalah? Anda belum tau saya perempuan karateka sabuk hitam. Jika anda menghalangi saya pergi sekali lagi, sesuatu buruk terjadi pada anda!”
Sekepul nafas berhawa panas keluar dari hidungku yang merah. Kian memelototkan matanya tak percaya dengan ancaman ku tadi. bibirnya bergetar. Aku menatap Kian dengan tenang memberi isyarat tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dia melongos, membetulkan poni blonde-nya.
“Astaga, maaf nona. Bukan itu maksud saya, tadi dompet anda terjatuh sewaktu anda hendak masuk bersama tuan Kian. Karena takut mengganggu, saya mengurungkan niat untuk mengembalikan setelah anda makan.”
Petugas itu menyerahkan dompet yang kukira tertinggal di apartemen. Aku melongos, Kian melongos. Muka ku merah padam menahan malu yang menghujam pandangan. Aku menggigit jari. Terlanjur sudah kusumpah serapahi petugas itu, ku panggil dia dengan sebutan yang sedikit kasar dan mengancamnya yang tidak-tidak. Hufh, jika ada Bradey aku bagaikan seekor keledai yang akan pulang ke kandangnya di tengah hutan. Dengan cepat kuucapkan terimakasih pada petugas itu dan memberinya seidikit ‘tip’ atas kesalahanku juga. Semula dia menolak, namun karena ku paksa akhirnya dia menerima sambil mengembangkan senyum.

     “Baiklah, Kian. Sepertinya malam ini aku akan datang.” Aku mengedipkan mata. Kian hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
“Lain kali jangan langsung berburuk sangka ya!” teriaknya ketika mobilku menjauh. Aku hanya tersenyum malu dan menancapkan gas lebih dalam. Baik, hari ini benar-benar buruk dan apakah malam ini akan buruk pula? Semoga tidak. 

Sabtu, 01 September 2012

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


-Chapter 2-


Sampai hari ini aku belum berniat untuk melanjutkan urusan tesis ku. Setelah kematian Brad, semangatku dengan sendirinya menguap. Aku sadar, ini semua salah, namun aku tidak tega meninggalkan Makam Brad yang sunyi.

“Sudahlah, sebaiknya selesaikan saja tesismu. Sudah ada yang bertanggung jawab untuk mengurusi makam Brad.”
Perkataan itu yang sering ibu Brad ucapkan ketika aku mampir ke makam. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk seolah menuruti perkataanya. Namun apa daya, keinginan terlampau kuat hinga-hingga akal sehatku kalah bersaing.

“Tidak apa-apa, bu. Aku sengaja mengambil liburan beberapa hari untuk menemani Brad yang menyendiri.” Itulah jawaban yang sering keluar dari tenggorokanku. Biasanya, ibu Brad hanya menahan gerakan matanya yang panas sambil memelukku hangat.

     Cahaya oranye menguning mempercantik langit menyambut sang raja pagi. Layaknya sunrise, setelah peregangan ringan, biasanya aku mengambil secangkir teh hijau panas bersama sepotong roti tawar menikmati taburan garis-garis warna yang memanjakan mata. Namun tidak untuk hari ini, aku sudah merasa segar diguyur dinginnya air yang membasahi tubuh. Lalu, segera bersiap mengambil pakaian berwarna gelap dan sebuah tas kecil yang bersedia kugandeng ke mana-mana. Dengan keyakinan, aku melangkah keluar apartemen dan memesan sebuah tumpangan menuju ke tempat yang setiap hari kurindukan.
Sesampainya di makam Brad, aku segera duduk di sebelah gundukan tanah yang terlihat subur. Seperti biasa, aku berbicara sendiri seolah sedang berhadapan dengan Bradey di sini.

“Kau tau sayang, sampai saat ini aku belum bisa memikirkan pengganti mu. Aku masih belum yakin bisa menggeser posisimu di hidupku. Karena apa? Karena aku masih sangat mencintaimu, Brad. Jika kau masih hidup, mungkin aku menjadi gila jika kau benar-benar memutuskan hubungan kita.”
Aku mengambil selehai tisu untuk menyumbat air mata yang mendesak untuk bebas.
“Aku yakin, perkataanmu di masa lampau hanya sebagai luapan emosi hingga kau nekat mengatakan putusnya hubungan kita. Aku sudah memaafkan mu Brad.”

Pipiku kembali basah, kini kubiarkan membanjir untuk menenangkan perasaanku sejenak. Langit terasa gelap seolah merasakan gundah sedihku yang tak mampu ditampung diriku sendiri. Terdengar derap langkah di belakang mendekat.

“Kau kembali ke sini?” tiba-tiba seseorang sudah mengambil posisi tepat di sampingku. Dia menatap lurus mencipratkan cahaya matanya yang biru. Aku hanya diam tak menggubris perkataannya.
“Hei, kau lupa? Aku yang menolongmu kemarin! Secepat itukah kau melupakanku?” dia kembali berceloteh seperti meminta perhatianku yang terus menatap lekat nisan Brad.
“Kau sangat mencintainya?” Dia kembali berucap dengan santai sambil mengambil sesuatu dari dalam jaket coklatnya.

“Pertanyaan yang bodoh! Jika aku tidak mencintainya, untuk apa aku repot-repot ke sini?!”
Aku sungguh kesal. Benar-benar kesal. Kepalaku ingin meledak. Pertanyaannya barusan membuat suhu di tubuhku menaik lebih dari seratus empat puluh derajat. Aku menatapnya tajam hingga menembus bola mata birunya. Tetapi dia hanya tersenyum dan tiba-tiba senyum nya memadamkan amarahku. Seolah dia menyihirku lewat wajah nya itu.
“Me.. mengapa kau tersenyum?” aku merasa sedikit aneh dengan nya. Ternyata benar, dia lelaki yang mengawasiku seharian.
“Karena aku juga ingin menularkannya padamu.” Jawabnya sangat polos.
“Kau tau, jika kau terlalu lama bersedih, alam pun akan menangis.” Ucapnya kembali menatap mendungnya awan.
“Mengapa kau begitu yakin?”
“Karena sebentar lagi akan hujan, ayo segera berteduh.” Ajaknya sambil menarikku. Diam. Itulah yang kulakukan saat ini. Benar saja, seolah dia mengetahui apa yang akan terjadi kejadian di waktu ke depan, pasukan air menyerbu tandusnya tanah hingga membuat sedikit tergenang. Jika saja dia tidak ada di sini, mungkin aku sudah menjadi wanita malang.

     Syukurlah, kami selamat dari terjangan hujan. Dia membawaku dengan mobil jeepnya ke suatu tempat, sebuah rumah pohon berdaun rindang berakar liar tetata rapi. Hujan yang menit demi menit bertambah volumenya memaksaku untuk tetap bersama lelaki itu.
“Duduklah. Di sini sangat nyaman, kujamin itu.” suaranya meyakinkanku untuk mencoba duduk di kursi bambu yang masih kuat memapang siapapun yang duduk. Sepertinya dia tak asing lagi dengan suasana rumah pohon ini. Sebenarnya aku sangat malas untuk mengeluarkan suara, terlebih terhadapnya.
“Rumah ini milik siapa?”
Dia yang sedang membopong sebuah tikar yang terajut halus bercorak indah berwarna hitam-putih dengan cepat menggelar sangat rapi. Dia berbalik ke arahku dan duduk di sebuah kursi plastik bersebelahan denganku.
“Mengapa? Apa rumah ini kurang atau bahkan tidak nyaman untukmu?”
Aku menyipitkan mata dan menajamkan suara,
“Bukan itu yang kumaksud! Aku hanya ingin tau siapa pemilik rumah ini? Kau mengerti atau tidak sih? Susah sekali menyambungkan pembicaraan padamu!”
Baru kali ini aku menemukan lelaki ‘tulalit’ berparas tampan. Eh maksudku lumayan tampan. Bukan, bukan! Sangat tampan tepatnya! Oh yeah, baiklah, dia memang tampan…… sekali.
“Baiklah, aku mengerti. Sepertinya kau sangat emosi. Apa ini pengaruh dari kematian……”
“Jangan kau sebut itu lagi! Apa kau mau melihat aku kembali menangis?” ancamku.
Dia hanya menepuk kening dan tertawa kecil.
“Oke, dahulu rumah pohon ini dibangun oleh kakek khusus untukku. Di sinilah aku bersamanya menghabiskan waktu-waktu senggang dengan berbagai cerita yang menajubkan.sayangnya saat ini dia sudah meninggal meninggalkan ku hanya bersama ibu. Dua tahun setelah kakek pergi, ayah pun menyusulnya. Dan rumah ini satu-satunya pemberian berhargaku dari kakek. Pada suatu saat, ketika aku sudah menginjak umur remaja, pohon ini hendak ditebang oleh kontraktor perusaahan industri. Aku yang terkejut mendengarnya, dengan cepat tanpa menghiraukan resikonya menghadang mereka. Aku sampai nekat pada ibu untuk pergi dari rumah jika pohon ini benar-benar dimusnahkan. Syukurlah, Tuhan mendengar doaku. Akhirnya dengan berat hati, para pengusaha itu mengurungkan niat nya. Begitulah,”
Tak pernah kusangka, ternyata dia seorang yatim. Dan dia telah bersedia menceritakan sedikit kisah hidupnya yang menurutku cukup mengharukan.
“Kau ingin menangis kembali?” tanyanya yang melihat mataku mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, aku memang sangat cengeng. Hatiku memang mudah tersentuh, oleh karena itu, jangan pernah heran jika aku sering menangis.
“Ti.. tidak. Tentu saja tidak!” aku mengelak dari tatapannya. Sebenarnya aku ingin menoleh kembali melihat mata indahnya yang menenangkan jiwa. Entahlah mengapa itu bisa terjadi.

     Garis kilatan cahaya berarak di tengah langit hitam menjulang, membawa roman sangat mengerikan hingga membuatku loncat terkaget dan spontan aku MEMELUK DIA! Jika kalian mentertawaiku, aku hanya meringis dalam rasa malu. Dengan cepat aku segera bangkit dan menutup wajah, sangat malu.
“Hei, mengapa tidak berlama-lama?” tanyanya sambil tersenyum.
Huh, dasar memang lelaki! Tapi di hatiku terbesit sedikit penyesalan mengapa aku melepaskan pelukan tadi. Aku tidak berani memandang wajahnya dan berbalik dengan niat keluar dari sini.
“Kau gila? Di tengah hujan yang deras dengan tambahan kilatan petir, kau mau berjalan dengan tubuh yang hangus? Sudah tak apa, itu sangat wajar bagi wanita.” Ucapnya ringan. Sepertinya dia benar, aku harus kembali mendengarkannya dan duduk manis sambil menikmati hawa yang sangat dingin merajam kulit.
“Maafkan aku, tadi sangat tidak sopan.” Aku menunduk mencoba menghapus kejadian tadi.
“Menurutku wajar-wajar saja. Sudah lama aku tidak mendapatkan pelukan sehangat itu.”
Wajahnya menerawang menembus tebalnya awan, membentuk suatu memori yang mungkin dulu dilupakannya.
“You’re have a girlfriend?” pertanyaan itu tidak sengaja meluncur dari bibirku.
“Dulu. Sebelum dia meninggal karena kecelakaan tragis. Itu kesalahanku.”
Aku melihat dari wajahnya sebuah penyesalan. Entah apa maksudnya. Sepertinya aku merasakan sesuatu yang tidak aneh.
“Ahh, sudahlah, aku belum bisa menceritakannya sekarang.”
Dia menggelengkan kepala sambil berjalan ke arah jendela kecil dan menyentuh butiran air sejuk.
“Baiklah, aku tidak memaksamu untuk menceritakan semuanya kok.”
“Tidak apa-apa, terkadang aku juga butuh teman. Suatu saat aku akan menceritakannya padamu.” Janjinya sambil mengerlingkan mata. Sangat manis.
“Janji ya?” aku memastikannya. Dia hanya mengangguk pelan dan menatap luasnya alam.

     Hari ini kurasa bukan hari yang buruk, hujan begitu bersahabat, menemukan ku pada sosok orang yang sangat menyenangkan. Mulai dari hari inilah aku dan dia menjadi dekat. Aku pikir, dia lelaki yang menyebalkan, ternyata tidak sama sekali. Sayangnya, aku belum pernah mengenal siapa dia.
“Hei hujannya sudah reda, berkeinginan untuk pulang? Atau menemaniku makan sebentar? Perutku sudah bunyi, nih.” Dia memberi pilihan. Sebenarnya aku ingin segera pulang ke apartemen, namun tidak enak dengannya. Lagi pula, sebagai tanda terimakasih, aku menyetujui pilihan yang kedua. Dia terlihat sangat gembira dan aku sepertinya begitu pula. Dia menyuruhku menunggu di bawah pohon yang rindang. Setitik demi setitik gerimis masih membahasahi bumi yang sudah kuyup.
“Naiklah ke mobilku. Sebelum hujan bertambah lebat.” Perintahnya sambil memberhentikan mobil tepat di depanku. Aku mengangguk dan berlari ke arah pintu depan.
“Sepertinya kita mulai akrab ya?” ucapnya dengan nada cepat. 

To Be Continue.....

Kamis, 30 Agustus 2012

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


-Chapter 1-

         Tiupan angin menyapa tubuhku pelan, garis warna jingga cakrawala di pinggir langit membawa tanda sore telah tiba. Aku yang masih terpaku di dekat sebuah nisan yang masih baru tak peduli apakah aku harus bermalam selamanya di sini. Pikiranku masih membeku, hatiku masih menangis, mataku sangat bengkak hingga bibirku pun menjadi kering. Keegoisan menutup hampir semua logika ku hingga aku hampir gila. Terbalut dengan pakaian berwarna serba hitam, aku meracau tak karuan,

“Mengapa kau pergi secepat ini? Aku masih mencintaimu! Atau kau sudah hilang rasa hingga tega membuatku pilu seperti ini?”

Entahlah tanggapan para pelayat yang berangsur-angsur menghilangkan diri. Aku sama sekali tidak peduli. Yang ku mau sekarang hanyalah orang yang tidur ini kembali bangkit menemani hariku yang sepi. Setiap menit, perasaanku berubah-ubah. Kadang sedih kadang pula aku merasa kesal. Aku belum bisa menerima keputusan Tuhan. Aku belum siap sehingga emosi ku pun masih mengambang.

“Aku sadar, belakangan ini aku jarang memberi perhatian padamu. Namun bisakah kau beri aku kesempatan kembali? Ku mohon bangunlah, walau hanya sebentar. Aku masih ingin memeluk jasad mu yang hidup. Ku mohon bangunlah! BANGUNLAH! BANGUNLAH!” teriakku.

“Setelah itu, kau boleh kembali ke dalam tidur panjangmu, Brad!” lanjutku kembali terisak.

     Pria yang kutangisi, bernama Bradey Naomhan, seorang asli Ireland. Kami saling menyukai sejak berusia remaja dan pada saat itulah aku resmi menjadi kekasihnya hingga aku mulai memasuki masa dewasa. Aku menyukainya juga menyukai namanya. Bradey Naomhan, dalam bahasa Ireland berarti ‘Semangat Suci’. Kepribadiannya pun membuat aku terkagum. Dia seorang yang optimis dan pantang menyerah, hingga akupun tertular virus semangatnya. Namun kematian nya sekarang berawal dari kami yang mulai memenangkan ego sendiri.


 * SKIP *           


            --- December 26th 2012. Sligeach, Sligo, Ireland---
     
     “Kita sudah sama-sama dewasa dan kau sebagai lelaki seharusnya bisa memberiku keluasan dalam bergerak!” Kesalku.
Prangggg! Brad melempar vas bunga hingga menembus jendela apartemenku. Aku menutup telingan sambil menahan air mata.
“Ku kira dewasa akan mengubah sikap pilih kasihmu, ternyata makin menjadi! Aku sudah muak dengan kesabaranku sendiri. Aku menyesal telah mencintaimu! Hubungan kita berakhir dan jangan pernah mendatangiku kembali!”

Braak! Brad menghentak pintu dan menancap gas mobil jeep nya dengan kencang.
“Braaad! Tunggu! Aku masih…….. masih mencintaimu..”
Aku terduduk di lantai dengan rambut berantakan. Bayangkan, selesai mengurus tesis di siang bolong dan pulangnya harus menghadapi kekasih yang salah mengerti. Bukannya aku tidak mau lagi memberi hari lebih banyak pada Brad, namun target kelulusan harus ku kejar dan otomatis hanya bersisa sedikit waktu kami untuk bersama. Sedangkan waktu untuk mengurus diriku sendiri saja harus mencuri-curi.

     Aku diam membeku, tak percaya dengan apa yang diucapkan Brad tadi. Aku benar-benar merasa bersalah atas semua ini. Karena ku, hubungan kami berantakan. Dan yang ku khawatirkan, Brad akan melakukan suatu hal yang nekat karena tidak mampu menahan emosinya. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Hingga malam tiba, belum ada satu kabar pun dari Brad. Ku rasa dia masih benar-benar kesal dan memutuskan komunikasi padaku. Perasaanku masih kacau, lebih kacau dari yang sebelumnya. Feeling ku merasa sedikit buruk. Aku segera meraih handphone dan menghubungi Brad. Percuma, nomornya sibuk.

“Maafkan aku, Brad. Aku masih menyukaimu.” Aku mengela nafas dan mengambil handuk untuk segera menyegarkan diri.

     Pukul 21.15

     Ting tong! Seseorang menekan bel apartemenku. Dengan cepat segera kuletakkan hair dryer dan membuka pintu.
“Cepatlah ke rumah sakit! Dia sedang sekarat!” Ucap pria setengah baya itu yang ternyata kakaknya Brad. Urat di wajahnya menunjukkan dia sangat cemas. Dengan ragu-ragu aku melangkah mengambil kunci apartemen dan menuju mobil nya.

“Brad?!” aku kaget setengah berteriak. Aku menutup wajah sambil memeluk ibu nya Brad. Tampak dari aroma tubuh Brad, dia meneguk alkohol hingga membuatnya sangat mabuk.
“Apa yang terjadi dengannya?” aku bertanya pada orang-orang di ruang kamar. Sepertinya tidak ada yang sanggup untuk membeberkan kejadian aslinya. Tapi, seorang lelaki tua membuka mulut,
“Dia mengendarai mobil dengan kondisi mabuk berat hingga menabrak trotoar jalan. Waktu itu aku sedang menjaga kedai tepat di depan kejadian. Akulah yang menolongnya pertama kali dan membawanya ke sini. Dengan bantuan polisi, keluarganya dapat diberitahu. Memang kau siapa?”
Deg! Aku tak mampu menjawab.
“Aku… aku mantan kekasihnya.”
Hingga malam semakin larut dan akhirnya Brad menghembuskan nafas terakhirnya dan membuat kami semua menangis hingga sampai pemakaman.
---SKIP---                                             

     Aku menggaruk dan memukul-mukul tanah yang subur itu hampir berantakan. Tanganku mulai mendekati nisan dan berniat merusaknya.

“Bisakah kau hentikan sikap burukmu itu?” seorang lelaki di belakang memergoki ku. Dia melepas kacamata hitam yang sedang dipakainya dan berjalan mendekatiku. Aku mencium aroma parfum yang begitu segar dari tubuhnya.

“Makam siapa? Ayahmu? Ibumu? Atau….”
“Kekasihku. Tepatnya mantan kekasihku.” Potongku cepat.
“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud untuk….”
“Tak apa, maaf aku harus segera pergi. Sudah hampir malam dan rumahku sangat jauh dari sini.”
Aku mengambil tas dan pamit pada lelaki yang tak kukenal itu. sebelum beranjak, aku membisikkan kata-kata di sebelah nisan Brad,
“Besok aku akan kembali ke sini, sayang. Tenanglah di sana, aku takkan meninggalkanmu.”

     Sudah hampir setengah jam aku menunggu sebuah tumpangan, namun tak kunjung datang. Aku hampir putus asa. Jika sudah seperti ini, biasanya Brad selalu siap untuk menjemputku tak melihat jarak yang mungkin cukup jauh. Walau sudah seperti ini, keluarga Brad masih bersikap baik padaku layaknya saat kami masih menjalin hubungan. Aku ingin meminta pertolongan Nolen, kakaknya Brad. Namun kuurungkan niat karena akan sangat merepotkan.

“Tidak baik seorang wanita sendirian di malam hari. Mari kuantar.” Tawar seseorang. Aku tersentak, ternyata lelaki berkacamata hitam itu masih mengawasi ku di sini. Padahal sudah sangat lama aku berdiri. Demi keselamatanku juga, aku mengangguk dan menerima niat baiknya itu. Di dalam mobil, kami saling berdiam diri dan menatap ke arah depan. Beberapa menit kemudian, lelaki itu membuka percakapan,

“Sudah berapa lama kau di tempat tadi?” tanyanya menyelidiki. Aku berpikir sambil menghitung putaran jam di arloji.
“Ku rasa hampir tiga jam.” Jawabku. Dia terlihat kaget.
“Kau wanita yang tegar. Masih tetap setia walau dia sudah berbeda tempat dengan mu.”
Yang ada dalam pikiranku adalah tanggapannya tentang diriku tadi adalah salah. Aku bukan wanita yang tegar dan setia, buktinya aku masih keras kepala untuk mengikhlaskan Brad. Ketika aku melihat lelaki itu dari arah samping, tiba-tiba aku seperti melihat wajah Brad. Aku menatapnya, seolah melepas rasa rindu yang mendalam pada Brad.

“Brad?” sontak aku mengeluarkan kata-kata itu dengan sedikit gemetar. Lelaki itu melihat ke arahku.
“Brad? Siapa? Mengapa kau menatapku seperti itu? Ada yang aneh?”
Astaga, Tuhan, dia mirip sekali dengan Brad. Hidungnya, bibirnya, dan gaya rambutnya mengingatkanku pada masa lalu bersama Brad.
“Oh maaf, tiba-tiba aku kepikiran Brad. Dia kekasihku yang meninggal itu.”
Lantas lelaki hanya tersenyum dan menancap gas mobil lebih cepat.

     Akhirnya, aku menginjakkan kaki di apartemen ini. Mungkin jika tidak ada lelaki itu, ucapan ku untuk bermalam di pemakaman akan menjadi kenyataan.
“Terimakasih atas pertolonganmu, semoga Tuhan membalasnya.”
Aku tersenyum padanya sambil melambaikan tangan. Dia hanya membalas senyumanku dan membunyikan klakson.

“Kenapa senyumnya terasa berbeda di hatiku? Ah, menghayal saja kau Eilinora Muireaan!” rutukku dalam hati.

To Be continue...... 

Selasa, 28 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 10 ~ Ending*


#10 Behind Festival and True Love

@Sushi Restaurant
  
   Aku hanya mengikuti Nicole dari belakang sambil bertanya-tanya dalam hati. Dia memilih untuk duduk di lantai dua karena suasana lebih nyaman dan terhindar dari ramainya pengunjung malam itu. Dengan wajah dingin dia mempersilahkan ku duduk sembari meletakkan tas kulitnya.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya tanpa melirikku sedikitpun. Aku mencoba bersabar atas semua sikap anehnya.
“Tidak, aku sudah kenyang. Terimakasih.” Ucapku menolak. Dia hanya mengangkat bahu sambil memanggil pelayan.
“Jangan ajak aku bicara sampai aku menyelesaikan makan malamku ini.” Peringatnya. Aku hanya mengangguk sambil memainkan handphone.

   Triing! Bunyi hentakan garpu dan sendok menandakan Nicole sudah menyelesaikan makannya.
“Aku membawamu ke sini karena aku ingin bicara sesuatu.” Jelas Nicole. Tiba-tiba dia menatapku. Kulihat matanya masih menyiratkan rasa persahabatan padaku. Dan aku yakin, dia melakukan ini semua karena sebuah alasan. Entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh begitu cepat. Aku sedikit kaget melihatnya menangis. Segera kuambil selembar tisu dan memberikan padanya.
“Chii. Chisel.. Maafkan aku, selama ini aku selalu menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan atas sikapku yang tidak baik ini. Aku memang gadis bodoh! Gadis ingusan yang belum dewasa! Seharusnya kamu tidak berteman dengan gadis dungu sepertiku. Maafkan aku selama ini membuatmu kehilangan semangat belajar. Aku memang gadis yang bodoh!” Nicole memaki-maki dirinya sendiri. Aku hanya mematung melihat tindakannya. Dengan sangat terisak dia meminta maaf padaku. Tak berapa lama, rasanya mataku sudah terasa panas. Aku tak tahan lagi, segera kupeluk Nicole dan menenangkannya.
“Sudahlah, Nicole. Tak apa, aku sudah memaafkan mu jauh-jauh sebelum kamu meminta maaf.” Hiburku tersenyum. Dia hanya menganggukkan kepala sambil membalas pelukanku. Segera kupesan satu cup ice cream untuk menenangkan fikirannya.  

   “Selamat ya!” ucap Nicole sambil menelan ice cream huzzle-nut nya. Aku hanya melongo sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.
“Selamat atas apa?” Nicole hanya tersenyum simpul dan menghabiskan ice creamnya. Aku menatapnya penasaran menunggu jawabannya yang memuaskan.
“Kamu sudah berhasil menjadi pacar lelaki yang dulunya kamu benci. Bryan McFadden.” Sontak aku tertawa sambil memegang perut. Aku hampir tersedak atas apa yang dibilang Nicole. Nicole mengernyitkan keningnya.
“What’s worng?” tanyanya padaku. Aku belum menjawab. Hanya tertawa dan tertawa, sampai-sampai pelayan di meja seberang melihat ku dengan aneh. Setelah puas tertawa, aku menjawab,
“Tidak. Aku tidak pacaran dengannya!”
Kini Nicole yang tertawa bahkan lebih lama dariku. Dengan sabar aku menunggu hingga ia terdiam.
“Don’t lie! Aku tau Bryan suka padamu dan memintamu menjadi pacarnya, right?” ujar Nicole terburu-buru.
“Ceroboh! Memangnya kamu tau aku menerimanya?” pertanyaanku berhasil membuatnya kembali membeku.
“La… Lalu?”
“Tidak. Aku tidak menerimanya.” Ucapku pelan.
“Mengapa?!” Tanya nya kembali.
“Karena aku tidak mencintainya, Nicole. Aku tidak mau membuat Bryan jatuh dalam kebohongan ku.” Tiba-tiba Nicole memelukku kembali, dia mebisikkan sesuatu.
“Aku yakin keputusanmu benar. begitu juga dengan cinta Mark terhadapku.”
“Kamu tidak menerimanya?” tanyaku dengan geram.
“Aku belum menjawab. Tapi sungguh, aku tidak mencintainya. Aku… Aku telah mencintai lelaki lain, namun lelaki itu menyukai sahabatku sendiri.” Nicole mulai melunak. Ya Tuhan, jangan-jangan……..
“Kamu menyukai Bryan?” Dengan hati-hati aku memandang wajahnya. Tak lama dia pun mengangguk. Ternyata benar, setelah kuperhatikan selama ini Nicole memang menyimpan perasaan pada Bryna. Bodoh sekali! Mengapa aku tak menyadarinya dari dulu sehingga pertengkaran ini tak terjadi?!
“Maafkan aku Chisel, aku memang menyukainya. Alasan itu yang membuatku bersikap seperti ini. Aku … aku cemburu jika melihat Bryan bersama mu. Apalagi di depan mata kepalaku sendiri.” Terangnya kini dengan menunduk. Ah, ternyata cinta telah mebutakan nya, hingga ia nekat seperti ini.
“Tenang, Cole. Aku dan Bryan hanya sebagai teman, itu saja.” Hiburku. Dengan mata berbinar dan senyum yang merekah Nicole menangguk.
“Jadi, kita tetap bersahabat?” tanyaku sambil mengacungkan kelingkin.
“Tentus!” sahutnya menyambut kelingkingku. Di saat angin malam mulai berhembus membawa segala keluh kesah ku dan Nicole malam itu. segarnya udara malam membuatku mengantuk hingga memaksa Nicole untuk mengantarku pulang. Malam itu, menjadi malam yang indah bagiku. Di mana sahabatku kembali dalam kehidupanku yang selama ini merana seperti kehilangan separuh jiwa. Love you, always, Nicole!
***
   Pagi hari, dimana merpati meneguk air bening di kolam sekolah seolah sedang bersiap menyambut para siswa yang datang. Udara dingin pertanda winter akan datang memaksa ku mengenakan syal hijau lumut sambil memegang erat tas pink tua. Hari ini, pelajaran bebas, artinya kita bisa masuk kelas yang diinginkan. Sayangnya, aku tidak bisa masuk kelas fisika karena harus segera latihan untuk festival lusa besok.
“Pagi, nona.” Sapa Bryan, Nicky dan Mark ketika aku hendak menaiki anak tangga menuju kelas. aku hanya tersenyum sambil membalas,
“Pagi para pria tampan.” Entah mengapa, tiba-tiba rona merah muncul di wajah mereka bertiga. Aku hanya cekikikan sambil terus berjalan.

   “Loh, kalian masih di sini? Tidak masuk kelas?” kagetku ketika Bryan, Nicky dan Mark masih berdiri berjajar di dasar anak tangga. Mereka hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Kami ingin ikut anda, nona.” Ucap Mark. Aku hanya menepuk jidat sambil berjalan bersama mereka menuju ruang musik. Ketika aku sampai, ternyata masih sepi. Beruntung ada mereka bertiga yang menemaniku.
“Ehh, gue bisa main piano nih. Dengerin deh, terkhusus buat nona cantik ini.” Ucap Bryan membuat Mark dan Kian menggodanya.
“Lo suka ya sama Chisel?” Tanya Kian sambil nyengir.
“Cie cieeee….” Teriak Mark. Bryan hanya mengedipkan matanya hingga membuatku terpingkal-pingkal.
Sambil memainkan piano, Bryan juga bernyanyi. Suaranya yang khas membuatku ingin mendengarkan nya berkali-kali.

“An empety street, an empety house, a hold inside my heart
  I’am all alone the rooms are getting smaller
 I wonder how, I wonder why, I wonder where they are
The days we had, the song we sang together, oh yeah
And oh my love, I’am holding on forever reaching for a love that seems so far

So I say a little pray, and hope my dreams will take me there
Where the skies are blue to see you once again, my love
Over seas from coast to coast
To find the place I love the most
Where the fields are green
To see you once again, my love…”

   Tak kusangka, ternyata Bryan mempunyai kemampuan yang luar biasa. Dia mahir sekali memainkan piano seolah aku melihat dad yang memainkannya.
“Standing applause for you, Bry!” kagumku. Dia hanya tertawa sambil bangkit.
Aku memperhatikan sekeliling, sepertinya dia belum datang.
“Shane mana ya? Tumben belum muncul, biasanya dia paling awal.” Tanyaku.
“So sweet amat nanyain nya? Hahaha, palingan masih di kelas.” goda Kian. Aku hanya mencubit lengannya dengan pelan sambil menutup wajah.

   Lima menit, sepuluh menit, hingga waktu terus merangkak, Shane tak kunjung datang. Aku mulai cemas antara menunggunya maupun latihan yang harus segera dilaksanakan, karena waktu tinggal satu hari lagi! Dengan gontai, aku melangkah keluar ruangan meninggalkan tanda tanya pada mereka bertiga. Aku pun bingung dengan perasaan yang kini hadir, di saat aku membutuhkannya, dia malah tak hadir. Tuhan, semoga dia baik-baik saja. Ketika aku sudah berdiri di depan kelas Shane, aku memanjangkan leher mencoba mencari nya di dalam. Tiba-tiba seorang gadis berkacamata memanggilku,
“Hei, kamu mencari siapa?”
Aku diam tak bergeming mencoba menjawabnya,
“Shane ada?” tanyaku dengan cemas.
“Oh, dia sedang berada di UKS. Sepertinya dia terserang demam mendadak. Cobalah ke sana. Oh iya, kamu pacarnya ya?”
Seperti tersedak biji salak, aku terbatuk sehingga memaksaku untuk meneguk segelas air pemberian gadis itu.
“No, tentu saja bukan. We’re just friends.” Jelasku dengan muka bersemu. Gadis itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Dengan cepat aku mengucapkan terimakasih padanya dan bergegas menuju UKS. Entah mengapa pikiran ku saat itu mulai kacau, kenapa tiba-tiba perasaanku sangat care padanya? Aneh.

   Tok.. tok.. tok.. Aku mengetuk pintu tempat Shane berbaring dengan pelan.
“Masuk,” ucap seseorang di dalam. Dengan sangat jelas itu suara Shane. Terdengar lemah, tidak seperti biasanya. Ketika masuk, aku terbungkam. Sebagian tubuhnya yang terbalut selimut dan di sampingnya terdapat beberapa obat membuatku terenyuh.
“Demam?” dengan lugu aku bertanya padanya. Shane mengangguk lemah. Seperti tersengat malaikat, aku memegang dahinya secara tak sadar. Demi Tuhan, sangat panas.
“Main hujan lagi?” tebakku dengan nada sedikit tinggi. Alisku menjungkit mencoba mengintrograsinya. Dia tersenyum dan mengangguk.
“Aku rindu hujan.” Ucapnya. Aku mengernyit sambil duduk di sampingnya.
“Sudah latihan?” Tanya kembali. Aku menggeleng sambil menatap langit ruangan.
“Aku menunggumu,” ujarku.
“Jika aku belum sembuh, kamu akan tetap tampil dalam festival itu. akan ada seseorang yang menggantikan ku. Aku rasa dia akan sangat cocok.” Terang Shane. Seperti terhantam godam raksasa, aku menatapnya dengan galak. Tidak mungkin! Jadi apa arti dari semua latihan yang selama ini kami jalani? Sia-sia begitu sajakah? Namun apa daya, demi kesehatannya aku tak bisa memaksa. Aku juga tidak mau dia tampil kurang maksimal.
“Pergilah temui Bryan, dia yang akan menggantikanku. Sudah mendengar nya bermain piano kan? Sudah bisa kutebak kamu akan terpukau dengannya. Suaranya juga tak kalah indah bukan? Pergilah.” Perintah Shane dengan nada sedikit memaksa. Aku bertahan, tetap di tempat. Aku mematung dengan tatapan kosong.
“Tidak! Sampai kamu benar-benar sehat dan dapat keluar dari ruangan yang sumuk ini, aku akan tetap bersamamu.” Yakinku. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba sikapku menjadi seperti ini? Aku juga tak begitu sadar dengan ucapanku barusan.
“Mau mengecawakan Ms.Elizabeth? Aku yakin, tanpaku kamu pasti bisa.” Shane tersenyum sambil mempersilahkanku keluar. Sebelum aku mencapai pintu, Shane menarik lenganku sambil berbisik,
“Aku tetap akan datang ke acara itu dan melihat penampilan mu yang luar biasa.”

   Denyitan pintu ruang musik kembali mengisi sunyinya ruangan yang hanya tinggal seorang. Baiklah, sepertinya Shane menuntutku untuk berkonsentrasi. Mencoba mengukirkan senyum namun susah. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk di mana tanpa ada semangat menggebu.
“Demi Shane, akan kulakukan semua ini dengan sungguh-sungguh.” Tiba-tiba Bryan membuka mulut mempersilahkan ku mengambil tempat biasa. Aku menghampirinya dan mulailah kami berlatih. Untuk pertama kalinya berdua dengan Bryan.
***
   Cakrawala mulai menguning, menandakan datangnya malam yang dingin. Sepoi angin menggoda ku untuk mengatupkan mata dengan tenang. Tapi tidak dengan pikiranku! Masih terus terbayang wajah dan kondisi nya. Aku semakin tak mengerti dengan permainan cinta yang begitu sulit kupahami. Aku mencoba menggeser perhatian, percuma, sangat susah. Apa ini yang dinamakan cinta monyet? Terkadang membuat kita melayang berakhir dengan sakitnya perasaan. Namun mengapa aku begitu yakin dengan feeling ku kali ini? Tak terasa, waktu terus bergerak mau cepat ataupun lambat. Ketukan pintu kamar mebuyarkan segala lamunanku sambil menatap gelapnya langit.
“Semoga dia, “ harapku dalam hati. Sayangnya tak mungkin, dia sedang sakit.
Bryan? Ada apa?” tanyaku sambil membetulkan letak jaket yang agak kebesaran. Dugaan ku benar, bukan dia yang datang. Seseorang yang tiba-tiba kuharapkan untuk mengisi malam ku yang suntuk tidak benar-benar datang.
“Inner beauty mu keluar juga, nona.” Puji Bryan membuatku sedikit melejit. Hahaha, dasar gombal!
“Temani aku keluar sebentar, ya?” mohonnya tiba-tiba.
“Tenang, aku sudah minta izin pada tante Jodi, kok.” Sambungnya, buru-buru.
Baiklah, mungkin ini adalah kesempatan ku menjauh dari kepenatan. Aku mengangguk dan mengambil sebuah tas mini berwarna hijau.

   “Ke mana kita pergi?” tanyaku ketika mobil yang dikendarai Bryan memutar roda dengan santai.
“Go to the boutique.” Jawabnya pendek.
Butik? Untuk apa ke sana? Aku sedang tidak mood untuk belanja. Bisa-bisa rambutku keriting gara-gara melihat baju bertebaran. Bukannya hilang dari suntuk malah menjadi depresi. Setelah sampai, aku sempat enggan untuk masuk hingga Bryan menarikku.
“Ayolah, Chisel yang cantik, manis, cute, baik hati, suka menabung, rajin menolong, pintar, hormat orang tua.” Bujuk Bryan, lagi-lagi dengan konyol hingga aku terpingkal-pingkal membuat beberapa pengunjung melirik ke arah kami. Mungkin jika aku dan Bryan pacaran, setiap hari aku akan menjadi gadis tawa yang sangat aneh. Huh!
“Sebentar lagi, festival dimulai. Aku ingin kamu tampil beda, maksudku mengajak mu ke sini untuk fitting baju.” Jelas Bryan hingga membuatku tersentak sedemikian rupa.

   Tak butuh waktu lama, Bryan telah memilihkan ku sebuah gaun berwarna soft pink dengan corak hitam dan peyet putih. Terkesan sederhana namun sangat mengagumkan. Aku melongos melihatnya bersusah payah mengangkat gaun itu agar tidak rusak. Aku hampir tak percaya melihat apa yang dipilihnya. Se-modis itukah dia? Entahlah, sepertinya otak ku sudah full capacity hingga tidak mampu memikirkan nya kembali.
“Ayo kuantar ke kamar pas.” Bryan menarik lenganku.
Dengan masih menyimpan tanda Tanya besar, aku segera mencoba gaun pilihan Bryan itu dengan cepat. Ya Tuhan, it’s so beautiful. Aku berdiri layaknya seorang Cinderella pada abad 20 ini. Perlahan aku mengeluarkan diri dari kamar pas ini. Ternyata tidak ada orang, ku rasa Bryan menunggu di tempat aku dan dia masuk tadi. Dengan hati-hati aku berjalan sambil mengibaskan rambutku yang tergerai. Maklum, gara-gara Bryan menodong masuk ke rumah, aku jadi tidak sempat mengikat rambut.

   “Oh My God! Cantik melebih dari seorang putri kerajaan!” puji Bryan sambil menatapku lekat. Rona merah di pipiku seakan membalas tatapannya. Tiba-tiba wanita muda pemilik butik menyeletuk,
“Cantik sekali, pacar anda ya? Beruntung anda mempunyai gadis muda seperti dia.”
Bryan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk membuatku sedikit gusar. Mengapa kami selalu disangka sebagai sepasang kekasih? Entahlah, mungkin sikap Bryan yang menjadi penyebabnya. Aku hanya tersenyum kecut sambil mencubit pelan lengannya. “Tinggal di ubah style rambutnya, and all is perfect!” tukas Bryan.
“Baiklah, akan kusimpan rapi gaun ini untuk nona cantik. Besok pukul tujuh pagi segera datang ke sini kembali dan semua akan lancar.” ucap wanita muda itu sambil membawa gaun yang sudah kulepas dari tubuhku. Aku mengucapkan padanya kata terimakasih sambil menggandeng Bryan menuju mobil.
“Nona, besok akan aku jemput pukul setengah tujuh, oke? Jika belum bangun aku akan membawa hadiah kecil untuk mu.” Kata-katanya membuatku ingin meninju Bryan.
“Hadiah apa?” tanyaku
“Kecoa terbang. Hihiihi…” ujar Bryan sambil tancap gas. Telingaku memerah, bulu kudukku merinding mendengar kata-kata ‘Kecoa Terbang’. Dari kecil, aku memang takut sekali dengan binatang seperti itu. Oh God! Saat sampai di gerbang rumah, Bryan kembali mengingatkan pukul berapa aku harus bangun jika aku tidak menginginkan hadiah darinya. Dengan merengut aku mengangguk sambil berbalik menjauh.

   Pipp pipp! Dering handphone di atas laci kamar menghambat waktu tidurku. Dengan sedikit malas aku meraih hp dan melihat layarnya. Sebuah pesan masuk dari, Shane! Tiba-tiba hembusan angin malam yang segar membuat mataku berbinar sambil tersenyum berbunga-bunga. Padahal mungkin saja bukan hal nyang penting. Dia menanyakan kabarku apakah sudah siap menaklukan panggung festival tanpanya. Serta bagaimana persiapan kostum untuk besok. Dengan cepat kubalas pesannya diselipkan kalimat memastikan apakah dia sudah sehat.
Bruuukkkk! Aku menghempaskan tubuh ku yang terasa berat ke kasur kesayangan. Dengan berbalut masker dan timun segar melekat di mata, kunyalakn pendingin kamar dan mematikan lampu tidur. I’am ready for tomorrow!
***
   “Rambutnya style sanggul sederhana saja ya, biar tidak mengganggunya. Terus mascara agak ditebalkan karena bulu matanya tipis. Lipstick nya jangan berwarna terlalu terang, bajunya sudah cerah. Bloss on nya ditipiskan membentuk lengkungan tirus karena pipinya tidak terlalu tembam. Jangan lupa high-heel nya, pilih yang warna pink tua agar terkesan muda. Ingat! Sanggulnya biasa saja, atau jika mau, kuncir saja rambutnya dengan gaya tinggi.” Oceh sang make-over hingga membuat kami semua kalang kabut. Ada yang manggut-manggut, ada pula yang mencibir mengikuti gaya bicara nya. Asataga! Mungkin jika bukan tuntutan festival, aku akan teriak dan menerobos para makhluk aneh ini. Dan beruntung juga, ada Bryan yang sedang menahan tawanya. Kurasa semua yang dilihat dan didengarnya selalu terkesan lucu. Setelah 1 jam---------Astaga------------- akhirnya aku selesai memoles wajah dan sekarang waktunya mengenakan gaun serta high-heel berwarna cantik. Aku cukup puas dengan semua pesiapan yang ada. Walau agak sedikit tergesa, namun, dapat ku ancungi dua jempol.


   “Siap untuk tampil, putri?” goda Bryan hingga terdengar beberapa siulan di sekitar butik. Dia terlihat sangat tampan, lebih dari biasanya. Di sisi pintu keluar, wanita muda yang kami temui kemarin mengedipkan mata sambil berteriak,
“Good luck! You look so beautiful, today! Like a princess.”
Aku menghargai pujian nya sambil menyelipkan kata terimaksih lalu masuk ke mobil Bryan. Jujur saja, debaran jantung yang ku rasa sulit dikontrol ini semakin menjadi. Hingga matahari naik beberapa derajat, akhirnya kami sampai di sebuah gedung mewah dengan aksen pentas orkestra raksasa. Demi Tuhan! Aku mengalami rasa gugup luar biasa. Sambutan dari teman-teman satu maupun luar sekolah membuatku harus mendekatkan diri pada Bryan. Dan penyebab lainnya, dad ku------ Kian Egan------ seorang pianis terkenal hadir bersama mom dan Koa untuk melihat performance ku. Ku rasa, mental dad sudah sangat tebal hingga tak bisa ditembus tombak zaman purba. Lihatlah! Ini semua masih pentas kecil bagi dad, karena dad sudah sering mengisi acara dalam pentas musik dunia. Aku sangat-sangat salut memiliki seorang dad sepertinya!

   Aku sudah bergabung dengan seluruh peserta festival musik di ruang VIP. Sangat dingin, syukurlah aku memakai jaket, gaun ini sedikit membuat ku terkekang untuk bergerak. Aku mencoba mencari Shane, namun tidak ada. Rasanya seperti ada yang kurang, karena tanpa bantuannya aku pasti tidak menyanggupi acara ini.
“Hei, kenapa murung? Jangan membuat make-up mu luntur ya, putri.” Sampai saat ini, Bryan masih memanggilku dengan sebutan ‘putri’.
“Mencari Shane? Berdoa lah semoga dia dapat hadir.” Ucap Bryan dengan sungguh. Cahaya matanya menyiratkan sebuah keyakinan. Apa yang tersembunyi di balik binar mata biru nya itu?
Sepertinya acara sudah berjalan. Waktu terus merangkak mencoba memperlambat. Namun, aku merasa begitu cepat semua ini terjadi. Mulai dari pembukaan, sambutan, dan sampai pada penampilan masing-masing peserta.
“Setelah peserta yang akan maju ini, gilirran kamu yang akan tampil.” Peringat Bryan sambil melatih suaranya sedikit.
“Only me? Tapi kan kita tampil berdua, kok yang kamu sebut hanya aku?”
Deg! Aku mulai berkeringat menelisik arti kata yang diucap Bryan tadi. Bryan mengangguk dan tersenyum sambil menyodorkan beberapa potong roti isi untuk mengganjal perut yang sedari tadi menggelar konser seriosanya.

  “Next, the collaboration of music and sounds that will be displayed by the Neoclassical school. Please take the place.” Suara sang pembawa acara seakan mencekik leher ku, menyusup ke nafasku hingga membuatku sulit berdiri. Kaki ku terasa keram berdenyut tak karuan.
“Yakin dan percaya kamu bisa. Berdoalah sebelum memulainya.” Ucap Bryan dengan sedikit melunak. Aku menggenggam tangannya seolah tidak merelakan Bryan meninggalkan ku di panggung seorang diri.
“Ayo, jalan duluan. Aku di belakangmu.”
Shane, kamu dimana? Aku benar-benar gugup tanpa dampingan mu. Tuhan, aku percaya keajaiban, bisakah Engkau mengganti Bryan menjadi Shane? Aku terus meracau dalam hati. Mataku mulai sembab. Mungkin jika dad tau, dia akan mengejekku dengan kata-kata ‘payah’. Tiba-tiba hp ku berdering, ternyata pesan singkat dari dad.
“C’mon dear, kami menunggu penampilan luar biasamu. Dad yakin, kamu bisa! Berdoalah.”

Kembali kutatap wajah Bryan, dia masih mengulum senyum yang hangat, tapi aku merindukan senyum seseorang yang lebih hangat dari itu.
“Cepatlah, naik.” Perintah Bryan. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dengan doa dan dukungan orang-orang yang kucintai, aku mulai berjalan dan naik ke atas panggung. Namun tetap saja, aku hanya seorang diri. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran Shane. Dengan keyakinan, aku mengambil posisi di depan sebuah piano mewah berwarna putih bersih menajubkan. Di mana Bryan? Apa yang diucapkannya tadi benar? Aku hanya tampil seorang diri? Ku harap kini seekor lalat atau nyamuk bisa mendengar kesahku yang sangat tidak mengenakkan ini.

   Tiba-tiba lampu mati, dan sorakan juga tepuk tangan para penonton membahan seisi ruangan. Seseorang berdiri di sampingku, ku kira itu Bryan, ternyata……………. SHANE! He’s really Shane!! Astaga! Dia benar-benar di sini? Dia tersenyum dan mengisyaratkan padaku untuk memulai menekan tuts piano. Ketika aku memulai dia mengiringi dengan suara emasnya,

`` I would die for you
Lay down my life for you
The only thing that means everything to me
'Cause when you're in my arms
You make me prouder than 
Than anything I ever could achieve
And you make everything that used to seem so big
Seem to be so small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

And I often wonder why,
Someone as flawed as I 
Deserves to be as happy as you make me
So as the years roll by
I'll be there by your side
I'll follow you wherever your heart takes me
Cause you make everything that used to be so big
Seem to be soo small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Now anyone who's felt the touch of heaven in their lives 
Will know the way I'm feeling, looking
In my babay's eyes
That's why I can't bear to be too far away
I know that god must love me cause
He sent you to me on angel's wings 

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Love is the answer
It's written on angel's wings ``

   Jreeeeeeeeeeeenggg!! Can’t believe, I can do it!!! Thanks God, aku benar-benar ingin pingsan dapat kembali melihat Shane di sini. Shane menyambut tanganku dan menggandengnya ke hadapan ratusan penonton. Kami berdua memberi salam hormat. Di kejauhan, aku melihat dad, mom, dan semua orang memberi kami berdua sebuah `standing applause`. Bahagia mulai menjalar di jiwaku. Rasa rindu dan cemas kini terhapus dibawa terangnya sang surya dari celah-celah jendela. Merpati bertengger di ranting pohon luar seolah juga ikut puas dengan penampilan kami.

   Semua peserta di belakang panggung memuji penampilan kami tadi sambil menjabat tangan. Ah! Bahagia sekali rasanya. Ku lihat di sudut terangnya lampu, Bryan berdiri sambil menatapku dan Shane.
Bryan, thank too for everything! Sudah kuduga, bakalan ada yang aneh dari semua ucapan mu tadi.” Aku memeluk Bryan sebagai tanda terimakasih. Lalu Shane menghampiri Bryan dengan tujuan yang sama,
“Gue tau, cinta takkan dapat dipaksa. Sepertinya Chisel memang cocok untuk lo. Dari kemarin dia selalu khawatir keadaan lo, bro!” terang Bryan hingga membuat pipiku bersemu merah. Shane melirikku sambil cengar-cengir, imut sekali. Hahahah!
“Thanks bro, buat pengertiannya. Gue yakin suatu saat ada yang lebih baik buat lo.” Shane menepuk pundak Bryan dengan penuh persahabatan. Kami semua tertawa lepas. Shane mengajakku keluar dan menemui semua temanteman juga Ms.Elizabeth. Miss sangat histeris dengan performance kami yang sungguh amazing, menurutnya. Aku memeluknya. Di belakang sudah ada dad, mom juga Koa. Aku kembali memeluk dad dengan perasaan bangga serta mengucapkan terimakasih pada mereka atas dukungannya.
~ Take a rest ~

      Nicole! Tiba-tiba aku teringatnya, setelah lelah beristirahat, aku mencarinya. Dia pernah bilang, bahwa berusaha untuk datang walaupun telat. Ketika kutanya pada mom, dia sudah datang sejak aku dan Shane tampil. Namun sekarang entah ke mana. baiklah, aku segera mencarinya. Saat aku sampai di ujung jalan di sudut yang begitu luas, aku melihat Nicole------sangat cantik----- bersama seorang lelaki yang sangat tak asing bagiku.
“Aku… memang sedari dulu bertemu, aku memang menyimpan rasa padamu.” Ucap Nicole pelan. Apa? Nicole… dia pasti mengungkapkan pada lelaki itu.
“Aku memang sedikit bodoh, ternyata ada perempuan yang memperhatikanku. Maafkan jika selama ini aku kurang menyadarinya. Jika begitu, will you be my girlfriend?” ucap lelaki di depan Nicole. Tiba-tiba mata Nicole berbinar seolah mendpat oksigen baru.
“Really?? Yes, I will! Thanks Bryan!” Nicole lalu memeluk lelaki itu. hampir tersedak, dia sangat berani menyatakan pada ya… Bryan McFadden! Dan sekarang mereka berdua resmi berpacaran. Bagaimana dengan jawaban yang ditunggu Mark saat memintanya menjadi kekasih nya pula?

    “Tenang, Mark sudah tau semua ini.” Nicole membuyarkan lamunanku. Aku terkaget karena takut jika dikira menguping pembicaraan mereka.
“Congrtasss Bryan!! Sekarang kamu sudah punya kekasih yang sangat cantik!” aku memberi selamat pada Bryan dan Nicole. Mereka berdua hanya tersenyum. Aku rasa aku ingin ke toilet, dengan tergesa-gesa aku pamit pada mereka dan membiarkan mereka terlarut dalam kebahagian batin.

   “Mark?” aku mengernyitkan kening melihat Mark menggandeng seorang wanita cantik berparas Prancis. Mark hanya tersenyum dan berkata,
“Hai Chisel! Permainan mu bersama Shane tadi sungguh luar biasa! Perkenalkan, ini Calmond Grumbel, pacar baruku.” Wanita itu tersenyum sambil menjabat tangan ku. Ya Tuhan. Nicole sudah menemukan kekasih cintanya. Dan Mark sudah bertemu dengan tambatan hatinya. Aku kembali mengucapkan selamat dan berpamit untuk pergi duluan. Ketika aku sampai di sudut ruangan, ada seseorang menarikku lembut.
“Shane?” aku terdiam. Dia hanya berjalan memintaku mengikutinya. Setelah beberapa menit, kami sampai di sebuah taman indah dengan dinginnya angina tanda-tanda winter akan datang sebentar lagi.

   “Ada apa?” tanyaku dengan penasaran. Shane mengajakku duduk.
‘Masih ingat dengan dua surat misterius. Satu berbentuk hati merah muda dan satu lagi memintamu ke taman di sebelah lapangan sepak bola. Remember?” aku terhenyak. Benar-benar tidak menyangka.
“It’s me. Aku yang mengirim itu. maaf jika membuatmu penasaran dan terganggu namun maksudku,……” Shane menarikku berdiri di samping bunga tulip yang mulai membeku.
“Aku benar-benar ingin mengenalmu sangat dalam. Dengan alasan itu, baru sekarang aku sungguh-sungguh menyatakannya padamu. Aku benar-benar mencintaimu sejak aku mengenal dad mu, pianis terkenal, Kian Egan. Aku mengusulkan semua ini karena aku yakin, kamu mempunya bakat yang sama seperti dad mu. Dan itu benar. With all my beliefs, my love and sincerity of my heart, will you be my girlfriend?”
Aku benar-benar membeku dalam hawa dingin cinta. Aku benar-benar membisu dengan segala perkataan yang ingin kuucapkan, aku benar-benar tuli dengan apa yang dia katakana, aku benar-benar buta dengan apa yangkulihat sekarang. Semua! Semua harapan ku, yang selalu kupendam secara diam-diam telah terwujud menjadi nyata. Sekarang, Shane telah menyatakan bahwa dia telah terpikat pada ku. Dengan mata yang berkaca-kaca perlahan tapi pasti akan jatuh, aku mengangguk dan berkata,
“ YES, I WAN TO BE YOUR GIRLFRIEND, Shane!”
Aku memeluknya, tangis ku pecah, aku bersyukur pada Tuhan kini telah menyembuhkan lelaki yang sangat kucintai. Tiba-tiba semua orang yang ku kenal, berada di sekelilingku, mengukir senyum, memberi selamat pada kami yang telah resmi menjadi sepasang kekasih. Dengan tulus, aku mengecup pipi Shane dan Shane mengecup keningku.

    Dentingan jam, terus merangkak memakan peristiwa yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Surya mulai tenggelam di telan musim yang kini telah berganti menjadi salju yang selalu kutunggu-tunggu. Tepat di musim dingin ini, aku dan Shane menjadi sepasang kekasih. Kunikmati bersama Shane indahnya salju dan dinginnya udara membalut seluruh tubuh. Aku rasa, tidak ada lelaki yang sempurna, namun bagiku Shane segalanya. Dia telah memenuhi bahkan melebihi criteria seorang belahan jiwaku. Dad dan mom hanya tersenyum melihatku mulai dewasa dan percaya diri. Ini semua berkat dia, lelaki yang amat sangat kucintai, Shane Steven Filan. Dan kurasa, kini aku, Chisela Misery, seorang gadis beranjak dewasa, gadis muda yang beruntung mendapatkan hatinya Shane.

``Love comes by itself, wait until you're absolutely sure``

THE END
 ----- Buat semua yang sudah setia membaca, terimakasih. Saya sebagai author, memohon maaf apabila dalam penulisan mengandung hal-hal yang kurang pantas. Mohon dimaklumi karena saya sebagai penulis pemula yang mencoba merangkak ke arah yang lebih baik. Jika ada kritik, saran, komentar atau masukan, silahkan berikan, saya pasti menerima. Sekali lagi, thanks  for attention! :)