Sabtu, 22 September 2012

I PROMISE YOU



   -One Shoot-
     Hai, aku Fumiko Utsukushī Wilson. Kalian pasti bisa tebak, aku adalah seorang gadis ‘ingusan’ bermata sipit berambut pirang, berdarah Jepang-Amerika. Umurku baru menginjak sebelas tahun, tepat pada bulan September ini. Hari ini seperti biasa, aku dan tujuh sekawan bermain di halaman rumah Ginny. Mereka adalah, Shane, Kian, Mark, Bryan, Nicky, Cho, dan tentu saja Ginny.
“Bagaimana kalau kita buat permainan pernikahan saja?” usul Kian, sangat konyol. Dengan bersusah payah kami menahan tawa agar tidak meledak di depannya. Namun, sudah terlanjur, Bryan dengan terpingkal-pingkal menunjuk-nunjuk Kian. Dia menggelengkan kepala seolah melihat badut memakai rok dan sebuah bandana.
“Baiklah, jika kalian tidak mau, aku tidak ikut main!” ancam Kian berhasil membuat Bryan mematung sejenak. Gawat! Jika Kian sudah ngambek, lain lagi ceritanya! Dengan perlahan-lahan aku mendekatinya,
“Kian, bukannya kita tidak menyetujui usulanmu, namun bolehkah kita mengganti permainan sekali-kali?” tanyaku pada Kian. Semua nya diam, seperti terbius untaian kata hipnotis secara tiba-tiba. Syukurlah, tak berapa lama Kian kembali tersenyum dan berhenti dari sikap merajuknya yang hampir membuat kami pingsan jika mom nya tau.

   Saat ini kami bermain permainan ular tangga. Ketika giliran pion ku yang jalan, tiba tiba mom memanggilku dari daun pintu rumah. Aku segera memenuhi panggilan mom dengan berlari kecil.
“Masuklah sebentar, ada yang harus kita bicarakan bersama dad di dalam.” Aku mengangguk sambil berteriak ke arah Mark,
“Lanjutlah dulu, aku akan segera kembali!”
Ketika aku masuk ke dalam rumah, di sudut pintu terdapat tumpukan koper besar dan beberapa kotak besar berjejeran. Tiba-tiba firasatku sama sekali tak menyenangkan, aneh! Aku mengikuti mom dari belakang menuju taman di belakang rumah. Terlihat dad sedang menghirup secangkir teh hijau dengan gulungan Koran yang sudah dibacanya. Dia melirik ke arahku sambil tersenyum.
“Utsu, duduklah.” Perintah ayah. Memang, dad sudah terbiasa memanggilku Utsu, teman-teman memanggilku Fumi dan mom memanggilku Miko. Aku segera duduk di samping mom yang sedang membetulkan kacamatanya.
“Begini Utsu, tugas dad di London sudah selesai. Dan kamu tau itu, kita harus segera pindah ke Jepang.” Bagai mendengar sambaran petir di siang bolong, aku terkaget-kaget. Mom membelai rambutku, mencoba menenangkanku sejenak.
“Dengarkan dulu, Miko.” perintah mom. Dad kembali menyeruput the hijaunya hingga tak tersisa.
“Jadi dad harap kamu bisa menerima keputusan ini secara lapang. Kita akan berangkat besok pagi. Pergilah main bersama teman-temanmu. Beritahu mereka sehingga tidak kaget esoknya.” Perintah dad. Tanpa sadar aku berlari, air mata ku jatuh, aku hampir menabrak pintu karena terburu-buru.

   Sekejap aku melihat mereka bermain sangat gembira. Dengan suasana seperti ini, tak mungkin aku menganggu mereka dengan berita itu. aku tidak tega merusak kebahagiaan mereka. Kemudian aku berjalan perlahan membelakangi mereka menuju ke sebuah ayunan yang mulai rapuh dimakan waktu. Aku menangis, belum tentu di Jepang sana aku akan menemukan teman sebaik mereka.
“Hei ada apa? Mengapa tidak bergabung bersama kami?” ucap seseorang di belakang. Aku hanya diam terisak seolah tidak menanggapi pertanyaan nya.
“Mengapa menangis?” tanyanya kembali. Ternyata Shane. Dia salah satu sahabat lelaki terbaikku, dan yah mungkin jika aku sudah dewasa dan mengenal apa itu cinta, aku akan jatuh cinta padanya. Shane menduduki ayunan di sampingku. Nyiiit nyiiiiit…. Suara derit ayunan membuyarkan lamunanku.
“Cerita padaku, oke?” ucapnya. Lalu, aku menceritakan semua persis apa yang dibilang dad tadi. Dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis padaku.

   “Begitulah,” aku mengakhiri cerita.
“Fumi, walau aku masih kecil namun aku mengerti bagaimana kondisi dad mu.” Dengan perlahan Shane memberiku semangat dan pengertian yang tak kusangka-sangka sebelumnya. Setelah itu Shane meninggalkanku. Tapi beberapa saat aku merasa ada yang memelukku. Aah! Teman-teman! Mungkin aku akan merindukan pelukan kalian!
“Mengapa tidak terus terang saja? Kita bisa mengerti kok.” Ucap Cho. Mereka semua mengangguk.
“Kami akan merindukan mu, Fumi. Sangat sangat merindukan mu.” Ucap Ginny, terisak. Mereka semua menangis seolah belum siap menerima kepergianku ke Jepang.
“Sssst, sudahlah, lewat telepon bisa kan? Atau web cam? Bryan pasti punya!” ujarku mencoba mendiamkan mereka. Bryan menangguk pelan dengan mata berkaca-kaca.
“Aku…. Ku mohon kalian mendoakan ku agar mendapatkan teman seperti kalian di Jepang nanti.” Mereka semua kembali menangis. Satu persatu memelukku dengan penuh kesedihan. Ketika giliran Shane memeluk, dia membisikkan ku beberapa kata,
“Ketika dewasa nanti, aku yakin kita dapat berjumpa lagi. Aku akan merindukan mu, Fumiko Utsukushī Wilson!” aku tercenang.
“Me too.” Sahutku.
***
   “Ayo Utsu! Pesawat segera berangkat!” peringat dad ketika aku masih bercakap-cakap dengan teman-teman di ruang tunggu airport. Aku segera memeluk mereka secara bersamaan.
“Kami akan merindukanmu! Fumiko!” teriak mereka bersama-sama. Kulihat Ginny dan Cho sangat terpukul. Dan dia, Shane, hanya tersenyum hingga hilang dari pandanganku.
***
*6 TAHUN KEMUDIAN*
 
@Yokohama, Kanto, Japan.
   Liburan musim panas telah usai. Kini aku harus fokus terhadap kelanjutan sekolah.
“Mom, bagaimana jika aku melanjutkan ke luar negeri?” tanyaku pada mom. Mom yang terlihat sangat lelah menyuruhku mendekat. Kondisinya mulai melemah karena faktor usia. Rambut nya yang mulai memutih, kulitnya yang mulai mengeriput membuatku sedikit tak tega meninggalkannya sendirian. Walau adik kandungku bernama Katsumi Utsukushī Wilson masih ada untuk menemani mom.
“Panggil dad ke sini. Kita bicarakan baik-baik. Mom sudah tidak kuat lagi berdiri terlalu lama.” Pintanya. Aku segera mencari dad di halaman belakang, ternyata dad sedang mengurus phon sakuranya. Sangat indah. Aku memanggil dad dan memintanya ke kamar mom.

   “Ada apa? Sepertinya sangat serius.” Tanya dad. Aku hanya tersenyum sambil memandang wajah kuyu mom. Aku mulai menjelaskan keinginan dan alasanku ke luar negeri. Jika kalian ingin juga mengetahui, salah satunya aku ingin menambah pengalaman.
“Jadi bagaimana? Apakah dad setuju?” Tanya mom. Dad membelai rambutku yang ku ubah menjadi warna hitam.
“Dad setuju, asal kamu memang benar-benar yakin, Utsu. Dad rasa sudah sepantasnya kamu berkeliling dunia untuk mencari ilmu.” Terang dad yang membuatku tersenyum bahagia.
“Baiklah, jika dad setuju, mom juga setuju, Miko.” ucap mom.
“Terimakasih mom, dad. Kalian memang orang tua yang terbaik!” ujar ku sumringah sambil memeluk mereka berdua.
“Jadi, hanya mom dan dad saja yang dipeluk?” tiba-tiba Katsu berdiri di belakangku sambil memanyunkan bibirnya. Dengan cepat kupeluk dia sambil tertawa lepas.

   Syukurlah, aku sudah menemukan universitas terbaik di negara pilihanku, Germany. Semoga saja usahaku tidak sia-sia. Dad, mom juga Katsu selalu berdoa semoga ku berhasil. Setelah menunggu beberapa minggu, aku mendapatkan sebuah surat pernyataan resmi dari universitas setempat, bahwa AKU LULUS! TUHAAAAN!! Terima kasih atas semuanya! Aku segera memeluk Dad, mom dan Katsu. Besok pagi aku akan berangkat ke Berlin memulai perjalanan. Yang tentunya sangat berharga!

*Keesok Harinya*

   “Jaga dirimu baik-baik, nak.” Pesan dad dan mom. Tak tahan, aku menangis di pelukan mereka. Begitu juga Katsu, aku akan sangat merindukannya. Dengan lambaian tangan aku berpamitan pada mereka karena pesawat segera landing.
“Aku akan pulang secepatnya! Tunggu aku di rumah, mom, dad juga Katsu! Aku mencintai kalian!” teriakku di tengah keramaian orang.
Deru pesawat seolah menenggelamkan kesedihanku, aku terlarut dalam lagu ‘Moments’ nya Westlife. Mengingatkan kenanganku pada mom, dad juga Katsumi.
“Aku janji, aku akan pulang!” tegasku dalam hati.
***

   Setelah melepas lelah semalaman di apartemen baru, dengan semangat yang memuncak aku memulai hidup baru di negeri orang. Dengan berpakaian se rapi mungkin, aku melangkah ke mobil menuju universitas.

@Universitas Hamboldt Berlin

Sesampainya di kelas filsafat, keadaan sudah sangat ramai. Ketika aku berjalan menuju kursi, semua orang memandangku dengan aneh. Beginikah cara orang Jerman menyambut tamu? Ah sudahlah, belum terpikir olehku. Beberapa saat kemudian, seorang dosen masuk dengan kacamata tebalnya. Baiklah, My first lesson begins!

   Sekian lama berkutat dengan buku-buku yang wow tebalnya dan dosen yang berbeda statistik sifatnya, rocker dalam perutku mulai menggelar konser! Dengan perbekalan roti isi sayur dan sebotol susu hangat, aku segera duduk di kursi taman. Ternyata aku tidak sendirian. Di sampingku ada seorang lelaki bermata biru indah menyala.
“Sangat lapar! Sialnya dompetku tertinggal di kamar!” kesalnya sambil memegangi perut. Kebetulan roti isi yang kubawa ada dua potong, mungkin bisa membantunya.
“Maaf, jika anda lapar, makanlah ini. Kebetulan saya punya lebih.” Aku mengulurkan padanya. Ketika dia menoleh, tiba-tiba otakku berputar ke masa lalu, saat aku masih di London dan bermain dengan teman-teman!
“Mark?” ucapku hati-hati. Begitu sebaliknya, mirip orang idiot, lelaki itu membuka mulut. Entah apa maksudnya. Aku mencoba memperhatikan wajahnya kembali.
“Ka.. kamu siapa??” dia balik bertanya. Hahaha, bodoh! Aku lupa pasti dia tidak mengenaliku, lihat saja penampilanku. Jauh berbeda dari yang dulu.
“Betul-betul tidak ingat? Aku teman kecilmu di London yang pindah ke Jepang.” Jelasku. Dia mengucek-ngucek mata sambil memakan roti yang ku beri.
“Fumiko Utsukushī Wilson? Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba dia memelukku. Sangat erat! Pelukan itu mengingatkan ku pada pelukan teman-teman yang lain.
Dan tiba-tiba pula dia pergi sambil berteriak,
“Pulang nanti tunggu aku di gerbang ya! Bye! Aku sangat merindukan mu!”
***
   “Cepatlah… cepatlah bergerak…” mohonku melihat putaran jam. Masih ada lima menit untuk segera keluar.
“Etnologi merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara satu bangsa dengan ….” Sebelum dosen itu menyelesaikan penjelasannya, waktu sudah menunjukkan waktu ‘go home’. Dengan terburu-buru hampir jatuh di anak tangga, aku menerobos beberapa mahasiswa sambil meminta maaf. Huuufh! Maklum, sebentar lagi aku akan melepas rindu pada teman lama ku. Ku harap selain Mark juga.

   Aku memperhatikan sekitar. Mana dia? Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik arah dan …
“Oh my God! I can’t believe!!! Kian, Mark, Bryan, Nicky??? Kalian di sini juga???” kaget ku setengah mati. Apa tidak sangat surprise aku bisa melihat mereka kembali? Ya Tuhan! Lalu mereka memelukku seperti biasanya.
“Kamu terlihat lebih cantik, Fumi!” puji Nicky yang membuatku melayang. Hahaha!
“Kalian bisa tau aku di sini dari siapa?” tanyaku pada mereka.
“Mark! Dia berlari ke arah kami yang sedang makan sampai-sampai tersedak!” ucap Bryan
“Dia bilang seperti ini, Hei!! Dengar! Gadis Jepang itu!!! aku menemuinya di taman! Sangat cantik! Dia bersekolah di sini! “ lanjut Kian. Sejenak kami tertawa bersama. Aku rasa ada yang kurang,
“Shane, dia lanjut kuliah di mana?” tanyaku. Mereka semua terdiam, hanya Mark tersenyum simpul.
“Dia melanjutkan kuliah di Irlandia.” Ucap Mark.
“Hanya Shane saja yang kamu tanyakan, ya?” goda Kian. Ckckckck!
“Tiii.. tidak tidak! Baiklah, bagaimana dengan Cho dan Ginny?”
“Mereka berdua tetap di Inggris.” Sahut Nicky.

   “Hei, bagaimana kalau kita buat party? Dalam rangka melepas rindu bersama? Hee?” usul Mark. Kami semua tersenyum dan menyetujui.
“Baiklah, Fumi, besok malam kamu akan ku jemput. Jangan lupa pakai long-dress ya, LONG-DRESS!” ingat Mark. Aku hanya menggembungkan pipi sambil menangguk pelan.
***
*Esok Malam* 
   Sudah dua jam aku berhadapan dengan berbagai baju pesta. Huuuf! Aku kira lebih rumit membuat tesis dibanding memilih baju party, ternyataaa…! Ting tooong! Oh no, Mark sudah tiba. Aku berteriak dari dalam apartemen, sekeras mungkin.
“WAIT FOR A MOMENT!!!” Ah sudahlah, hanya party kecil-kecilan kok! Akhirnya dengan tampang pasrah aku keluar menemui Mark. Tak berapa lama, Mark terkesima melihat penampilan ku. Pasti sangat buruk!
“Apa? Ada yang salah? Aku memang bukan orang yang modis!” kesalku.
“Tidaak tidak! Jujur, kamu terlihat lebih cantik! Akhirnya permintaanku memakai long-dress terpenuhi juga.” Ucapnya. Malam ini aku mengenakan long-dress berwarna Pink lembut dengan higheels pink tua dan sebuah pita di poni berwarna merah cerah. Yaah lumayan lah, lebih feminim dari biasanya. “Yuuk, capcusss!” ajakku. Mark mempersilahkan ku duduk di mobil nya.

   Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah rumah, sangat megah!
“Ini rumah ku. Mari masuk.” Ajak Mark. Katanya party dilaksanakan di halaman belakang sambil barbeque-an lah. Tepatnya di samping kolam renang dengan remangnya cahaya bermandikan sinar rembulan. 
“Ada sesuatu yang harus kubeli. Aku tinggal dulu ya, minumlah dulu. Yang lain akan segera datang.” Ujar Mark.
“Baiklah,”
Satu jam… dua jam… berlalu, Mark tak kunjung datang, mana hari semakin larut. Yang lain juga tidak datang-datang! Ke mana sih mereka??? Segera ku raih handphone dari dalam tas mini ku, ketika aku ingin menelepon Mark, tiba-tiba…  lampu berbentuk hati berwarna-warni menyala menggantung di atas kolam renang. Dentingan gitar dan sayup tuts piano mengiringi seseorang bernyanyi,



“When I'm with you
When I'm with you
When I'm with you you you
You.. when I'm with you

What good's a memory
Without you there with me
The morning sun ain't the same
Without you here
You are the summer breeze
The wind blowing through the trees
You make the loneliness
All just disappear

Nothing replaces your touch
Never stop believing in us
They try to break us
But we stand strong in love
They'll be no distance too far
I gotta be where you are (right where you are)

I don't wanna face this world alone
Without you by my side
You're the only one
That makes it feel like home
And I need you in my life
When you're not around I'm feeling
Like a piece of me is missing
When it feels like the day is closing in
Somehow I find the faith
To make it through
When I'm with you
When I'm with you
When I'm with you you you
You.. when I'm with you…..”

   Siapa sih?? Seperti orang tanpa jasad, bernyanyi dalam keremangan malam membuatku merinding namun juga tersentuh. Arloji menunjukkan pukul sepuluh tepat. Aku bersiap-siap untuk pulang dengan perasaan sedih juga kesal.
“SUUUURPRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSSSSSSSSSEEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!” teriak orang-orang di belakangku.
“Cho?? Ginny?? Kalian???” aku tercenang melihat mereka semua. Dengan gembira dan rasa haru kami semua menangis sambil berpelukan.
“Dan kamu tahu siapa yang bernyanyi tadi?” Tanya Cho. Dia memetikkan jari, entah apa maksudnya. Seseorang sangat tampan keluar dari persembunyiannya.
“Shane?” aku menutup mulut. Aku tak percaya,
“Maafkan aku, Fumi. Aku berbohong mengatakan Ginny, Cho dan Shane tidak di sini. Itu adalah ide gilaku memberi kejutan untukmu. KAMI SANGAT MERINDUKANMU!” jelas Mark.
“Shane, c’mon, bro!” ucap Nicky mengedipkan mata. Shane berjalan perlahan ke arah ku sambil membawa sesuatu.
“Kamu ingat yang ku katakan delapan tahun yang lalu, saat kita berpelukan di bandara London. Saat kita dewasa, aku yakin Tuhan mempertemukan cinta kita dengan proses yang beda. Dan sekarang ku rasa waktunya, saat kita sudah sama-sama berpikir maju….” Shane mngeluarkan sebuah kotak kecil, lalu membukanya,
“Cincin?” lagi-lagi aku terkaget.
“Fumiko Utsukushī Wilson, will you be my girlfriend?” hampir pingsan, benar benar hampir pingsan! Lelaki yang mungkin ku tebak akan kucintai nantinya benar-benar menyatakan itu padaku. Dengan segenap perasaan aku menjawab dengan mantap,
“Aku rasa…… Yes! I want to be your girlfriend!” Kemudian, Shane memelukku hingga berhasil diabadikan Bryan! Hahaha! Ternyata naluri persahabatan dan cinta sejati, dapat mempertemukan ku padanya, Shane Steven Filan. Terimakasih Tuhan, juga mom, dad dan Katsumi!

“True love will bring you a true anyway”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar