Sabtu, 22 September 2012

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


     
-Chapter 3-

     Gerimis mulai mereda berganti sinar emas yang mulai muncul dari celah dedaunan rimbun. Suasana teduh mencoba menyelip dari sisi-sisi sempit jendela mobil yang aku tumpangi di bawah kebisuan. Tanah yang basah sedikit lengket membuat perjalanan itu tak begitu mulus.

“Kau sedang sibuk dengan tesisi mu, ya?”
Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari mulutnya. Aku agak tersentak dan hanya mengangguk kecil.
“Kau tau dari mana?” mataku tajam menyelidiknya. Dengan sorot mata ke depan, dia menjawab sambil tertawa renyah.
“Yang perlu kau tau hanya, siapa saja berhak mengetahui hal yang dia tidak ketahui.” Dengan bibir mengerucut, aku menyilangkan tangan dan mempalingkan wajah ku sebelum dia memerkan senyum nya itu.
“Terimakasih untuk tumpangan mu yang kedua kalinya ini.” Ucapku seraya meninggalkannya menuju pelataran apartemen. Dia hanya membunyikan klaksonnya dan menancap gas dengan perlahan.

     “Menyebalkan!” dengusku sambil melayangkan tas ke sebuah kursi goyang tak jauh dari alat pemanas ruangan. Tidakkah ada manusia yang akan kutemukan di pemakaman selain dia? Pikirku melambung hingga batas kemampuan. Selama dua hari ini, aku memang selalu bertemu dengannya. Setidaknya hanya dengan bertatap muka.
“Aku rindu kampus.”
Mataku melayang mencoba menarik ulang kembali suasana di ruangan yang penuh desas-desus para mahasiswa. Sepertinya hatiku mulai tergerak untuk segera kembali ke kursi kuliahku. Baiklah, kumantapkan janjiku ini untuk kembali larut dalam diskusi menggelikan bersama teman dan menatap keseriusan seorang dosen barparas datar tanpa sunggingan senyum sedikitpun di urat bibirnya. It’s time to take a bath! Dengan langkah sedikit lega, kuraih handuk dan segera masuk ke kamar mandi.

“So Fresh!” aku sedikit berteriak setelah semua pakaian lengket di tubuh. Hari masih siang, secepat inikah kukatupkan mata hingga pagi besok? Tidak mungkin. Jika iya, kalian bisa memanggilku “Putri Tidur Abad ke -20”. Hahaha, tidak, aku hanya bercanda. Krunyuuuuukkkk….. Astaga, sepertinya jam makan siangku telah berdenting berkali-kali dan aku baru sadar sekarang? Aku segera berlari menuju dapur dan melihat isi tudung saji. Bagus, tidak ada tersisa sedikitpun makanan di sana. Sepertinya aku memang benar-benar hampir mati kelaparan semalam, hingga pagi ini sepotong roti keras pun tak bersisa.
“Atau kuajak dia untuk makan siang bersama?” pertimbangan bodoh itu sejenak melintas di kepalaku sampai-sampai dengan susah payah kutepis agar tak mampir kembali. Gila sekali jika aku memang benar-benar memintanya! Andai kau masih di sini Brad, kau adalah orang pertama yang akan kumintai untuk menemaniku makan siang hari ini. Kembali aku mengingat masa indah yang kuhabiskan bersama Bradey sebelum kematian menjemputnya. Kembali kusesali perbuatan egois ku hingga Brad yang menjadi korban. Apakah sepenuhnya salahku? Pertanyaan ini yang selalu menjadi pembelaan ketika bayangan menyalahkanku. Sambil melihat isi majalah kuliner edisi terbaru, aku berjalan menyusuri jalan menuju kamar dan meraih sebuah tas berwarna biru tua bercorak gelombang kecil sangat menarik. Errr, aku membuka pintu mobil sambil bersungut tak jelas, “Don’t you leave me alone…” mungkin tepatnya pernyataan ini tertuju pada almarhum Brad. Karena raga sudah terlalu lelah dan lapar sudah menyerang semakin cepat, akhirnya aku memutuskan mengendarai mobil sendiri dari pada harus mengantri menunggu bus lewat di terminal yang sangat ramai akan lautan manusia.

     “Damn! It’s really a traffic jam!” sungutku ketika terjebak dalam rimbunan kendaraan roda dua maupun empat. Darah panas ini mengalir begitu saja hingga mencapai titik pembuluh darah paling rendah. Dan akhirnya meledak melalui suara ‘terompet’ mobil begitu panjang. Aku mengusap dada, mencoba menenangkan diri sejenak. Haruskah aku keluar mobil, menorobos para pengendara lantas menyalahkan si petugas lalu lintas?  Ah! Gila sekali jika memang itu akan benar-benar kulakukan.

     Pedal rem kuinjak, aku memarkirkan mobil di sisi kiri depan gerbang keluar sebuah restaurant yang baru kujajali sekarang ini.
“D-ZoneLife” lidahku sedikit pegal mencoba mengeja satu per satu huruf yang terpampang jelas di sebuah tembok gramit bercorak cantik.
“Permisi nona, apakah anda pengunjung baru di sini?” Tanya seorang petugas berbadan kekar bermata tajam menusuk mataku hingga ke lensa juga kornea. Aku hanya mengangguk dan menatapnya malas.
“Peraturan di sini, bagi setiap pengendara roda empat harus membayar registrasi demi keamanan kendaraanya.” Lidahnya berkelat dan membiarkan liurnya berhamburan. aku mendelik merasakan kejijikan berada di dekatnya.
“Bisakah setelah kuselesaikan kunjungan ku ke dalam? Kau tau, aku sangat lapar.” Aku menolak bukan karena aku tak mau, namun aku sudah merasa sangat kesal. Mulai dari macetnya jalan sampai si lelaki menjijikan ini menghalangiku untuk segera mengisi kosongnya perut.
“Maaf, nona. Peraturan di sini memang begitu.”
“Aku sudah sangat lapar!” aku mulai naik darah.
“Tidak bisa!”
“Gila ya! Apa manager mu sekejam ini? Membiarkan pengunjungnya mati kelaparan demi sebuah registrasi yang tidak begitu penting?”
“Aku hanya menjalankan tugas! Jika tidak, silahkan anda pergi dari sini!”
“Tapi perutku sudah melilit!”
“Bukan urusan ku!”
Pria itu menajamkan matanya, mencoba mengegerkan ku hingga bertekuk lutut padanya. Dia mengisyaratkan ku untuk segera angkat kaki, atau memenuhi peraturan tadi.

     “Ada apa ini?”
Aku terkejut, melihatnya berdiri sambil berkecak pinggang layaknya seorang model berdiri di atas catwalk berwarna hitam berhawa panas.
“Kian?”
Dia mengangkat alis seolah melihat seorang budak memanggil namanya. Aku menatap sangar hingga membuatnya sedikit bergidik.
“Maaf tuan, nona ini tidak mau mematuhi peraturan.” Pria itu menunjuk-nunjukku.
“Oh, jadi kau kenal dengan dia?” aku melemparkan pertanyaan pada Kian. Dia mengangguk tanpa senyum sedikitpun.
“Kian, aku sudah sangat lapar. Dan kau mau temanmu ini mati kelaparan?” kini aku memelas menyayukan mataku di depan Kian. Lantas, Kian tak bergeming seolah dia seperti sang sutradara yang melihat ku sedang ber-akting-ria.
“Kau tidak percaya, heh?” aku mulai kesal.
“Baiklah, biarkan dia masuk. Nanti akan kuurus selesai ini.” ucap Kian.
Hufhh, syukurlah akhirnya aku akan makan siang juga hari ini. Aku hanya mengikuti Kian sambil mengucapkan terimakasih padanya tanpa memperdulikan gubrisannya.

     Aku menarik kursi di depan Kian dan memanggil pelayan lalu memesan beberapa menu yang kuanggap dapat mengenyangkan. Tak berapa lama, akhirnya pesananku datang dan tanpa aba-aba langsung kulahap tanpa berbicara sedikitpun pada Kian.
“Sudah selesai?” Kian bertanya dengan hati-hati. Aku meletakkan sebuah gelas berisi air mineral dan mengangguk pelan sambil memegang perut yang sudah sangat kenyang.
“Sepertinya kau sangat lapar? Apa kau tidak makan dari tadi pagi?” tanyanya kembali.
“Bahkan dari semalam!” aku mengepalkan tangan hingga membuat Kian menyangka, aku ingin meninjunya. Kian hanya menyeringai puas melihatku sengsara karena tidak mendapat asupan gizi.
“Kau bertengkar dengannya berapa lama? Apa kau hendak meninjunya?” Kian menunjuk ke arah petugas kekar tadi. aku mengangkat pundak ingin membuatnya penasaran. Kian hanya mengangkat alisnya. Kurasa dia sedang berpikir.
“Jika kau terlambat datang, mungkin dua mata si keparat itu sudah menghitam.”
“Keparat?”
“Untuk kali ini, kubilang dia keparat. Karena dia menghalangiku untuk makan. Kau tau kan, jika aku sudah sangat lapar pasti akan kulewati segala rintangan yang menghadang.” Ucapku seolah sedang berorator. Kian hanya tertawa renyah dan mengangkat sebuah tasnya berwarna coklat tua. Dia menyerahkan selembar kertas berwarna padaku. Loh, kertas ini mirip sekali dengan kertas yang kuterima dua hari yang lalu. Namun belum sempat kubaca apa isinya. Kian hanya tersenyum-senyum dan menutup ke dua wajahnya. Aku bergidik ngeri, apakah dia mengidap kelainan jiwa? Dia meberi isyarat padaku untuk membacanya. Tak butuh waku lama untuk membaca karena Kian membimbingku untuk membaca tulisan berukuran sedang yang tertera di bagian paling atas.

“Kian! Kau serius?”
Dia hanya mengangguk.
“Are you kidding me?”
Kian hanya tersenyum dan menggeleng meyakinkan.
“Kau benar-benar akan tampil?”
Dia kembali menutup wajahnya dengan sebelah tangan sambil mengangkat jempol. Ya Tuhan, Kian! You’re so amazing boy! Proud of you!
“Jadi, malam ini kau akan berdiri di situ bersama boyband yang kau bentuk itu?”
“Ya, Eilinora Muireann!” Kian sudah mencapai batas geramnya. Dia mencubit dan menarik ke dua pipiku. Aku menepis nya dengan ligat agar pipiku tak kembali memerah seperti mengenakan bloss-on.

     Kian Vanuell John Egan, teman yang sangat akrab denganku semenjak kami duduk di kursi sekolah menengah hingga saat ini, menginjak di gedung yang megah, universitas yang diidam-idamkan para pelajar masa depan. Baiklah, akan kuceritakan sedikit tentang teman ku ‘cool’ ku yang satu ini. Saat kami sedang membahas mengenai impian di waktu mendatang, dengan santainya dia melilitkan lidah ke sana ke mari sambil menepuk dadanya.
“Aku, Kian Egan, ketika umurku sudah matang nanti akan membuat sebuah grup musik ternama di seluruh dunia!” begitulah kira-kira ucapannya. Aku hanya menyiyir sambil memeletkan lidah.
“Ah, mana mungkin seorang seperti dia yang gayanya membuatku ingin sekali muntah akan bisa menjadi seorang penyanyi, terkenal lagi!” pikirku dalam hati. Saat itu aku selalu mengabaikan apa yang diimpikan Kian karena menurutku itu mustahil. Dan ketika kami sudah berpisah ketika duduk di bangku kuliah, dia memang sungguh-sungguh mengambil jurusan seni dan sastra. Kami memang tetap bertemu walau sangat jarang. Dan secara tidak sengaja hari ini aku bertemunya di sini dan dia membuatku terkaget-kaget setengah mati.
“Ku rasa, kau harus menarik ucapanmu kembali. Beberapa tahun yang lalu, Ei!”
Kian menatapku penuh kemenangan. Aku hanya tersenyum kecut sambil menyikut lengannya.
“Baiklah, kuanggap kau memang sudah bersungguh-sungguh. Namun kau belum terbukti kan bisa membuat grup mu itu membludak di mana-mana?” aku kembali menatapnya.
“Akan kuwujudkan itu beberapa waktu ke depan.”
Ah sudahlah, jika bicara tentang impiannya bisa-bisa aku akan menghabiskan waktu untuk berdebat masalah sepele dengannya. Seorang pelayan berperawakan jangkung mendekatiku sambil berkata,
“Bill nya, nona.” Astaga, lumayan melunjak pengeluaranku hari ini. Aku merogoh tas, tapi bukan dompet yang kudapatkan. Kembali kurogoh saku baju, nihil hasilnya. Aku mulai keringat dingin. Atau jangan-jangan tertinggal di laci meja rias ya? Ya Tuhan, sebodoh ini kah aku hingga melupakan harta terpenting itu?
“Berapa semuanya?” Tanya Kian pada si pelayan. Pelayan itu menyerahkan total harganya dan Kian membayar dengan cepat. Aku hanya meringis menusap kening dan menutup wajah karena malu luar biasa.
“Lain kali, kau harus persiapkan uang cash di saku baju mu.” Celetuk Kian sambil tertawa. Aku semakin terpojokkan melihat pelayan tadi menjauh sambil tersenyum jahat.

     “Ei, aku turut berduka cita ya atas kematian Bardey. Maaf waktu itu aku tak sempat berziarah ke pemakamannya. Kau tau kan, aku sangat sibuk dan terikat dengan masa kuliahku.” Kian menatapku teduh. Tiba-tiba saja aku kembali memutar waktu dan mengingat kembali pria itu. Sekarang aku mencoba untuk melupakannya dalam kehidupan, namun tidak dengan hatiku. Dia tetap menjadi yang pertama membuatku tarjtuh-jatuh dalam pelukan cintanya. Kian berdehem melihatku melamun.
“Have a problem, hun?” tanyanya.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih atas perhatianmu. Aku maklumkan ketidakhadiran mu, Kian.” Aku mengulas sederet senyuman mengalihkan perhatiannya yang menatapku sedih. Aku berjalan keluar melalui pintu di sisi kiri restaurant itu. Dia mengantarku sampai di depan pintu mobil dan berkata,
“Ku harap nanti malam kau bisa datang, ya Ei. Sekaligus menambah kepercayaan diriku.” Cengirnya.
“Akan kuusahakan, Kian. Good luck ya! Terimakasih atas bantuanmu tadi, apa perlu kuganti?”
“Mengajakku berbelanja barang-barang baru sepertinya cukup.”
Aku menepuk jidat sambil berkecak pinggang. Kian memang penggila belanja. Aku saja yang perempuan notabene suka berbelanja kalah cekatan dengannya. Tawa kami meledak dan dengan cepat reda ketika petugas kekar yang tadi menghalangiku menghampiri kami,
“Ah, dia datang lagi. Sepertinya dia tidak suka dengan ku ya, Ki?” aku berbisik pada Kian sambil menatap si petugas itu dengan sinis.
“Tenanglah, pulanglah kau sekarang, Ei. Soal itu aku yang mengurus.”
    
     Namun di saat aku hendak membuka pintu mobil, si keparat itu menghalangiku.
“Maaf nona,”
Kepalaku mendidih dan serasa ingin meledak dengan kecepatan tinggi. Muka ku memerah dan Kian yang melirikku seperti itu mulai menjauh bergidik ngeri.
“Maaf,” belum lagi dia menyelesaikan pembicaraannya sudah kupotong dengan kata-kataku yang sudah menumpuk di dada.
Ada apa lagi? Masalah registrasi tadi? Bukankah sudah dibilang akan diurus Kian? Apa anda tidak suka dengan saya sehingga mencoba mencari masalah? Anda belum tau saya perempuan karateka sabuk hitam. Jika anda menghalangi saya pergi sekali lagi, sesuatu buruk terjadi pada anda!”
Sekepul nafas berhawa panas keluar dari hidungku yang merah. Kian memelototkan matanya tak percaya dengan ancaman ku tadi. bibirnya bergetar. Aku menatap Kian dengan tenang memberi isyarat tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dia melongos, membetulkan poni blonde-nya.
“Astaga, maaf nona. Bukan itu maksud saya, tadi dompet anda terjatuh sewaktu anda hendak masuk bersama tuan Kian. Karena takut mengganggu, saya mengurungkan niat untuk mengembalikan setelah anda makan.”
Petugas itu menyerahkan dompet yang kukira tertinggal di apartemen. Aku melongos, Kian melongos. Muka ku merah padam menahan malu yang menghujam pandangan. Aku menggigit jari. Terlanjur sudah kusumpah serapahi petugas itu, ku panggil dia dengan sebutan yang sedikit kasar dan mengancamnya yang tidak-tidak. Hufh, jika ada Bradey aku bagaikan seekor keledai yang akan pulang ke kandangnya di tengah hutan. Dengan cepat kuucapkan terimakasih pada petugas itu dan memberinya seidikit ‘tip’ atas kesalahanku juga. Semula dia menolak, namun karena ku paksa akhirnya dia menerima sambil mengembangkan senyum.

     “Baiklah, Kian. Sepertinya malam ini aku akan datang.” Aku mengedipkan mata. Kian hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
“Lain kali jangan langsung berburuk sangka ya!” teriaknya ketika mobilku menjauh. Aku hanya tersenyum malu dan menancapkan gas lebih dalam. Baik, hari ini benar-benar buruk dan apakah malam ini akan buruk pula? Semoga tidak. 

1 komentar:

  1. Air Jordan 20 Retro Game - Air Jordan 20 Retro
    This product where can i find jordan 18 white royal blue is made find jordan 18 white royal blue in Israel. replica air jordan 18 retro varsity red Air 호반 그래프 Jordan 20 Retro Game replica air jordan 18 retro red suede If you have an alternative version, Type: Game CartridgeColor: AirColor: AirRotation: 90 Degrees

    BalasHapus