-Chapter 3-
Gerimis mulai mereda berganti sinar emas
yang mulai muncul dari celah dedaunan rimbun. Suasana teduh mencoba menyelip
dari sisi-sisi sempit jendela mobil yang aku tumpangi di bawah kebisuan. Tanah
yang basah sedikit lengket membuat perjalanan itu tak begitu mulus.
“Kau sedang sibuk dengan tesisi
mu, ya?”
Tiba-tiba pertanyaan itu muncul
dari mulutnya. Aku agak tersentak dan hanya mengangguk kecil.
“Kau tau dari mana?” mataku tajam
menyelidiknya. Dengan sorot mata ke depan, dia menjawab sambil tertawa renyah.
“Yang perlu kau tau hanya, siapa
saja berhak mengetahui hal yang dia tidak ketahui.” Dengan bibir mengerucut,
aku menyilangkan tangan dan mempalingkan wajah ku sebelum dia memerkan senyum
nya itu.
“Terimakasih untuk tumpangan mu
yang kedua kalinya ini.” Ucapku seraya meninggalkannya menuju pelataran
apartemen. Dia hanya membunyikan klaksonnya dan menancap gas dengan perlahan.
“Menyebalkan!” dengusku sambil melayangkan
tas ke sebuah kursi goyang tak jauh dari alat pemanas ruangan. Tidakkah ada
manusia yang akan kutemukan di pemakaman selain dia? Pikirku melambung hingga
batas kemampuan. Selama dua hari ini, aku memang selalu bertemu dengannya.
Setidaknya hanya dengan bertatap muka.
“Aku rindu kampus.”
Mataku melayang mencoba menarik
ulang kembali suasana di ruangan yang penuh desas-desus para mahasiswa.
Sepertinya hatiku mulai tergerak untuk segera kembali ke kursi kuliahku.
Baiklah, kumantapkan janjiku ini untuk kembali larut dalam diskusi menggelikan
bersama teman dan menatap keseriusan seorang dosen barparas datar tanpa
sunggingan senyum sedikitpun di urat bibirnya. It’s time to take a bath! Dengan
langkah sedikit lega, kuraih handuk dan segera masuk ke kamar mandi.
“So Fresh!” aku sedikit berteriak
setelah semua pakaian lengket di tubuh. Hari masih siang, secepat inikah
kukatupkan mata hingga pagi besok? Tidak mungkin. Jika iya, kalian bisa
memanggilku “Putri Tidur Abad ke -20”. Hahaha, tidak, aku hanya bercanda. Krunyuuuuukkkk…..
Astaga, sepertinya jam makan siangku telah berdenting berkali-kali dan aku
baru sadar sekarang? Aku segera berlari menuju dapur dan melihat isi tudung
saji. Bagus, tidak ada tersisa sedikitpun makanan di sana . Sepertinya aku memang benar-benar
hampir mati kelaparan semalam, hingga pagi ini sepotong roti keras pun tak
bersisa.
“Atau kuajak dia untuk makan
siang bersama?” pertimbangan bodoh itu sejenak melintas di kepalaku
sampai-sampai dengan susah payah kutepis agar tak mampir kembali. Gila sekali
jika aku memang benar-benar memintanya! Andai kau masih di sini Brad, kau
adalah orang pertama yang akan kumintai untuk menemaniku makan siang hari ini.
Kembali aku mengingat masa indah yang kuhabiskan bersama Bradey sebelum
kematian menjemputnya. Kembali kusesali perbuatan egois ku hingga Brad yang
menjadi korban. Apakah sepenuhnya salahku? Pertanyaan ini yang selalu menjadi
pembelaan ketika bayangan menyalahkanku. Sambil melihat isi majalah kuliner
edisi terbaru, aku berjalan menyusuri jalan menuju kamar dan meraih sebuah tas
berwarna biru tua bercorak gelombang kecil sangat menarik. Errr, aku membuka
pintu mobil sambil bersungut tak jelas, “Don’t you leave me alone…” mungkin
tepatnya pernyataan ini tertuju pada almarhum Brad. Karena raga sudah terlalu
lelah dan lapar sudah menyerang semakin cepat, akhirnya aku memutuskan
mengendarai mobil sendiri dari pada harus mengantri menunggu bus lewat di
terminal yang sangat ramai akan lautan manusia.
“Damn! It’s really a traffic jam!”
sungutku ketika terjebak dalam rimbunan kendaraan roda dua maupun empat. Darah
panas ini mengalir begitu saja hingga mencapai titik pembuluh darah paling
rendah. Dan akhirnya meledak melalui suara ‘terompet’ mobil begitu panjang. Aku
mengusap dada, mencoba menenangkan diri sejenak. Haruskah aku keluar mobil,
menorobos para pengendara lantas menyalahkan si petugas lalu lintas? Ah! Gila sekali jika memang itu akan
benar-benar kulakukan.
Pedal rem kuinjak, aku memarkirkan mobil
di sisi kiri depan gerbang keluar sebuah restaurant yang baru kujajali sekarang
ini.
“D-ZoneLife” lidahku sedikit
pegal mencoba mengeja satu per satu huruf yang terpampang jelas di sebuah
tembok gramit bercorak cantik.
“Permisi nona, apakah anda
pengunjung baru di sini?” Tanya seorang petugas berbadan kekar bermata tajam
menusuk mataku hingga ke lensa juga kornea. Aku hanya mengangguk dan menatapnya
malas.
“Peraturan di sini, bagi setiap
pengendara roda empat harus membayar registrasi demi keamanan kendaraanya.”
Lidahnya berkelat dan membiarkan liurnya berhamburan. aku mendelik merasakan
kejijikan berada di dekatnya.
“Bisakah setelah kuselesaikan
kunjungan ku ke dalam? Kau tau, aku sangat lapar.” Aku menolak bukan karena aku
tak mau, namun aku sudah merasa sangat kesal. Mulai dari macetnya jalan sampai
si lelaki menjijikan ini menghalangiku untuk segera mengisi kosongnya perut.
“Maaf, nona. Peraturan di sini
memang begitu.”
“Aku sudah sangat lapar!” aku
mulai naik darah.
“Tidak bisa!”
“Gila ya! Apa manager mu sekejam
ini? Membiarkan pengunjungnya mati kelaparan demi sebuah registrasi yang tidak
begitu penting?”
“Aku hanya menjalankan tugas!
Jika tidak, silahkan anda pergi dari sini!”
“Tapi perutku sudah melilit!”
“Bukan urusan ku!”
Pria itu menajamkan matanya,
mencoba mengegerkan ku hingga bertekuk lutut padanya. Dia mengisyaratkan ku
untuk segera angkat kaki, atau memenuhi peraturan tadi.
“Ada
apa ini?”
Aku terkejut, melihatnya berdiri
sambil berkecak pinggang layaknya seorang model berdiri di atas catwalk
berwarna hitam berhawa panas.
“Kian?”
Dia mengangkat alis seolah
melihat seorang budak memanggil namanya. Aku menatap sangar hingga membuatnya
sedikit bergidik.
“Maaf tuan, nona ini tidak mau
mematuhi peraturan.” Pria itu menunjuk-nunjukku.
“Oh, jadi kau kenal dengan dia?”
aku melemparkan pertanyaan pada Kian. Dia mengangguk tanpa senyum sedikitpun.
“Kian, aku sudah sangat lapar.
Dan kau mau temanmu ini mati kelaparan?” kini aku memelas menyayukan mataku di
depan Kian. Lantas, Kian tak bergeming seolah dia seperti sang sutradara yang
melihat ku sedang ber-akting-ria.
“Kau tidak percaya, heh?” aku
mulai kesal.
“Baiklah, biarkan dia masuk.
Nanti akan kuurus selesai ini.” ucap Kian.
Hufhh, syukurlah akhirnya aku
akan makan siang juga hari ini. Aku hanya mengikuti Kian sambil mengucapkan
terimakasih padanya tanpa memperdulikan gubrisannya.
Aku menarik kursi di depan Kian dan
memanggil pelayan lalu memesan beberapa menu yang kuanggap dapat mengenyangkan.
Tak berapa lama, akhirnya pesananku datang dan tanpa aba-aba langsung kulahap
tanpa berbicara sedikitpun pada Kian.
“Sudah selesai?” Kian bertanya
dengan hati-hati. Aku meletakkan sebuah gelas berisi air mineral dan mengangguk
pelan sambil memegang perut yang sudah sangat kenyang.
“Sepertinya kau sangat lapar? Apa
kau tidak makan dari tadi pagi?” tanyanya kembali.
“Bahkan dari semalam!” aku
mengepalkan tangan hingga membuat Kian menyangka, aku ingin meninjunya. Kian hanya
menyeringai puas melihatku sengsara karena tidak mendapat asupan gizi.
“Kau bertengkar dengannya berapa
lama? Apa kau hendak meninjunya?” Kian menunjuk ke arah petugas kekar tadi. aku
mengangkat pundak ingin membuatnya penasaran. Kian hanya mengangkat alisnya. Kurasa
dia sedang berpikir.
“Jika kau terlambat datang,
mungkin dua mata si keparat itu sudah menghitam.”
“Keparat?”
“Untuk kali ini, kubilang dia
keparat. Karena dia menghalangiku untuk makan. Kau tau kan , jika aku sudah sangat lapar pasti akan
kulewati segala rintangan yang menghadang.” Ucapku seolah sedang berorator. Kian
hanya tertawa renyah dan mengangkat sebuah tasnya berwarna coklat tua. Dia menyerahkan
selembar kertas berwarna padaku. Loh, kertas ini mirip sekali dengan kertas
yang kuterima dua hari yang lalu. Namun belum sempat kubaca apa isinya. Kian hanya
tersenyum-senyum dan menutup ke dua wajahnya. Aku bergidik ngeri, apakah dia
mengidap kelainan jiwa? Dia meberi isyarat padaku untuk membacanya. Tak butuh
waku lama untuk membaca karena Kian membimbingku untuk membaca tulisan
berukuran sedang yang tertera di bagian paling atas.
“Kian! Kau serius?”
Dia hanya mengangguk.
“Are you kidding me?”
Kian hanya tersenyum dan
menggeleng meyakinkan.
“Kau benar-benar akan tampil?”
Dia kembali menutup wajahnya dengan
sebelah tangan sambil mengangkat jempol. Ya Tuhan, Kian! You’re so amazing boy!
Proud of you!
“Jadi, malam ini kau akan berdiri
di situ bersama boyband yang kau bentuk itu?”
“Ya, Eilinora Muireann!” Kian sudah
mencapai batas geramnya. Dia mencubit dan menarik ke dua pipiku. Aku menepis
nya dengan ligat agar pipiku tak kembali memerah seperti mengenakan bloss-on.
Kian Vanuell John Egan, teman yang sangat
akrab denganku semenjak kami duduk di kursi sekolah menengah hingga saat ini,
menginjak di gedung yang megah, universitas yang diidam-idamkan para pelajar
masa depan. Baiklah, akan kuceritakan sedikit tentang teman ku ‘cool’ ku yang
satu ini. Saat kami sedang membahas mengenai impian di waktu mendatang, dengan
santainya dia melilitkan lidah ke sana
ke mari sambil menepuk dadanya.
“Aku, Kian Egan, ketika umurku
sudah matang nanti akan membuat sebuah grup musik ternama di seluruh dunia!” begitulah
kira-kira ucapannya. Aku hanya menyiyir sambil memeletkan lidah.
“Ah, mana mungkin seorang seperti
dia yang gayanya membuatku ingin sekali muntah akan bisa menjadi seorang
penyanyi, terkenal lagi!” pikirku dalam hati. Saat itu aku selalu mengabaikan
apa yang diimpikan Kian karena menurutku itu mustahil. Dan ketika kami sudah
berpisah ketika duduk di bangku kuliah, dia memang sungguh-sungguh mengambil
jurusan seni dan sastra. Kami memang tetap bertemu walau sangat jarang. Dan secara
tidak sengaja hari ini aku bertemunya di sini dan dia membuatku terkaget-kaget
setengah mati.
“Ku rasa, kau harus menarik
ucapanmu kembali. Beberapa tahun yang lalu, Ei!”
Kian menatapku penuh kemenangan. Aku
hanya tersenyum kecut sambil menyikut lengannya.
“Baiklah, kuanggap kau memang
sudah bersungguh-sungguh. Namun kau belum terbukti kan bisa membuat grup mu itu membludak di
mana-mana?” aku kembali menatapnya.
“Akan kuwujudkan itu beberapa
waktu ke depan.”
Ah sudahlah, jika bicara tentang
impiannya bisa-bisa aku akan menghabiskan waktu untuk berdebat masalah sepele
dengannya. Seorang pelayan berperawakan jangkung mendekatiku sambil berkata,
“Bill nya, nona.” Astaga, lumayan
melunjak pengeluaranku hari ini. Aku merogoh tas, tapi bukan dompet yang
kudapatkan. Kembali kurogoh saku baju, nihil hasilnya. Aku mulai keringat
dingin. Atau jangan-jangan tertinggal di laci meja rias ya? Ya Tuhan, sebodoh
ini kah aku hingga melupakan harta terpenting itu?
“Berapa semuanya?” Tanya Kian
pada si pelayan. Pelayan itu menyerahkan total harganya dan Kian membayar
dengan cepat. Aku hanya meringis menusap kening dan menutup wajah karena malu
luar biasa.
“Lain kali, kau harus persiapkan
uang cash di saku baju mu.” Celetuk Kian sambil tertawa. Aku semakin
terpojokkan melihat pelayan tadi menjauh sambil tersenyum jahat.
“Ei, aku turut berduka cita ya atas
kematian Bardey. Maaf waktu itu aku tak sempat berziarah ke pemakamannya. Kau tau
kan , aku
sangat sibuk dan terikat dengan masa kuliahku.” Kian menatapku teduh. Tiba-tiba
saja aku kembali memutar waktu dan mengingat kembali pria itu. Sekarang aku
mencoba untuk melupakannya dalam kehidupan, namun tidak dengan hatiku. Dia tetap
menjadi yang pertama membuatku tarjtuh-jatuh dalam pelukan cintanya. Kian berdehem
melihatku melamun.
“Have a problem, hun?” tanyanya.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih
atas perhatianmu. Aku maklumkan ketidakhadiran mu, Kian.” Aku mengulas sederet
senyuman mengalihkan perhatiannya yang menatapku sedih. Aku berjalan keluar
melalui pintu di sisi kiri restaurant itu. Dia mengantarku sampai di depan
pintu mobil dan berkata,
“Ku harap nanti malam kau bisa
datang, ya Ei. Sekaligus menambah kepercayaan diriku.” Cengirnya.
“Akan kuusahakan, Kian. Good luck
ya! Terimakasih atas bantuanmu tadi, apa perlu kuganti?”
“Mengajakku berbelanja
barang-barang baru sepertinya cukup.”
Aku menepuk jidat sambil berkecak
pinggang. Kian memang penggila belanja. Aku saja yang perempuan notabene suka
berbelanja kalah cekatan dengannya. Tawa kami meledak dan dengan cepat reda
ketika petugas kekar yang tadi menghalangiku menghampiri kami,
“Ah, dia datang lagi. Sepertinya dia
tidak suka dengan ku ya, Ki?” aku berbisik pada Kian sambil menatap si petugas
itu dengan sinis.
“Tenanglah, pulanglah kau
sekarang, Ei. Soal itu aku yang mengurus.”
Namun di saat aku hendak membuka pintu
mobil, si keparat itu menghalangiku.
“Maaf nona,”
Kepalaku mendidih dan serasa
ingin meledak dengan kecepatan tinggi. Muka ku memerah dan Kian yang melirikku
seperti itu mulai menjauh bergidik ngeri.
“Maaf,” belum lagi dia
menyelesaikan pembicaraannya sudah kupotong dengan kata-kataku yang sudah
menumpuk di dada.
“Ada apa lagi? Masalah registrasi tadi? Bukankah
sudah dibilang akan diurus Kian? Apa anda tidak suka dengan saya sehingga
mencoba mencari masalah? Anda belum tau saya perempuan karateka sabuk hitam. Jika
anda menghalangi saya pergi sekali lagi, sesuatu buruk terjadi pada anda!”
Sekepul nafas berhawa panas
keluar dari hidungku yang merah. Kian memelototkan matanya tak percaya dengan
ancaman ku tadi. bibirnya bergetar. Aku menatap Kian dengan tenang memberi
isyarat tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dia melongos, membetulkan poni
blonde-nya.
“Astaga, maaf nona. Bukan itu
maksud saya, tadi dompet anda terjatuh sewaktu anda hendak masuk bersama tuan
Kian. Karena takut mengganggu, saya mengurungkan niat untuk mengembalikan
setelah anda makan.”
Petugas itu menyerahkan dompet
yang kukira tertinggal di apartemen. Aku melongos, Kian melongos. Muka ku merah
padam menahan malu yang menghujam pandangan. Aku menggigit jari. Terlanjur sudah
kusumpah serapahi petugas itu, ku panggil dia dengan sebutan yang sedikit kasar
dan mengancamnya yang tidak-tidak. Hufh, jika ada Bradey aku bagaikan seekor
keledai yang akan pulang ke kandangnya di tengah hutan. Dengan cepat kuucapkan
terimakasih pada petugas itu dan memberinya seidikit ‘tip’ atas kesalahanku
juga. Semula dia menolak, namun karena ku paksa akhirnya dia menerima sambil
mengembangkan senyum.
“Baiklah, Kian. Sepertinya malam ini aku
akan datang.” Aku mengedipkan mata. Kian hanya tersenyum dan melambaikan
tangan.
“Lain kali jangan langsung
berburuk sangka ya!” teriaknya ketika mobilku menjauh. Aku hanya tersenyum malu
dan menancapkan gas lebih dalam. Baik, hari ini benar-benar buruk dan apakah
malam ini akan buruk pula? Semoga tidak.
Air Jordan 20 Retro Game - Air Jordan 20 Retro
BalasHapusThis product where can i find jordan 18 white royal blue is made find jordan 18 white royal blue in Israel. replica air jordan 18 retro varsity red Air 호반 그래프 Jordan 20 Retro Game replica air jordan 18 retro red suede If you have an alternative version, Type: Game CartridgeColor: AirColor: AirRotation: 90 Degrees