#10 Behind Festival
and True Love
@Sushi Restaurant
Aku hanya mengikuti Nicole dari belakang sambil bertanya-tanya dalam
hati. Dia memilih untuk duduk di lantai dua karena suasana lebih nyaman dan
terhindar dari ramainya pengunjung malam itu. Dengan wajah dingin dia
mempersilahkan ku duduk sembari meletakkan tas kulitnya.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya
tanpa melirikku sedikitpun. Aku mencoba bersabar atas semua sikap anehnya.
“Tidak, aku sudah kenyang.
Terimakasih.” Ucapku menolak. Dia hanya mengangkat bahu sambil memanggil
pelayan.
“Jangan ajak aku bicara sampai
aku menyelesaikan makan malamku ini.” Peringatnya. Aku hanya mengangguk sambil
memainkan handphone.
Triing! Bunyi hentakan garpu dan sendok menandakan Nicole sudah
menyelesaikan makannya.
“Aku membawamu ke sini karena aku
ingin bicara sesuatu.” Jelas Nicole. Tiba-tiba dia menatapku. Kulihat matanya
masih menyiratkan rasa persahabatan padaku. Dan aku yakin, dia melakukan ini
semua karena sebuah alasan. Entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh begitu
cepat. Aku sedikit kaget melihatnya menangis. Segera kuambil selembar tisu dan
memberikan padanya.
“Chii. Chisel.. Maafkan aku,
selama ini aku selalu menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan atas sikapku yang
tidak baik ini. Aku memang gadis bodoh! Gadis ingusan yang belum dewasa!
Seharusnya kamu tidak berteman dengan gadis dungu sepertiku. Maafkan aku selama
ini membuatmu kehilangan semangat belajar. Aku memang gadis yang bodoh!” Nicole
memaki-maki dirinya sendiri. Aku hanya mematung melihat tindakannya. Dengan
sangat terisak dia meminta maaf padaku. Tak berapa lama, rasanya mataku sudah
terasa panas. Aku tak tahan lagi, segera kupeluk Nicole dan menenangkannya.
“Sudahlah, Nicole. Tak apa, aku
sudah memaafkan mu jauh-jauh sebelum kamu meminta maaf.” Hiburku tersenyum. Dia
hanya menganggukkan kepala sambil membalas pelukanku. Segera kupesan satu cup
ice cream untuk menenangkan fikirannya.
“Selamat ya!” ucap Nicole sambil menelan ice cream huzzle-nut nya. Aku
hanya melongo sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.
“Selamat atas apa?” Nicole hanya
tersenyum simpul dan menghabiskan ice creamnya. Aku menatapnya penasaran
menunggu jawabannya yang memuaskan.
“Kamu sudah berhasil menjadi
pacar lelaki yang dulunya kamu benci. Bryan McFadden.” Sontak aku tertawa
sambil memegang perut. Aku hampir tersedak atas apa yang dibilang Nicole.
Nicole mengernyitkan keningnya.
“What’s worng?” tanyanya padaku.
Aku belum menjawab. Hanya tertawa dan tertawa, sampai-sampai pelayan di meja
seberang melihat ku dengan aneh. Setelah puas tertawa, aku menjawab,
“Tidak. Aku tidak pacaran
dengannya!”
Kini Nicole yang tertawa bahkan
lebih lama dariku. Dengan sabar aku menunggu hingga ia terdiam.
“Don’t lie! Aku tau Bryan suka padamu dan
memintamu menjadi pacarnya, right?” ujar Nicole terburu-buru.
“Ceroboh! Memangnya kamu tau aku
menerimanya?” pertanyaanku berhasil membuatnya kembali membeku.
“La… Lalu?”
“Tidak. Aku tidak menerimanya.”
Ucapku pelan.
“Mengapa?!” Tanya nya kembali.
“Karena aku tidak mencintainya,
Nicole. Aku tidak mau membuat Bryan
jatuh dalam kebohongan ku.” Tiba-tiba Nicole memelukku kembali, dia mebisikkan
sesuatu.
“Aku yakin keputusanmu benar.
begitu juga dengan cinta Mark terhadapku.”
“Kamu tidak menerimanya?” tanyaku
dengan geram.
“Aku belum menjawab. Tapi
sungguh, aku tidak mencintainya. Aku… Aku telah mencintai lelaki lain, namun
lelaki itu menyukai sahabatku sendiri.” Nicole mulai melunak. Ya Tuhan,
jangan-jangan……..
“Kamu menyukai Bryan?” Dengan hati-hati aku memandang
wajahnya. Tak lama dia pun mengangguk. Ternyata benar, setelah kuperhatikan
selama ini Nicole memang menyimpan perasaan pada Bryna. Bodoh sekali! Mengapa
aku tak menyadarinya dari dulu sehingga pertengkaran ini tak terjadi?!
“Maafkan aku Chisel, aku memang
menyukainya. Alasan itu yang membuatku bersikap seperti ini. Aku … aku cemburu
jika melihat Bryan
bersama mu. Apalagi di depan mata kepalaku sendiri.” Terangnya kini dengan
menunduk. Ah, ternyata cinta telah mebutakan nya, hingga ia nekat seperti ini.
“Tenang, Cole. Aku dan Bryan hanya sebagai
teman, itu saja.” Hiburku. Dengan mata berbinar dan senyum yang merekah Nicole
menangguk.
“Jadi, kita tetap bersahabat?”
tanyaku sambil mengacungkan kelingkin.
“Tentus!” sahutnya menyambut
kelingkingku. Di saat angin malam mulai berhembus membawa segala keluh kesah ku
dan Nicole malam itu. segarnya udara malam membuatku mengantuk hingga memaksa
Nicole untuk mengantarku pulang. Malam itu, menjadi malam yang indah bagiku. Di
mana sahabatku kembali dalam kehidupanku yang selama ini merana seperti
kehilangan separuh jiwa. Love you, always, Nicole!
***
Pagi hari, dimana merpati meneguk air bening di kolam sekolah seolah
sedang bersiap menyambut para siswa yang datang. Udara dingin pertanda winter
akan datang memaksa ku mengenakan syal hijau lumut sambil memegang erat tas pink
tua. Hari ini, pelajaran bebas, artinya kita bisa masuk kelas yang diinginkan.
Sayangnya, aku tidak bisa masuk kelas fisika karena harus segera latihan untuk
festival lusa besok.
“Pagi, nona.” Sapa Bryan, Nicky
dan Mark ketika aku hendak menaiki anak tangga menuju kelas. aku hanya
tersenyum sambil membalas,
“Pagi para pria tampan.” Entah
mengapa, tiba-tiba rona merah muncul di wajah mereka bertiga. Aku hanya
cekikikan sambil terus berjalan.
“Loh, kalian masih di sini? Tidak masuk kelas?” kagetku ketika Bryan, Nicky dan Mark
masih berdiri berjajar di dasar anak tangga. Mereka hanya tersenyum sambil
menggeleng.
“Kami ingin ikut anda, nona.”
Ucap Mark. Aku hanya menepuk jidat sambil berjalan bersama mereka menuju ruang
musik. Ketika aku sampai, ternyata masih sepi. Beruntung ada mereka bertiga
yang menemaniku.
“Ehh, gue bisa main piano nih.
Dengerin deh, terkhusus buat nona cantik ini.” Ucap Bryan membuat Mark dan Kian
menggodanya.
“Lo suka ya sama Chisel?” Tanya
Kian sambil nyengir.
“Cie cieeee….” Teriak Mark. Bryan hanya mengedipkan
matanya hingga membuatku terpingkal-pingkal.
Sambil memainkan piano, Bryan juga bernyanyi.
Suaranya yang khas membuatku ingin mendengarkan nya berkali-kali.
“An empety street, an empety
house, a hold inside my heart
I’am
all alone the rooms are getting smaller
I wonder how, I wonder why, I wonder where
they are
The days we had, the song we
sang together, oh yeah
And
oh my love, I’am holding on forever reaching for a love that seems so far
So I
say a little pray, and hope my dreams will take me there
Where
the skies are blue to see you once again, my love
Over
seas from coast to coast
To
find the place I love the most
Where
the fields are green
To
see you once again, my love…”
Tak kusangka, ternyata Bryan mempunyai kemampuan yang luar biasa. Dia
mahir sekali memainkan piano seolah aku melihat dad yang memainkannya.
“Standing
applause for you, Bry!” kagumku. Dia hanya tertawa sambil bangkit.
Aku
memperhatikan sekeliling, sepertinya dia belum datang.
“Shane
mana ya? Tumben belum muncul, biasanya dia paling awal.” Tanyaku.
“So
sweet amat nanyain nya? Hahaha, palingan masih di kelas.” goda Kian. Aku hanya
mencubit lengannya dengan pelan sambil menutup wajah.
Lima
menit, sepuluh menit, hingga waktu terus merangkak, Shane tak kunjung datang.
Aku mulai cemas antara menunggunya maupun latihan yang harus segera
dilaksanakan, karena waktu tinggal satu hari lagi! Dengan gontai, aku melangkah
keluar ruangan meninggalkan tanda tanya pada mereka bertiga. Aku pun bingung
dengan perasaan yang kini hadir, di saat aku membutuhkannya, dia malah tak
hadir. Tuhan, semoga dia baik-baik saja. Ketika aku sudah berdiri di depan
kelas Shane, aku memanjangkan leher mencoba mencari nya di dalam. Tiba-tiba
seorang gadis berkacamata memanggilku,
“Hei, kamu mencari siapa?”
Aku diam tak bergeming mencoba
menjawabnya,
“Shane ada?” tanyaku dengan
cemas.
“Oh, dia sedang berada di UKS.
Sepertinya dia terserang demam mendadak. Cobalah ke sana. Oh iya, kamu pacarnya ya?”
Seperti tersedak biji salak, aku
terbatuk sehingga memaksaku untuk meneguk segelas air pemberian gadis itu.
“No, tentu saja bukan. We’re just
friends.” Jelasku dengan muka bersemu. Gadis itu hanya tersenyum sambil
mengangguk. Dengan cepat aku mengucapkan terimakasih padanya dan bergegas
menuju UKS. Entah mengapa pikiran ku saat itu mulai kacau, kenapa tiba-tiba
perasaanku sangat care padanya? Aneh.
Tok.. tok.. tok.. Aku mengetuk pintu tempat Shane berbaring dengan
pelan.
“Masuk,” ucap seseorang di dalam.
Dengan sangat jelas itu suara Shane. Terdengar lemah, tidak seperti biasanya.
Ketika masuk, aku terbungkam. Sebagian tubuhnya yang terbalut selimut dan di
sampingnya terdapat beberapa obat membuatku terenyuh.
“Demam?” dengan lugu aku bertanya
padanya. Shane mengangguk lemah. Seperti tersengat malaikat, aku memegang
dahinya secara tak sadar. Demi Tuhan, sangat panas.
“Main hujan lagi?” tebakku dengan
nada sedikit tinggi. Alisku menjungkit mencoba mengintrograsinya. Dia tersenyum
dan mengangguk.
“Aku rindu hujan.” Ucapnya. Aku
mengernyit sambil duduk di sampingnya.
“Sudah latihan?” Tanya kembali.
Aku menggeleng sambil menatap langit ruangan.
“Aku menunggumu,” ujarku.
“Jika aku belum sembuh, kamu akan
tetap tampil dalam festival itu. akan
ada seseorang yang menggantikan ku. Aku rasa dia akan sangat cocok.” Terang
Shane. Seperti terhantam godam raksasa, aku menatapnya dengan galak. Tidak
mungkin! Jadi apa arti dari semua latihan yang selama ini kami jalani? Sia-sia
begitu sajakah? Namun apa daya, demi kesehatannya aku tak bisa memaksa. Aku
juga tidak mau dia tampil kurang maksimal.
“Pergilah temui Bryan, dia yang akan menggantikanku. Sudah
mendengar nya bermain piano kan?
Sudah bisa kutebak kamu akan terpukau dengannya. Suaranya juga tak kalah indah
bukan? Pergilah.” Perintah Shane dengan nada sedikit memaksa. Aku bertahan,
tetap di tempat. Aku mematung dengan tatapan kosong.
“Tidak! Sampai kamu benar-benar
sehat dan dapat keluar dari ruangan yang sumuk ini, aku akan tetap bersamamu.”
Yakinku. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba sikapku menjadi seperti ini? Aku juga tak
begitu sadar dengan ucapanku barusan.
“Mau mengecawakan Ms.Elizabeth?
Aku yakin, tanpaku kamu pasti bisa.” Shane tersenyum sambil mempersilahkanku
keluar. Sebelum aku mencapai pintu, Shane menarik lenganku sambil berbisik,
“Aku tetap akan datang ke acara
itu dan melihat penampilan mu yang luar biasa.”
Denyitan pintu ruang musik kembali mengisi sunyinya ruangan yang hanya
tinggal seorang. Baiklah, sepertinya Shane menuntutku untuk berkonsentrasi.
Mencoba mengukirkan senyum namun susah. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk
di mana tanpa ada semangat menggebu.
“Demi Shane, akan kulakukan semua
ini dengan sungguh-sungguh.” Tiba-tiba Bryan
membuka mulut mempersilahkan ku mengambil tempat biasa. Aku menghampirinya dan
mulailah kami berlatih. Untuk pertama kalinya berdua dengan Bryan.
***
Cakrawala mulai menguning, menandakan datangnya malam yang dingin. Sepoi
angin menggoda ku untuk mengatupkan mata dengan tenang. Tapi tidak dengan
pikiranku! Masih terus terbayang wajah dan kondisi nya. Aku semakin tak
mengerti dengan permainan cinta yang begitu sulit kupahami. Aku mencoba
menggeser perhatian, percuma, sangat susah. Apa ini yang dinamakan cinta
monyet? Terkadang membuat kita melayang berakhir dengan sakitnya perasaan.
Namun mengapa aku begitu yakin dengan feeling ku kali ini? Tak terasa, waktu
terus bergerak mau cepat ataupun lambat. Ketukan pintu kamar mebuyarkan segala
lamunanku sambil menatap gelapnya langit.
“Semoga dia, “ harapku dalam
hati. Sayangnya tak mungkin, dia sedang sakit.
“Bryan? Ada
apa?” tanyaku sambil membetulkan letak jaket yang agak kebesaran. Dugaan ku
benar, bukan dia yang datang. Seseorang yang tiba-tiba kuharapkan untuk mengisi
malam ku yang suntuk tidak benar-benar datang.
“Inner beauty mu keluar juga,
nona.” Puji Bryan membuatku sedikit melejit. Hahaha, dasar gombal!
“Temani aku keluar sebentar, ya?”
mohonnya tiba-tiba.
“Tenang, aku sudah minta izin
pada tante Jodi, kok.” Sambungnya, buru-buru.
Baiklah, mungkin ini adalah
kesempatan ku menjauh dari kepenatan. Aku mengangguk dan mengambil sebuah tas
mini berwarna hijau.
“Ke mana kita pergi?” tanyaku ketika mobil yang dikendarai Bryan memutar roda dengan
santai.
“Go to the boutique.” Jawabnya
pendek.
Butik? Untuk apa ke sana? Aku sedang tidak
mood untuk belanja. Bisa-bisa rambutku keriting gara-gara melihat baju
bertebaran. Bukannya hilang dari suntuk malah menjadi depresi. Setelah sampai,
aku sempat enggan untuk masuk hingga Bryan
menarikku.
“Ayolah, Chisel yang cantik,
manis, cute, baik hati, suka menabung, rajin menolong, pintar, hormat orang
tua.” Bujuk Bryan, lagi-lagi dengan konyol hingga aku terpingkal-pingkal
membuat beberapa pengunjung melirik ke arah kami. Mungkin jika aku dan Bryan pacaran, setiap hari
aku akan menjadi gadis tawa yang sangat aneh. Huh!
“Sebentar lagi, festival dimulai.
Aku ingin kamu tampil beda, maksudku mengajak mu ke sini untuk fitting baju.”
Jelas Bryan hingga membuatku tersentak sedemikian rupa.
Tak butuh waktu lama, Bryan
telah memilihkan ku sebuah gaun berwarna soft pink dengan corak hitam dan peyet
putih. Terkesan sederhana namun sangat mengagumkan. Aku melongos melihatnya
bersusah payah mengangkat gaun itu agar tidak rusak. Aku hampir tak percaya
melihat apa yang dipilihnya. Se-modis itukah dia? Entahlah, sepertinya otak ku
sudah full capacity hingga tidak mampu memikirkan nya kembali.
“Ayo kuantar ke kamar pas.” Bryan menarik lenganku.
Dengan masih menyimpan tanda
Tanya besar, aku segera mencoba gaun pilihan Bryan itu dengan cepat. Ya Tuhan, it’s so
beautiful. Aku berdiri layaknya seorang Cinderella pada abad 20 ini. Perlahan
aku mengeluarkan diri dari kamar pas ini. Ternyata tidak ada orang, ku rasa Bryan menunggu di tempat
aku dan dia masuk tadi. Dengan hati-hati aku berjalan sambil mengibaskan
rambutku yang tergerai. Maklum, gara-gara Bryan
menodong masuk ke rumah, aku jadi tidak sempat mengikat rambut.
“Oh My God! Cantik melebih dari seorang putri kerajaan!” puji Bryan sambil menatapku
lekat. Rona merah di pipiku seakan membalas tatapannya. Tiba-tiba wanita muda
pemilik butik menyeletuk,
“Cantik sekali, pacar anda ya?
Beruntung anda mempunyai gadis muda seperti dia.”
Bryan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk membuatku
sedikit gusar. Mengapa kami selalu disangka sebagai sepasang kekasih? Entahlah,
mungkin sikap Bryan
yang menjadi penyebabnya. Aku hanya tersenyum kecut sambil mencubit pelan
lengannya. “Tinggal di ubah style rambutnya, and all is perfect!” tukas Bryan.
“Baiklah, akan kusimpan rapi gaun
ini untuk nona cantik. Besok pukul tujuh pagi segera datang ke sini kembali dan
semua akan lancar.” ucap wanita muda itu sambil membawa gaun yang sudah kulepas
dari tubuhku. Aku mengucapkan padanya kata terimakasih sambil menggandeng Bryan menuju mobil.
“Nona, besok akan aku jemput
pukul setengah tujuh, oke? Jika belum bangun aku akan membawa hadiah kecil
untuk mu.” Kata-katanya membuatku ingin meninju Bryan.
“Hadiah apa?” tanyaku
“Kecoa terbang. Hihiihi…” ujar Bryan sambil tancap gas.
Telingaku memerah, bulu kudukku merinding mendengar kata-kata ‘Kecoa Terbang’.
Dari kecil, aku memang takut sekali dengan binatang seperti itu. Oh God! Saat
sampai di gerbang rumah, Bryan
kembali mengingatkan pukul berapa aku harus bangun jika aku tidak menginginkan
hadiah darinya. Dengan merengut aku mengangguk sambil berbalik menjauh.
Pipp pipp! Dering handphone di atas laci kamar menghambat waktu tidurku.
Dengan sedikit malas aku meraih hp dan melihat layarnya. Sebuah pesan masuk
dari, Shane! Tiba-tiba hembusan angin malam yang segar membuat mataku berbinar
sambil tersenyum berbunga-bunga. Padahal mungkin saja bukan hal nyang penting.
Dia menanyakan kabarku apakah sudah siap menaklukan panggung festival tanpanya.
Serta bagaimana persiapan kostum untuk besok. Dengan cepat kubalas pesannya
diselipkan kalimat memastikan apakah dia sudah sehat.
Bruuukkkk! Aku menghempaskan
tubuh ku yang terasa berat ke kasur kesayangan. Dengan berbalut masker dan
timun segar melekat di mata, kunyalakn pendingin kamar dan mematikan lampu
tidur. I’am ready for tomorrow!
***
“Rambutnya style sanggul sederhana saja ya, biar tidak mengganggunya.
Terus mascara agak ditebalkan karena bulu matanya tipis. Lipstick nya jangan
berwarna terlalu terang, bajunya sudah cerah. Bloss on nya ditipiskan membentuk
lengkungan tirus karena pipinya tidak terlalu tembam. Jangan lupa high-heel
nya, pilih yang warna pink tua agar terkesan muda. Ingat! Sanggulnya biasa
saja, atau jika mau, kuncir saja rambutnya dengan gaya tinggi.” Oceh sang make-over hingga
membuat kami semua kalang kabut. Ada yang
manggut-manggut, ada pula yang mencibir mengikuti gaya bicara nya. Asataga! Mungkin jika bukan
tuntutan festival, aku akan teriak dan menerobos para makhluk aneh ini. Dan
beruntung juga, ada Bryan
yang sedang menahan tawanya. Kurasa semua yang dilihat dan didengarnya selalu
terkesan lucu. Setelah 1 jam---------Astaga------------- akhirnya aku selesai
memoles wajah dan sekarang waktunya mengenakan gaun serta high-heel berwarna
cantik. Aku cukup puas dengan semua pesiapan yang ada. Walau agak sedikit
tergesa, namun, dapat ku ancungi dua jempol.
“Siap untuk tampil, putri?” goda Bryan
hingga terdengar beberapa siulan di sekitar butik. Dia terlihat sangat tampan,
lebih dari biasanya. Di sisi pintu keluar, wanita muda yang kami temui kemarin
mengedipkan mata sambil berteriak,
“Good luck! You look so
beautiful, today! Like a princess.”
Aku menghargai pujian nya sambil
menyelipkan kata terimaksih lalu masuk ke mobil Bryan. Jujur saja, debaran jantung yang ku
rasa sulit dikontrol ini semakin menjadi. Hingga matahari naik beberapa
derajat, akhirnya kami sampai di sebuah gedung mewah dengan aksen pentas
orkestra raksasa. Demi Tuhan! Aku mengalami rasa gugup luar biasa. Sambutan
dari teman-teman satu maupun luar sekolah membuatku harus mendekatkan diri pada
Bryan. Dan
penyebab lainnya, dad ku------ Kian Egan------ seorang pianis terkenal hadir
bersama mom dan Koa untuk melihat performance ku. Ku rasa, mental dad sudah
sangat tebal hingga tak bisa ditembus tombak zaman purba. Lihatlah! Ini semua
masih pentas kecil bagi dad, karena dad sudah sering mengisi acara dalam pentas
musik dunia. Aku sangat-sangat salut memiliki seorang dad sepertinya!
Aku sudah bergabung dengan seluruh peserta festival musik di ruang VIP.
Sangat dingin, syukurlah aku memakai jaket, gaun ini sedikit membuat ku
terkekang untuk bergerak. Aku mencoba mencari Shane, namun tidak ada. Rasanya
seperti ada yang kurang, karena tanpa bantuannya aku pasti tidak menyanggupi
acara ini.
“Hei, kenapa murung? Jangan
membuat make-up mu luntur ya, putri.” Sampai saat ini, Bryan masih memanggilku dengan sebutan
‘putri’.
“Mencari Shane? Berdoa lah semoga
dia dapat hadir.” Ucap Bryan dengan sungguh. Cahaya matanya menyiratkan sebuah
keyakinan. Apa yang tersembunyi di balik binar mata biru nya itu?
Sepertinya acara sudah berjalan.
Waktu terus merangkak mencoba memperlambat. Namun, aku merasa begitu cepat
semua ini terjadi. Mulai dari pembukaan, sambutan, dan sampai pada penampilan
masing-masing peserta.
“Setelah peserta yang akan maju
ini, gilirran kamu yang akan tampil.” Peringat Bryan sambil melatih suaranya
sedikit.
“Only me? Tapi kan kita tampil berdua, kok yang kamu sebut
hanya aku?”
Deg! Aku mulai berkeringat
menelisik arti kata yang diucap Bryan
tadi. Bryan
mengangguk dan tersenyum sambil menyodorkan beberapa potong roti isi untuk
mengganjal perut yang sedari tadi menggelar konser seriosanya.
“Next, the collaboration of music and sounds that will be displayed by
the Neoclassical school. Please take the place.” Suara sang pembawa acara seakan
mencekik leher ku, menyusup ke nafasku hingga membuatku sulit berdiri. Kaki ku
terasa keram berdenyut tak karuan.
“Yakin dan percaya kamu bisa.
Berdoalah sebelum memulainya.” Ucap Bryan dengan sedikit melunak. Aku
menggenggam tangannya seolah tidak merelakan Bryan meninggalkan ku di panggung seorang
diri.
“Ayo, jalan duluan. Aku di
belakangmu.”
Shane, kamu dimana? Aku
benar-benar gugup tanpa dampingan mu. Tuhan, aku percaya keajaiban, bisakah
Engkau mengganti Bryan
menjadi Shane? Aku terus meracau dalam hati. Mataku mulai sembab. Mungkin jika
dad tau, dia akan mengejekku dengan kata-kata ‘payah’. Tiba-tiba hp ku
berdering, ternyata pesan singkat dari dad.
“C’mon dear, kami menunggu
penampilan luar biasamu. Dad yakin, kamu bisa! Berdoalah.”
Kembali kutatap wajah Bryan, dia masih mengulum
senyum yang hangat, tapi aku merindukan senyum seseorang yang lebih hangat dari
itu.
“Cepatlah, naik.” Perintah Bryan.
Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dengan doa dan dukungan orang-orang
yang kucintai, aku mulai berjalan dan naik ke atas panggung. Namun tetap saja, aku
hanya seorang diri. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran Shane. Dengan
keyakinan, aku mengambil posisi di depan sebuah piano mewah berwarna putih
bersih menajubkan. Di mana Bryan?
Apa yang diucapkannya tadi benar? Aku hanya tampil seorang diri? Ku harap kini
seekor lalat atau nyamuk bisa mendengar kesahku yang sangat tidak mengenakkan
ini.
Tiba-tiba lampu mati, dan sorakan juga tepuk tangan para penonton
membahan seisi ruangan. Seseorang berdiri di sampingku, ku kira itu Bryan, ternyata…………….
SHANE! He’s really Shane!! Astaga! Dia benar-benar di sini? Dia tersenyum dan
mengisyaratkan padaku untuk memulai menekan tuts piano. Ketika aku memulai dia
mengiringi dengan suara emasnya,
`` I would die for you
Lay down my life for you
The only thing that means everything to me
'Cause when you're in my arms
You make me prouder than
Than anything I ever could achieve
And you make everything that used to seem so big
Seem to be so small since you arrived
On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings
And I often wonder why,
Someone as flawed as I
Deserves to be as happy as you make me
So as the years roll by
I'll be there by your side
I'll follow you wherever your heart takes me
Cause you make everything that used to be so big
Seem to be soo small since you arrived
On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings
Now anyone who's felt the touch of heaven in their lives
Will know the way I'm feeling, looking
In my babay's eyes
That's why I can't bear to be too far away
I know that god must love me cause
He sent you to me on angel's wings
On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings
Love is the answer
It's written on angel's wings ``
Jreeeeeeeeeeeenggg!!
Can’t believe, I can do it!!! Thanks God, aku benar-benar ingin pingsan dapat
kembali melihat Shane di sini. Shane menyambut tanganku dan menggandengnya ke
hadapan ratusan penonton. Kami berdua memberi salam hormat. Di kejauhan, aku
melihat dad, mom, dan semua orang memberi kami berdua sebuah `standing
applause`. Bahagia mulai menjalar di jiwaku. Rasa rindu dan cemas kini terhapus
dibawa terangnya sang surya dari celah-celah jendela. Merpati bertengger di
ranting pohon luar seolah juga ikut puas dengan penampilan kami.
Semua peserta di
belakang panggung memuji penampilan kami tadi sambil menjabat tangan. Ah!
Bahagia sekali rasanya. Ku lihat di sudut terangnya lampu, Bryan berdiri sambil menatapku dan Shane.
“Bryan,
thank too for everything! Sudah kuduga, bakalan ada yang aneh dari semua ucapan
mu tadi.” Aku memeluk Bryan
sebagai tanda terimakasih. Lalu Shane menghampiri Bryan dengan tujuan yang sama,
“Gue tau, cinta takkan dapat dipaksa. Sepertinya Chisel
memang cocok untuk lo. Dari kemarin dia selalu khawatir keadaan lo, bro!”
terang Bryan
hingga membuat pipiku bersemu merah. Shane melirikku sambil cengar-cengir, imut
sekali. Hahahah!
“Thanks bro, buat pengertiannya. Gue yakin suatu saat ada
yang lebih baik buat lo.” Shane menepuk pundak Bryan dengan penuh persahabatan. Kami semua
tertawa lepas. Shane mengajakku keluar dan menemui semua temanteman juga
Ms.Elizabeth. Miss sangat histeris dengan performance kami yang sungguh amazing,
menurutnya. Aku memeluknya. Di belakang sudah ada dad, mom juga Koa. Aku
kembali memeluk dad dengan perasaan bangga serta mengucapkan terimakasih pada
mereka atas dukungannya.
~ Take a rest ~
Nicole!
Tiba-tiba aku teringatnya, setelah lelah beristirahat, aku mencarinya. Dia
pernah bilang, bahwa berusaha untuk datang walaupun telat. Ketika kutanya pada
mom, dia sudah datang sejak aku dan Shane tampil. Namun sekarang entah ke mana.
baiklah, aku segera mencarinya. Saat aku sampai di ujung jalan di sudut yang
begitu luas, aku melihat Nicole------sangat cantik----- bersama seorang lelaki
yang sangat tak asing bagiku.
“Aku… memang sedari dulu bertemu, aku memang menyimpan
rasa padamu.” Ucap Nicole pelan. Apa? Nicole… dia pasti mengungkapkan pada
lelaki itu.
“Aku memang sedikit bodoh, ternyata ada perempuan yang
memperhatikanku. Maafkan jika selama ini aku kurang menyadarinya. Jika begitu,
will you be my girlfriend?” ucap lelaki di depan Nicole. Tiba-tiba mata Nicole
berbinar seolah mendpat oksigen baru.
“Really?? Yes, I will! Thanks Bryan!” Nicole lalu memeluk lelaki itu.
hampir tersedak, dia sangat berani menyatakan pada ya… Bryan McFadden! Dan
sekarang mereka berdua resmi berpacaran. Bagaimana dengan jawaban yang ditunggu
Mark saat memintanya menjadi kekasih nya pula?
“Tenang, Mark
sudah tau semua ini.” Nicole membuyarkan lamunanku. Aku terkaget karena takut
jika dikira menguping pembicaraan mereka.
“Congrtasss Bryan!! Sekarang kamu sudah punya kekasih yang
sangat cantik!” aku memberi selamat pada Bryan
dan Nicole. Mereka berdua hanya tersenyum. Aku rasa aku ingin ke toilet, dengan
tergesa-gesa aku pamit pada mereka dan membiarkan mereka terlarut dalam
kebahagian batin.
“Mark?” aku
mengernyitkan kening melihat Mark menggandeng seorang wanita cantik berparas
Prancis. Mark hanya tersenyum dan berkata,
“Hai Chisel! Permainan mu bersama Shane tadi sungguh luar
biasa! Perkenalkan, ini Calmond Grumbel, pacar baruku.” Wanita itu tersenyum
sambil menjabat tangan ku. Ya Tuhan. Nicole sudah menemukan kekasih cintanya.
Dan Mark sudah bertemu dengan tambatan hatinya. Aku kembali mengucapkan selamat
dan berpamit untuk pergi duluan. Ketika aku sampai di sudut ruangan, ada
seseorang menarikku lembut.
“Shane?” aku terdiam. Dia hanya berjalan memintaku mengikutinya.
Setelah beberapa menit, kami sampai di sebuah taman indah dengan dinginnya
angina tanda-tanda winter akan datang sebentar lagi.
“Ada apa?” tanyaku dengan
penasaran. Shane mengajakku duduk.
‘Masih ingat dengan dua surat misterius. Satu berbentuk hati merah
muda dan satu lagi memintamu ke taman di sebelah lapangan sepak bola.
Remember?” aku terhenyak. Benar-benar tidak menyangka.
“It’s me. Aku yang mengirim itu. maaf jika membuatmu
penasaran dan terganggu namun maksudku,……” Shane menarikku berdiri di samping
bunga tulip yang mulai membeku.
“Aku benar-benar ingin mengenalmu sangat dalam. Dengan
alasan itu, baru sekarang aku sungguh-sungguh menyatakannya padamu. Aku
benar-benar mencintaimu sejak aku mengenal dad mu, pianis terkenal, Kian Egan.
Aku mengusulkan semua ini karena aku yakin, kamu mempunya bakat yang sama
seperti dad mu. Dan itu benar. With all my beliefs, my love and sincerity of my
heart, will you be my girlfriend?”
Aku benar-benar membeku dalam hawa dingin cinta. Aku
benar-benar membisu dengan segala perkataan yang ingin kuucapkan, aku
benar-benar tuli dengan apa yang dia katakana, aku benar-benar buta dengan apa
yangkulihat sekarang. Semua! Semua harapan ku, yang selalu kupendam secara
diam-diam telah terwujud menjadi nyata. Sekarang, Shane telah menyatakan bahwa
dia telah terpikat pada ku. Dengan mata yang berkaca-kaca perlahan tapi pasti
akan jatuh, aku mengangguk dan berkata,
“ YES, I WAN TO BE YOUR GIRLFRIEND, Shane!”
Aku memeluknya, tangis ku pecah, aku bersyukur pada Tuhan
kini telah menyembuhkan lelaki yang sangat kucintai. Tiba-tiba semua orang yang
ku kenal, berada di sekelilingku, mengukir senyum, memberi selamat pada kami
yang telah resmi menjadi sepasang kekasih. Dengan tulus, aku mengecup pipi
Shane dan Shane mengecup keningku.
Dentingan jam,
terus merangkak memakan peristiwa yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Surya mulai
tenggelam di telan musim yang kini telah berganti menjadi salju yang selalu
kutunggu-tunggu. Tepat di musim dingin ini, aku dan Shane menjadi sepasang
kekasih. Kunikmati bersama Shane indahnya salju dan dinginnya udara membalut
seluruh tubuh. Aku rasa, tidak ada lelaki yang sempurna, namun bagiku Shane
segalanya. Dia telah memenuhi bahkan melebihi criteria seorang belahan jiwaku. Dad
dan mom hanya tersenyum melihatku mulai dewasa dan percaya diri. Ini semua
berkat dia, lelaki yang amat sangat kucintai, Shane Steven Filan. Dan kurasa,
kini aku, Chisela Misery, seorang gadis beranjak dewasa, gadis muda yang
beruntung mendapatkan hatinya Shane.
``Love comes by itself, wait
until you're absolutely sure``
THE END
----- Buat semua yang sudah setia membaca, terimakasih. Saya sebagai author, memohon maaf apabila dalam penulisan mengandung hal-hal yang kurang pantas. Mohon dimaklumi karena saya sebagai penulis pemula yang mencoba merangkak ke arah yang lebih baik. Jika ada kritik, saran, komentar atau masukan, silahkan berikan, saya pasti menerima. Sekali lagi, thanks for attention! :)