Kamis, 30 Agustus 2012

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


-Chapter 1-

         Tiupan angin menyapa tubuhku pelan, garis warna jingga cakrawala di pinggir langit membawa tanda sore telah tiba. Aku yang masih terpaku di dekat sebuah nisan yang masih baru tak peduli apakah aku harus bermalam selamanya di sini. Pikiranku masih membeku, hatiku masih menangis, mataku sangat bengkak hingga bibirku pun menjadi kering. Keegoisan menutup hampir semua logika ku hingga aku hampir gila. Terbalut dengan pakaian berwarna serba hitam, aku meracau tak karuan,

“Mengapa kau pergi secepat ini? Aku masih mencintaimu! Atau kau sudah hilang rasa hingga tega membuatku pilu seperti ini?”

Entahlah tanggapan para pelayat yang berangsur-angsur menghilangkan diri. Aku sama sekali tidak peduli. Yang ku mau sekarang hanyalah orang yang tidur ini kembali bangkit menemani hariku yang sepi. Setiap menit, perasaanku berubah-ubah. Kadang sedih kadang pula aku merasa kesal. Aku belum bisa menerima keputusan Tuhan. Aku belum siap sehingga emosi ku pun masih mengambang.

“Aku sadar, belakangan ini aku jarang memberi perhatian padamu. Namun bisakah kau beri aku kesempatan kembali? Ku mohon bangunlah, walau hanya sebentar. Aku masih ingin memeluk jasad mu yang hidup. Ku mohon bangunlah! BANGUNLAH! BANGUNLAH!” teriakku.

“Setelah itu, kau boleh kembali ke dalam tidur panjangmu, Brad!” lanjutku kembali terisak.

     Pria yang kutangisi, bernama Bradey Naomhan, seorang asli Ireland. Kami saling menyukai sejak berusia remaja dan pada saat itulah aku resmi menjadi kekasihnya hingga aku mulai memasuki masa dewasa. Aku menyukainya juga menyukai namanya. Bradey Naomhan, dalam bahasa Ireland berarti ‘Semangat Suci’. Kepribadiannya pun membuat aku terkagum. Dia seorang yang optimis dan pantang menyerah, hingga akupun tertular virus semangatnya. Namun kematian nya sekarang berawal dari kami yang mulai memenangkan ego sendiri.


 * SKIP *           


            --- December 26th 2012. Sligeach, Sligo, Ireland---
     
     “Kita sudah sama-sama dewasa dan kau sebagai lelaki seharusnya bisa memberiku keluasan dalam bergerak!” Kesalku.
Prangggg! Brad melempar vas bunga hingga menembus jendela apartemenku. Aku menutup telingan sambil menahan air mata.
“Ku kira dewasa akan mengubah sikap pilih kasihmu, ternyata makin menjadi! Aku sudah muak dengan kesabaranku sendiri. Aku menyesal telah mencintaimu! Hubungan kita berakhir dan jangan pernah mendatangiku kembali!”

Braak! Brad menghentak pintu dan menancap gas mobil jeep nya dengan kencang.
“Braaad! Tunggu! Aku masih…….. masih mencintaimu..”
Aku terduduk di lantai dengan rambut berantakan. Bayangkan, selesai mengurus tesis di siang bolong dan pulangnya harus menghadapi kekasih yang salah mengerti. Bukannya aku tidak mau lagi memberi hari lebih banyak pada Brad, namun target kelulusan harus ku kejar dan otomatis hanya bersisa sedikit waktu kami untuk bersama. Sedangkan waktu untuk mengurus diriku sendiri saja harus mencuri-curi.

     Aku diam membeku, tak percaya dengan apa yang diucapkan Brad tadi. Aku benar-benar merasa bersalah atas semua ini. Karena ku, hubungan kami berantakan. Dan yang ku khawatirkan, Brad akan melakukan suatu hal yang nekat karena tidak mampu menahan emosinya. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Hingga malam tiba, belum ada satu kabar pun dari Brad. Ku rasa dia masih benar-benar kesal dan memutuskan komunikasi padaku. Perasaanku masih kacau, lebih kacau dari yang sebelumnya. Feeling ku merasa sedikit buruk. Aku segera meraih handphone dan menghubungi Brad. Percuma, nomornya sibuk.

“Maafkan aku, Brad. Aku masih menyukaimu.” Aku mengela nafas dan mengambil handuk untuk segera menyegarkan diri.

     Pukul 21.15

     Ting tong! Seseorang menekan bel apartemenku. Dengan cepat segera kuletakkan hair dryer dan membuka pintu.
“Cepatlah ke rumah sakit! Dia sedang sekarat!” Ucap pria setengah baya itu yang ternyata kakaknya Brad. Urat di wajahnya menunjukkan dia sangat cemas. Dengan ragu-ragu aku melangkah mengambil kunci apartemen dan menuju mobil nya.

“Brad?!” aku kaget setengah berteriak. Aku menutup wajah sambil memeluk ibu nya Brad. Tampak dari aroma tubuh Brad, dia meneguk alkohol hingga membuatnya sangat mabuk.
“Apa yang terjadi dengannya?” aku bertanya pada orang-orang di ruang kamar. Sepertinya tidak ada yang sanggup untuk membeberkan kejadian aslinya. Tapi, seorang lelaki tua membuka mulut,
“Dia mengendarai mobil dengan kondisi mabuk berat hingga menabrak trotoar jalan. Waktu itu aku sedang menjaga kedai tepat di depan kejadian. Akulah yang menolongnya pertama kali dan membawanya ke sini. Dengan bantuan polisi, keluarganya dapat diberitahu. Memang kau siapa?”
Deg! Aku tak mampu menjawab.
“Aku… aku mantan kekasihnya.”
Hingga malam semakin larut dan akhirnya Brad menghembuskan nafas terakhirnya dan membuat kami semua menangis hingga sampai pemakaman.
---SKIP---                                             

     Aku menggaruk dan memukul-mukul tanah yang subur itu hampir berantakan. Tanganku mulai mendekati nisan dan berniat merusaknya.

“Bisakah kau hentikan sikap burukmu itu?” seorang lelaki di belakang memergoki ku. Dia melepas kacamata hitam yang sedang dipakainya dan berjalan mendekatiku. Aku mencium aroma parfum yang begitu segar dari tubuhnya.

“Makam siapa? Ayahmu? Ibumu? Atau….”
“Kekasihku. Tepatnya mantan kekasihku.” Potongku cepat.
“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud untuk….”
“Tak apa, maaf aku harus segera pergi. Sudah hampir malam dan rumahku sangat jauh dari sini.”
Aku mengambil tas dan pamit pada lelaki yang tak kukenal itu. sebelum beranjak, aku membisikkan kata-kata di sebelah nisan Brad,
“Besok aku akan kembali ke sini, sayang. Tenanglah di sana, aku takkan meninggalkanmu.”

     Sudah hampir setengah jam aku menunggu sebuah tumpangan, namun tak kunjung datang. Aku hampir putus asa. Jika sudah seperti ini, biasanya Brad selalu siap untuk menjemputku tak melihat jarak yang mungkin cukup jauh. Walau sudah seperti ini, keluarga Brad masih bersikap baik padaku layaknya saat kami masih menjalin hubungan. Aku ingin meminta pertolongan Nolen, kakaknya Brad. Namun kuurungkan niat karena akan sangat merepotkan.

“Tidak baik seorang wanita sendirian di malam hari. Mari kuantar.” Tawar seseorang. Aku tersentak, ternyata lelaki berkacamata hitam itu masih mengawasi ku di sini. Padahal sudah sangat lama aku berdiri. Demi keselamatanku juga, aku mengangguk dan menerima niat baiknya itu. Di dalam mobil, kami saling berdiam diri dan menatap ke arah depan. Beberapa menit kemudian, lelaki itu membuka percakapan,

“Sudah berapa lama kau di tempat tadi?” tanyanya menyelidiki. Aku berpikir sambil menghitung putaran jam di arloji.
“Ku rasa hampir tiga jam.” Jawabku. Dia terlihat kaget.
“Kau wanita yang tegar. Masih tetap setia walau dia sudah berbeda tempat dengan mu.”
Yang ada dalam pikiranku adalah tanggapannya tentang diriku tadi adalah salah. Aku bukan wanita yang tegar dan setia, buktinya aku masih keras kepala untuk mengikhlaskan Brad. Ketika aku melihat lelaki itu dari arah samping, tiba-tiba aku seperti melihat wajah Brad. Aku menatapnya, seolah melepas rasa rindu yang mendalam pada Brad.

“Brad?” sontak aku mengeluarkan kata-kata itu dengan sedikit gemetar. Lelaki itu melihat ke arahku.
“Brad? Siapa? Mengapa kau menatapku seperti itu? Ada yang aneh?”
Astaga, Tuhan, dia mirip sekali dengan Brad. Hidungnya, bibirnya, dan gaya rambutnya mengingatkanku pada masa lalu bersama Brad.
“Oh maaf, tiba-tiba aku kepikiran Brad. Dia kekasihku yang meninggal itu.”
Lantas lelaki hanya tersenyum dan menancap gas mobil lebih cepat.

     Akhirnya, aku menginjakkan kaki di apartemen ini. Mungkin jika tidak ada lelaki itu, ucapan ku untuk bermalam di pemakaman akan menjadi kenyataan.
“Terimakasih atas pertolonganmu, semoga Tuhan membalasnya.”
Aku tersenyum padanya sambil melambaikan tangan. Dia hanya membalas senyumanku dan membunyikan klakson.

“Kenapa senyumnya terasa berbeda di hatiku? Ah, menghayal saja kau Eilinora Muireaan!” rutukku dalam hati.

To Be continue...... 

Selasa, 28 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 10 ~ Ending*


#10 Behind Festival and True Love

@Sushi Restaurant
  
   Aku hanya mengikuti Nicole dari belakang sambil bertanya-tanya dalam hati. Dia memilih untuk duduk di lantai dua karena suasana lebih nyaman dan terhindar dari ramainya pengunjung malam itu. Dengan wajah dingin dia mempersilahkan ku duduk sembari meletakkan tas kulitnya.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya tanpa melirikku sedikitpun. Aku mencoba bersabar atas semua sikap anehnya.
“Tidak, aku sudah kenyang. Terimakasih.” Ucapku menolak. Dia hanya mengangkat bahu sambil memanggil pelayan.
“Jangan ajak aku bicara sampai aku menyelesaikan makan malamku ini.” Peringatnya. Aku hanya mengangguk sambil memainkan handphone.

   Triing! Bunyi hentakan garpu dan sendok menandakan Nicole sudah menyelesaikan makannya.
“Aku membawamu ke sini karena aku ingin bicara sesuatu.” Jelas Nicole. Tiba-tiba dia menatapku. Kulihat matanya masih menyiratkan rasa persahabatan padaku. Dan aku yakin, dia melakukan ini semua karena sebuah alasan. Entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh begitu cepat. Aku sedikit kaget melihatnya menangis. Segera kuambil selembar tisu dan memberikan padanya.
“Chii. Chisel.. Maafkan aku, selama ini aku selalu menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan atas sikapku yang tidak baik ini. Aku memang gadis bodoh! Gadis ingusan yang belum dewasa! Seharusnya kamu tidak berteman dengan gadis dungu sepertiku. Maafkan aku selama ini membuatmu kehilangan semangat belajar. Aku memang gadis yang bodoh!” Nicole memaki-maki dirinya sendiri. Aku hanya mematung melihat tindakannya. Dengan sangat terisak dia meminta maaf padaku. Tak berapa lama, rasanya mataku sudah terasa panas. Aku tak tahan lagi, segera kupeluk Nicole dan menenangkannya.
“Sudahlah, Nicole. Tak apa, aku sudah memaafkan mu jauh-jauh sebelum kamu meminta maaf.” Hiburku tersenyum. Dia hanya menganggukkan kepala sambil membalas pelukanku. Segera kupesan satu cup ice cream untuk menenangkan fikirannya.  

   “Selamat ya!” ucap Nicole sambil menelan ice cream huzzle-nut nya. Aku hanya melongo sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.
“Selamat atas apa?” Nicole hanya tersenyum simpul dan menghabiskan ice creamnya. Aku menatapnya penasaran menunggu jawabannya yang memuaskan.
“Kamu sudah berhasil menjadi pacar lelaki yang dulunya kamu benci. Bryan McFadden.” Sontak aku tertawa sambil memegang perut. Aku hampir tersedak atas apa yang dibilang Nicole. Nicole mengernyitkan keningnya.
“What’s worng?” tanyanya padaku. Aku belum menjawab. Hanya tertawa dan tertawa, sampai-sampai pelayan di meja seberang melihat ku dengan aneh. Setelah puas tertawa, aku menjawab,
“Tidak. Aku tidak pacaran dengannya!”
Kini Nicole yang tertawa bahkan lebih lama dariku. Dengan sabar aku menunggu hingga ia terdiam.
“Don’t lie! Aku tau Bryan suka padamu dan memintamu menjadi pacarnya, right?” ujar Nicole terburu-buru.
“Ceroboh! Memangnya kamu tau aku menerimanya?” pertanyaanku berhasil membuatnya kembali membeku.
“La… Lalu?”
“Tidak. Aku tidak menerimanya.” Ucapku pelan.
“Mengapa?!” Tanya nya kembali.
“Karena aku tidak mencintainya, Nicole. Aku tidak mau membuat Bryan jatuh dalam kebohongan ku.” Tiba-tiba Nicole memelukku kembali, dia mebisikkan sesuatu.
“Aku yakin keputusanmu benar. begitu juga dengan cinta Mark terhadapku.”
“Kamu tidak menerimanya?” tanyaku dengan geram.
“Aku belum menjawab. Tapi sungguh, aku tidak mencintainya. Aku… Aku telah mencintai lelaki lain, namun lelaki itu menyukai sahabatku sendiri.” Nicole mulai melunak. Ya Tuhan, jangan-jangan……..
“Kamu menyukai Bryan?” Dengan hati-hati aku memandang wajahnya. Tak lama dia pun mengangguk. Ternyata benar, setelah kuperhatikan selama ini Nicole memang menyimpan perasaan pada Bryna. Bodoh sekali! Mengapa aku tak menyadarinya dari dulu sehingga pertengkaran ini tak terjadi?!
“Maafkan aku Chisel, aku memang menyukainya. Alasan itu yang membuatku bersikap seperti ini. Aku … aku cemburu jika melihat Bryan bersama mu. Apalagi di depan mata kepalaku sendiri.” Terangnya kini dengan menunduk. Ah, ternyata cinta telah mebutakan nya, hingga ia nekat seperti ini.
“Tenang, Cole. Aku dan Bryan hanya sebagai teman, itu saja.” Hiburku. Dengan mata berbinar dan senyum yang merekah Nicole menangguk.
“Jadi, kita tetap bersahabat?” tanyaku sambil mengacungkan kelingkin.
“Tentus!” sahutnya menyambut kelingkingku. Di saat angin malam mulai berhembus membawa segala keluh kesah ku dan Nicole malam itu. segarnya udara malam membuatku mengantuk hingga memaksa Nicole untuk mengantarku pulang. Malam itu, menjadi malam yang indah bagiku. Di mana sahabatku kembali dalam kehidupanku yang selama ini merana seperti kehilangan separuh jiwa. Love you, always, Nicole!
***
   Pagi hari, dimana merpati meneguk air bening di kolam sekolah seolah sedang bersiap menyambut para siswa yang datang. Udara dingin pertanda winter akan datang memaksa ku mengenakan syal hijau lumut sambil memegang erat tas pink tua. Hari ini, pelajaran bebas, artinya kita bisa masuk kelas yang diinginkan. Sayangnya, aku tidak bisa masuk kelas fisika karena harus segera latihan untuk festival lusa besok.
“Pagi, nona.” Sapa Bryan, Nicky dan Mark ketika aku hendak menaiki anak tangga menuju kelas. aku hanya tersenyum sambil membalas,
“Pagi para pria tampan.” Entah mengapa, tiba-tiba rona merah muncul di wajah mereka bertiga. Aku hanya cekikikan sambil terus berjalan.

   “Loh, kalian masih di sini? Tidak masuk kelas?” kagetku ketika Bryan, Nicky dan Mark masih berdiri berjajar di dasar anak tangga. Mereka hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Kami ingin ikut anda, nona.” Ucap Mark. Aku hanya menepuk jidat sambil berjalan bersama mereka menuju ruang musik. Ketika aku sampai, ternyata masih sepi. Beruntung ada mereka bertiga yang menemaniku.
“Ehh, gue bisa main piano nih. Dengerin deh, terkhusus buat nona cantik ini.” Ucap Bryan membuat Mark dan Kian menggodanya.
“Lo suka ya sama Chisel?” Tanya Kian sambil nyengir.
“Cie cieeee….” Teriak Mark. Bryan hanya mengedipkan matanya hingga membuatku terpingkal-pingkal.
Sambil memainkan piano, Bryan juga bernyanyi. Suaranya yang khas membuatku ingin mendengarkan nya berkali-kali.

“An empety street, an empety house, a hold inside my heart
  I’am all alone the rooms are getting smaller
 I wonder how, I wonder why, I wonder where they are
The days we had, the song we sang together, oh yeah
And oh my love, I’am holding on forever reaching for a love that seems so far

So I say a little pray, and hope my dreams will take me there
Where the skies are blue to see you once again, my love
Over seas from coast to coast
To find the place I love the most
Where the fields are green
To see you once again, my love…”

   Tak kusangka, ternyata Bryan mempunyai kemampuan yang luar biasa. Dia mahir sekali memainkan piano seolah aku melihat dad yang memainkannya.
“Standing applause for you, Bry!” kagumku. Dia hanya tertawa sambil bangkit.
Aku memperhatikan sekeliling, sepertinya dia belum datang.
“Shane mana ya? Tumben belum muncul, biasanya dia paling awal.” Tanyaku.
“So sweet amat nanyain nya? Hahaha, palingan masih di kelas.” goda Kian. Aku hanya mencubit lengannya dengan pelan sambil menutup wajah.

   Lima menit, sepuluh menit, hingga waktu terus merangkak, Shane tak kunjung datang. Aku mulai cemas antara menunggunya maupun latihan yang harus segera dilaksanakan, karena waktu tinggal satu hari lagi! Dengan gontai, aku melangkah keluar ruangan meninggalkan tanda tanya pada mereka bertiga. Aku pun bingung dengan perasaan yang kini hadir, di saat aku membutuhkannya, dia malah tak hadir. Tuhan, semoga dia baik-baik saja. Ketika aku sudah berdiri di depan kelas Shane, aku memanjangkan leher mencoba mencari nya di dalam. Tiba-tiba seorang gadis berkacamata memanggilku,
“Hei, kamu mencari siapa?”
Aku diam tak bergeming mencoba menjawabnya,
“Shane ada?” tanyaku dengan cemas.
“Oh, dia sedang berada di UKS. Sepertinya dia terserang demam mendadak. Cobalah ke sana. Oh iya, kamu pacarnya ya?”
Seperti tersedak biji salak, aku terbatuk sehingga memaksaku untuk meneguk segelas air pemberian gadis itu.
“No, tentu saja bukan. We’re just friends.” Jelasku dengan muka bersemu. Gadis itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Dengan cepat aku mengucapkan terimakasih padanya dan bergegas menuju UKS. Entah mengapa pikiran ku saat itu mulai kacau, kenapa tiba-tiba perasaanku sangat care padanya? Aneh.

   Tok.. tok.. tok.. Aku mengetuk pintu tempat Shane berbaring dengan pelan.
“Masuk,” ucap seseorang di dalam. Dengan sangat jelas itu suara Shane. Terdengar lemah, tidak seperti biasanya. Ketika masuk, aku terbungkam. Sebagian tubuhnya yang terbalut selimut dan di sampingnya terdapat beberapa obat membuatku terenyuh.
“Demam?” dengan lugu aku bertanya padanya. Shane mengangguk lemah. Seperti tersengat malaikat, aku memegang dahinya secara tak sadar. Demi Tuhan, sangat panas.
“Main hujan lagi?” tebakku dengan nada sedikit tinggi. Alisku menjungkit mencoba mengintrograsinya. Dia tersenyum dan mengangguk.
“Aku rindu hujan.” Ucapnya. Aku mengernyit sambil duduk di sampingnya.
“Sudah latihan?” Tanya kembali. Aku menggeleng sambil menatap langit ruangan.
“Aku menunggumu,” ujarku.
“Jika aku belum sembuh, kamu akan tetap tampil dalam festival itu. akan ada seseorang yang menggantikan ku. Aku rasa dia akan sangat cocok.” Terang Shane. Seperti terhantam godam raksasa, aku menatapnya dengan galak. Tidak mungkin! Jadi apa arti dari semua latihan yang selama ini kami jalani? Sia-sia begitu sajakah? Namun apa daya, demi kesehatannya aku tak bisa memaksa. Aku juga tidak mau dia tampil kurang maksimal.
“Pergilah temui Bryan, dia yang akan menggantikanku. Sudah mendengar nya bermain piano kan? Sudah bisa kutebak kamu akan terpukau dengannya. Suaranya juga tak kalah indah bukan? Pergilah.” Perintah Shane dengan nada sedikit memaksa. Aku bertahan, tetap di tempat. Aku mematung dengan tatapan kosong.
“Tidak! Sampai kamu benar-benar sehat dan dapat keluar dari ruangan yang sumuk ini, aku akan tetap bersamamu.” Yakinku. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba sikapku menjadi seperti ini? Aku juga tak begitu sadar dengan ucapanku barusan.
“Mau mengecawakan Ms.Elizabeth? Aku yakin, tanpaku kamu pasti bisa.” Shane tersenyum sambil mempersilahkanku keluar. Sebelum aku mencapai pintu, Shane menarik lenganku sambil berbisik,
“Aku tetap akan datang ke acara itu dan melihat penampilan mu yang luar biasa.”

   Denyitan pintu ruang musik kembali mengisi sunyinya ruangan yang hanya tinggal seorang. Baiklah, sepertinya Shane menuntutku untuk berkonsentrasi. Mencoba mengukirkan senyum namun susah. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk di mana tanpa ada semangat menggebu.
“Demi Shane, akan kulakukan semua ini dengan sungguh-sungguh.” Tiba-tiba Bryan membuka mulut mempersilahkan ku mengambil tempat biasa. Aku menghampirinya dan mulailah kami berlatih. Untuk pertama kalinya berdua dengan Bryan.
***
   Cakrawala mulai menguning, menandakan datangnya malam yang dingin. Sepoi angin menggoda ku untuk mengatupkan mata dengan tenang. Tapi tidak dengan pikiranku! Masih terus terbayang wajah dan kondisi nya. Aku semakin tak mengerti dengan permainan cinta yang begitu sulit kupahami. Aku mencoba menggeser perhatian, percuma, sangat susah. Apa ini yang dinamakan cinta monyet? Terkadang membuat kita melayang berakhir dengan sakitnya perasaan. Namun mengapa aku begitu yakin dengan feeling ku kali ini? Tak terasa, waktu terus bergerak mau cepat ataupun lambat. Ketukan pintu kamar mebuyarkan segala lamunanku sambil menatap gelapnya langit.
“Semoga dia, “ harapku dalam hati. Sayangnya tak mungkin, dia sedang sakit.
Bryan? Ada apa?” tanyaku sambil membetulkan letak jaket yang agak kebesaran. Dugaan ku benar, bukan dia yang datang. Seseorang yang tiba-tiba kuharapkan untuk mengisi malam ku yang suntuk tidak benar-benar datang.
“Inner beauty mu keluar juga, nona.” Puji Bryan membuatku sedikit melejit. Hahaha, dasar gombal!
“Temani aku keluar sebentar, ya?” mohonnya tiba-tiba.
“Tenang, aku sudah minta izin pada tante Jodi, kok.” Sambungnya, buru-buru.
Baiklah, mungkin ini adalah kesempatan ku menjauh dari kepenatan. Aku mengangguk dan mengambil sebuah tas mini berwarna hijau.

   “Ke mana kita pergi?” tanyaku ketika mobil yang dikendarai Bryan memutar roda dengan santai.
“Go to the boutique.” Jawabnya pendek.
Butik? Untuk apa ke sana? Aku sedang tidak mood untuk belanja. Bisa-bisa rambutku keriting gara-gara melihat baju bertebaran. Bukannya hilang dari suntuk malah menjadi depresi. Setelah sampai, aku sempat enggan untuk masuk hingga Bryan menarikku.
“Ayolah, Chisel yang cantik, manis, cute, baik hati, suka menabung, rajin menolong, pintar, hormat orang tua.” Bujuk Bryan, lagi-lagi dengan konyol hingga aku terpingkal-pingkal membuat beberapa pengunjung melirik ke arah kami. Mungkin jika aku dan Bryan pacaran, setiap hari aku akan menjadi gadis tawa yang sangat aneh. Huh!
“Sebentar lagi, festival dimulai. Aku ingin kamu tampil beda, maksudku mengajak mu ke sini untuk fitting baju.” Jelas Bryan hingga membuatku tersentak sedemikian rupa.

   Tak butuh waktu lama, Bryan telah memilihkan ku sebuah gaun berwarna soft pink dengan corak hitam dan peyet putih. Terkesan sederhana namun sangat mengagumkan. Aku melongos melihatnya bersusah payah mengangkat gaun itu agar tidak rusak. Aku hampir tak percaya melihat apa yang dipilihnya. Se-modis itukah dia? Entahlah, sepertinya otak ku sudah full capacity hingga tidak mampu memikirkan nya kembali.
“Ayo kuantar ke kamar pas.” Bryan menarik lenganku.
Dengan masih menyimpan tanda Tanya besar, aku segera mencoba gaun pilihan Bryan itu dengan cepat. Ya Tuhan, it’s so beautiful. Aku berdiri layaknya seorang Cinderella pada abad 20 ini. Perlahan aku mengeluarkan diri dari kamar pas ini. Ternyata tidak ada orang, ku rasa Bryan menunggu di tempat aku dan dia masuk tadi. Dengan hati-hati aku berjalan sambil mengibaskan rambutku yang tergerai. Maklum, gara-gara Bryan menodong masuk ke rumah, aku jadi tidak sempat mengikat rambut.

   “Oh My God! Cantik melebih dari seorang putri kerajaan!” puji Bryan sambil menatapku lekat. Rona merah di pipiku seakan membalas tatapannya. Tiba-tiba wanita muda pemilik butik menyeletuk,
“Cantik sekali, pacar anda ya? Beruntung anda mempunyai gadis muda seperti dia.”
Bryan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk membuatku sedikit gusar. Mengapa kami selalu disangka sebagai sepasang kekasih? Entahlah, mungkin sikap Bryan yang menjadi penyebabnya. Aku hanya tersenyum kecut sambil mencubit pelan lengannya. “Tinggal di ubah style rambutnya, and all is perfect!” tukas Bryan.
“Baiklah, akan kusimpan rapi gaun ini untuk nona cantik. Besok pukul tujuh pagi segera datang ke sini kembali dan semua akan lancar.” ucap wanita muda itu sambil membawa gaun yang sudah kulepas dari tubuhku. Aku mengucapkan padanya kata terimakasih sambil menggandeng Bryan menuju mobil.
“Nona, besok akan aku jemput pukul setengah tujuh, oke? Jika belum bangun aku akan membawa hadiah kecil untuk mu.” Kata-katanya membuatku ingin meninju Bryan.
“Hadiah apa?” tanyaku
“Kecoa terbang. Hihiihi…” ujar Bryan sambil tancap gas. Telingaku memerah, bulu kudukku merinding mendengar kata-kata ‘Kecoa Terbang’. Dari kecil, aku memang takut sekali dengan binatang seperti itu. Oh God! Saat sampai di gerbang rumah, Bryan kembali mengingatkan pukul berapa aku harus bangun jika aku tidak menginginkan hadiah darinya. Dengan merengut aku mengangguk sambil berbalik menjauh.

   Pipp pipp! Dering handphone di atas laci kamar menghambat waktu tidurku. Dengan sedikit malas aku meraih hp dan melihat layarnya. Sebuah pesan masuk dari, Shane! Tiba-tiba hembusan angin malam yang segar membuat mataku berbinar sambil tersenyum berbunga-bunga. Padahal mungkin saja bukan hal nyang penting. Dia menanyakan kabarku apakah sudah siap menaklukan panggung festival tanpanya. Serta bagaimana persiapan kostum untuk besok. Dengan cepat kubalas pesannya diselipkan kalimat memastikan apakah dia sudah sehat.
Bruuukkkk! Aku menghempaskan tubuh ku yang terasa berat ke kasur kesayangan. Dengan berbalut masker dan timun segar melekat di mata, kunyalakn pendingin kamar dan mematikan lampu tidur. I’am ready for tomorrow!
***
   “Rambutnya style sanggul sederhana saja ya, biar tidak mengganggunya. Terus mascara agak ditebalkan karena bulu matanya tipis. Lipstick nya jangan berwarna terlalu terang, bajunya sudah cerah. Bloss on nya ditipiskan membentuk lengkungan tirus karena pipinya tidak terlalu tembam. Jangan lupa high-heel nya, pilih yang warna pink tua agar terkesan muda. Ingat! Sanggulnya biasa saja, atau jika mau, kuncir saja rambutnya dengan gaya tinggi.” Oceh sang make-over hingga membuat kami semua kalang kabut. Ada yang manggut-manggut, ada pula yang mencibir mengikuti gaya bicara nya. Asataga! Mungkin jika bukan tuntutan festival, aku akan teriak dan menerobos para makhluk aneh ini. Dan beruntung juga, ada Bryan yang sedang menahan tawanya. Kurasa semua yang dilihat dan didengarnya selalu terkesan lucu. Setelah 1 jam---------Astaga------------- akhirnya aku selesai memoles wajah dan sekarang waktunya mengenakan gaun serta high-heel berwarna cantik. Aku cukup puas dengan semua pesiapan yang ada. Walau agak sedikit tergesa, namun, dapat ku ancungi dua jempol.


   “Siap untuk tampil, putri?” goda Bryan hingga terdengar beberapa siulan di sekitar butik. Dia terlihat sangat tampan, lebih dari biasanya. Di sisi pintu keluar, wanita muda yang kami temui kemarin mengedipkan mata sambil berteriak,
“Good luck! You look so beautiful, today! Like a princess.”
Aku menghargai pujian nya sambil menyelipkan kata terimaksih lalu masuk ke mobil Bryan. Jujur saja, debaran jantung yang ku rasa sulit dikontrol ini semakin menjadi. Hingga matahari naik beberapa derajat, akhirnya kami sampai di sebuah gedung mewah dengan aksen pentas orkestra raksasa. Demi Tuhan! Aku mengalami rasa gugup luar biasa. Sambutan dari teman-teman satu maupun luar sekolah membuatku harus mendekatkan diri pada Bryan. Dan penyebab lainnya, dad ku------ Kian Egan------ seorang pianis terkenal hadir bersama mom dan Koa untuk melihat performance ku. Ku rasa, mental dad sudah sangat tebal hingga tak bisa ditembus tombak zaman purba. Lihatlah! Ini semua masih pentas kecil bagi dad, karena dad sudah sering mengisi acara dalam pentas musik dunia. Aku sangat-sangat salut memiliki seorang dad sepertinya!

   Aku sudah bergabung dengan seluruh peserta festival musik di ruang VIP. Sangat dingin, syukurlah aku memakai jaket, gaun ini sedikit membuat ku terkekang untuk bergerak. Aku mencoba mencari Shane, namun tidak ada. Rasanya seperti ada yang kurang, karena tanpa bantuannya aku pasti tidak menyanggupi acara ini.
“Hei, kenapa murung? Jangan membuat make-up mu luntur ya, putri.” Sampai saat ini, Bryan masih memanggilku dengan sebutan ‘putri’.
“Mencari Shane? Berdoa lah semoga dia dapat hadir.” Ucap Bryan dengan sungguh. Cahaya matanya menyiratkan sebuah keyakinan. Apa yang tersembunyi di balik binar mata biru nya itu?
Sepertinya acara sudah berjalan. Waktu terus merangkak mencoba memperlambat. Namun, aku merasa begitu cepat semua ini terjadi. Mulai dari pembukaan, sambutan, dan sampai pada penampilan masing-masing peserta.
“Setelah peserta yang akan maju ini, gilirran kamu yang akan tampil.” Peringat Bryan sambil melatih suaranya sedikit.
“Only me? Tapi kan kita tampil berdua, kok yang kamu sebut hanya aku?”
Deg! Aku mulai berkeringat menelisik arti kata yang diucap Bryan tadi. Bryan mengangguk dan tersenyum sambil menyodorkan beberapa potong roti isi untuk mengganjal perut yang sedari tadi menggelar konser seriosanya.

  “Next, the collaboration of music and sounds that will be displayed by the Neoclassical school. Please take the place.” Suara sang pembawa acara seakan mencekik leher ku, menyusup ke nafasku hingga membuatku sulit berdiri. Kaki ku terasa keram berdenyut tak karuan.
“Yakin dan percaya kamu bisa. Berdoalah sebelum memulainya.” Ucap Bryan dengan sedikit melunak. Aku menggenggam tangannya seolah tidak merelakan Bryan meninggalkan ku di panggung seorang diri.
“Ayo, jalan duluan. Aku di belakangmu.”
Shane, kamu dimana? Aku benar-benar gugup tanpa dampingan mu. Tuhan, aku percaya keajaiban, bisakah Engkau mengganti Bryan menjadi Shane? Aku terus meracau dalam hati. Mataku mulai sembab. Mungkin jika dad tau, dia akan mengejekku dengan kata-kata ‘payah’. Tiba-tiba hp ku berdering, ternyata pesan singkat dari dad.
“C’mon dear, kami menunggu penampilan luar biasamu. Dad yakin, kamu bisa! Berdoalah.”

Kembali kutatap wajah Bryan, dia masih mengulum senyum yang hangat, tapi aku merindukan senyum seseorang yang lebih hangat dari itu.
“Cepatlah, naik.” Perintah Bryan. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dengan doa dan dukungan orang-orang yang kucintai, aku mulai berjalan dan naik ke atas panggung. Namun tetap saja, aku hanya seorang diri. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran Shane. Dengan keyakinan, aku mengambil posisi di depan sebuah piano mewah berwarna putih bersih menajubkan. Di mana Bryan? Apa yang diucapkannya tadi benar? Aku hanya tampil seorang diri? Ku harap kini seekor lalat atau nyamuk bisa mendengar kesahku yang sangat tidak mengenakkan ini.

   Tiba-tiba lampu mati, dan sorakan juga tepuk tangan para penonton membahan seisi ruangan. Seseorang berdiri di sampingku, ku kira itu Bryan, ternyata……………. SHANE! He’s really Shane!! Astaga! Dia benar-benar di sini? Dia tersenyum dan mengisyaratkan padaku untuk memulai menekan tuts piano. Ketika aku memulai dia mengiringi dengan suara emasnya,

`` I would die for you
Lay down my life for you
The only thing that means everything to me
'Cause when you're in my arms
You make me prouder than 
Than anything I ever could achieve
And you make everything that used to seem so big
Seem to be so small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

And I often wonder why,
Someone as flawed as I 
Deserves to be as happy as you make me
So as the years roll by
I'll be there by your side
I'll follow you wherever your heart takes me
Cause you make everything that used to be so big
Seem to be soo small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Now anyone who's felt the touch of heaven in their lives 
Will know the way I'm feeling, looking
In my babay's eyes
That's why I can't bear to be too far away
I know that god must love me cause
He sent you to me on angel's wings 

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Love is the answer
It's written on angel's wings ``

   Jreeeeeeeeeeeenggg!! Can’t believe, I can do it!!! Thanks God, aku benar-benar ingin pingsan dapat kembali melihat Shane di sini. Shane menyambut tanganku dan menggandengnya ke hadapan ratusan penonton. Kami berdua memberi salam hormat. Di kejauhan, aku melihat dad, mom, dan semua orang memberi kami berdua sebuah `standing applause`. Bahagia mulai menjalar di jiwaku. Rasa rindu dan cemas kini terhapus dibawa terangnya sang surya dari celah-celah jendela. Merpati bertengger di ranting pohon luar seolah juga ikut puas dengan penampilan kami.

   Semua peserta di belakang panggung memuji penampilan kami tadi sambil menjabat tangan. Ah! Bahagia sekali rasanya. Ku lihat di sudut terangnya lampu, Bryan berdiri sambil menatapku dan Shane.
Bryan, thank too for everything! Sudah kuduga, bakalan ada yang aneh dari semua ucapan mu tadi.” Aku memeluk Bryan sebagai tanda terimakasih. Lalu Shane menghampiri Bryan dengan tujuan yang sama,
“Gue tau, cinta takkan dapat dipaksa. Sepertinya Chisel memang cocok untuk lo. Dari kemarin dia selalu khawatir keadaan lo, bro!” terang Bryan hingga membuat pipiku bersemu merah. Shane melirikku sambil cengar-cengir, imut sekali. Hahahah!
“Thanks bro, buat pengertiannya. Gue yakin suatu saat ada yang lebih baik buat lo.” Shane menepuk pundak Bryan dengan penuh persahabatan. Kami semua tertawa lepas. Shane mengajakku keluar dan menemui semua temanteman juga Ms.Elizabeth. Miss sangat histeris dengan performance kami yang sungguh amazing, menurutnya. Aku memeluknya. Di belakang sudah ada dad, mom juga Koa. Aku kembali memeluk dad dengan perasaan bangga serta mengucapkan terimakasih pada mereka atas dukungannya.
~ Take a rest ~

      Nicole! Tiba-tiba aku teringatnya, setelah lelah beristirahat, aku mencarinya. Dia pernah bilang, bahwa berusaha untuk datang walaupun telat. Ketika kutanya pada mom, dia sudah datang sejak aku dan Shane tampil. Namun sekarang entah ke mana. baiklah, aku segera mencarinya. Saat aku sampai di ujung jalan di sudut yang begitu luas, aku melihat Nicole------sangat cantik----- bersama seorang lelaki yang sangat tak asing bagiku.
“Aku… memang sedari dulu bertemu, aku memang menyimpan rasa padamu.” Ucap Nicole pelan. Apa? Nicole… dia pasti mengungkapkan pada lelaki itu.
“Aku memang sedikit bodoh, ternyata ada perempuan yang memperhatikanku. Maafkan jika selama ini aku kurang menyadarinya. Jika begitu, will you be my girlfriend?” ucap lelaki di depan Nicole. Tiba-tiba mata Nicole berbinar seolah mendpat oksigen baru.
“Really?? Yes, I will! Thanks Bryan!” Nicole lalu memeluk lelaki itu. hampir tersedak, dia sangat berani menyatakan pada ya… Bryan McFadden! Dan sekarang mereka berdua resmi berpacaran. Bagaimana dengan jawaban yang ditunggu Mark saat memintanya menjadi kekasih nya pula?

    “Tenang, Mark sudah tau semua ini.” Nicole membuyarkan lamunanku. Aku terkaget karena takut jika dikira menguping pembicaraan mereka.
“Congrtasss Bryan!! Sekarang kamu sudah punya kekasih yang sangat cantik!” aku memberi selamat pada Bryan dan Nicole. Mereka berdua hanya tersenyum. Aku rasa aku ingin ke toilet, dengan tergesa-gesa aku pamit pada mereka dan membiarkan mereka terlarut dalam kebahagian batin.

   “Mark?” aku mengernyitkan kening melihat Mark menggandeng seorang wanita cantik berparas Prancis. Mark hanya tersenyum dan berkata,
“Hai Chisel! Permainan mu bersama Shane tadi sungguh luar biasa! Perkenalkan, ini Calmond Grumbel, pacar baruku.” Wanita itu tersenyum sambil menjabat tangan ku. Ya Tuhan. Nicole sudah menemukan kekasih cintanya. Dan Mark sudah bertemu dengan tambatan hatinya. Aku kembali mengucapkan selamat dan berpamit untuk pergi duluan. Ketika aku sampai di sudut ruangan, ada seseorang menarikku lembut.
“Shane?” aku terdiam. Dia hanya berjalan memintaku mengikutinya. Setelah beberapa menit, kami sampai di sebuah taman indah dengan dinginnya angina tanda-tanda winter akan datang sebentar lagi.

   “Ada apa?” tanyaku dengan penasaran. Shane mengajakku duduk.
‘Masih ingat dengan dua surat misterius. Satu berbentuk hati merah muda dan satu lagi memintamu ke taman di sebelah lapangan sepak bola. Remember?” aku terhenyak. Benar-benar tidak menyangka.
“It’s me. Aku yang mengirim itu. maaf jika membuatmu penasaran dan terganggu namun maksudku,……” Shane menarikku berdiri di samping bunga tulip yang mulai membeku.
“Aku benar-benar ingin mengenalmu sangat dalam. Dengan alasan itu, baru sekarang aku sungguh-sungguh menyatakannya padamu. Aku benar-benar mencintaimu sejak aku mengenal dad mu, pianis terkenal, Kian Egan. Aku mengusulkan semua ini karena aku yakin, kamu mempunya bakat yang sama seperti dad mu. Dan itu benar. With all my beliefs, my love and sincerity of my heart, will you be my girlfriend?”
Aku benar-benar membeku dalam hawa dingin cinta. Aku benar-benar membisu dengan segala perkataan yang ingin kuucapkan, aku benar-benar tuli dengan apa yang dia katakana, aku benar-benar buta dengan apa yangkulihat sekarang. Semua! Semua harapan ku, yang selalu kupendam secara diam-diam telah terwujud menjadi nyata. Sekarang, Shane telah menyatakan bahwa dia telah terpikat pada ku. Dengan mata yang berkaca-kaca perlahan tapi pasti akan jatuh, aku mengangguk dan berkata,
“ YES, I WAN TO BE YOUR GIRLFRIEND, Shane!”
Aku memeluknya, tangis ku pecah, aku bersyukur pada Tuhan kini telah menyembuhkan lelaki yang sangat kucintai. Tiba-tiba semua orang yang ku kenal, berada di sekelilingku, mengukir senyum, memberi selamat pada kami yang telah resmi menjadi sepasang kekasih. Dengan tulus, aku mengecup pipi Shane dan Shane mengecup keningku.

    Dentingan jam, terus merangkak memakan peristiwa yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Surya mulai tenggelam di telan musim yang kini telah berganti menjadi salju yang selalu kutunggu-tunggu. Tepat di musim dingin ini, aku dan Shane menjadi sepasang kekasih. Kunikmati bersama Shane indahnya salju dan dinginnya udara membalut seluruh tubuh. Aku rasa, tidak ada lelaki yang sempurna, namun bagiku Shane segalanya. Dia telah memenuhi bahkan melebihi criteria seorang belahan jiwaku. Dad dan mom hanya tersenyum melihatku mulai dewasa dan percaya diri. Ini semua berkat dia, lelaki yang amat sangat kucintai, Shane Steven Filan. Dan kurasa, kini aku, Chisela Misery, seorang gadis beranjak dewasa, gadis muda yang beruntung mendapatkan hatinya Shane.

``Love comes by itself, wait until you're absolutely sure``

THE END
 ----- Buat semua yang sudah setia membaca, terimakasih. Saya sebagai author, memohon maaf apabila dalam penulisan mengandung hal-hal yang kurang pantas. Mohon dimaklumi karena saya sebagai penulis pemula yang mencoba merangkak ke arah yang lebih baik. Jika ada kritik, saran, komentar atau masukan, silahkan berikan, saya pasti menerima. Sekali lagi, thanks  for attention! :) 

Rabu, 22 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 9*


#9

   Sengatan matahari siang itu bukan menjadi penyebab mengalirnya keringatku, namun aku mengalami panas-dingin mendadak karena mereka. Dua orang misterius yang memintaku menemui mereka, sekarang juga!
“Ms.Misery, wait!” tahan seseorang di belakangku. Sekejap aku mematung tanpa mengedipkan mata.
“Hari ini kita harus latihan secara full. Dua hari ke depan saya harus berangkat ke Canada untuk pertemuan guru musik se-dunia. Bagaimana?” tanyanya. Ternyata Miss Elizabeth! Huuffh, terus bagaimana dengan dua surat ini? Tik tuk tik tuk, arloji ku berdengung menyadarkan ku.
“B… baiklah, bersama Shane juga?”
“Tentu, atau mau sama Bryan?” goda Miss Elizabeth membuatku terkejut mendengarnya. Dia mengedipkan mata kepada ku untuk segera mencari Shane.

   “Maksudnya apa sama Bryan?” racau ku dalam hati. Tapi, bagaimana dengan kedua surat ini? Aku pun berbalik mengejar Ms. Elizabeth.
“Miss….. please wait!” teriakku di lorong kelas yang begitu sunyi. Dia menoleh ke arahku.
“Sorry, miss. Tapi bisakah beri waktu pada saya sekitar dua puluh menit lagi?” tanyaku memelas. Miss Elizabeth menaikkan alisnya, berpikir sebentar. Dia mengangguk sambil berkata, “Tapi jangan lupa, segera ke ruang musik!” peringat nya.
“Bersama Shane ya, jangan salah bawa orang!” tambahnya.  Aku mengangguk sambil tersenyum. Huffh syukurlah waktu ku masih ada untuk memikirkan nasib dua orang ini. God, help me please! Aku sudah sampai di ujung jalan, namun rasa resah telah muncul kembali. Aku harus ke arah kanan atau kiri? Ku lihat kaki ku menuju kiri, namun hatiku bilang ke arah kanan. C’mon, chisel…. Aku menengadah mencoba mencari ilham.
“Kanan… kiri… kanan… kiri… KANAN ATAU KIRI?????????????????????” akhirnya aku kesal dan berteriak hingga beberapa orang yang lewat melirikku aneh. Aku hanya cengar-cengir mirip orang bodoh yang tak mengerti jalan.

   “Hei, kamu kenapa, Shel?” Tanya Nicky yang lewat di depanku dengan wajah penasaran. Aku hanya menggelengkan kepala sambil jalan mondar-mandir. Baru hari ini, aku merasa bukan seperti diriku sendiri, sangat aneh!
Ada masalah? Mau aku bantuin gak? Mumpung jadwalku gak padet. Lumayan loh ditolongin sama orang ganteng!” oke Nicky mulai narsis. Sepertinya aku memang butuh bantuannya. Dengan pasrah, kuserahkan dua lembar kertas yang hampir koyak itu karena kuremas sangat kuat. Nicky mengambilnya dan membaca satu demi satu untaian kata yang tertera di situ. Terdengar kikikan Nicky sambil tersenyum. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyodorkan kedua kertas itu padaku kembali.
 “Sepertinya aku kenal dua tulisan ini.” Ujar Nicky. Nah loh! Jangan-jangan……..
“Ayo ikut aku!” Nicky menarik lenganku dengan perlahan. Dia menuju ke arah kiri sambil memberitahu ku agar menjaga suara. Jika tidak, terpaksa dia harus menempelkan isolasi hitam di mulutku! Huuueeeh!
   “Benar dugaanku, “ desis Nicky sambil merunduk di balik pohon beringin yang sudah tua. Sayangnya, hanya Nicky yang dapat melihat apa di depannya. Sedangkan aku hanya bisa melihat punggung nya karena terhalang oleh sebuah ranting yang cukup besar.
“Sebentar,” cegahnya. Huh! Gaya sok detektif-nya keluar lagi! Sudah hampir sepuluh menit Nicky mengacangiku. Baiklah, sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi! Tanpa sepengetahuan Nicky, aku melangkah ke arah yang berlawanan, entah mengapa hatiku terus berontak memaksaku berjalan ke arah kanan. Sekali lagi aku menoleh ke arah Nicky, masih dengan posisi yang sama membuatku semakin kesal melihatnya. Ketika aku sampai di taman yang berdekatan dengan lapangan bola kaki, keadaan terasa sangat sunyi.
“Akhirnya kamu datang juga, walau terlambat.” Ucap seseorang membelakangiku. Ketika dia berbalik, hanya setengah wajahnnya saja yang terlihat, sedangkan bagian hidung dan matanya tertutup sebuah topi jeans.
“Ka… kamu siapa? Ada urusan apa hingga menyuruhku menemuimu?” aku tergagap sangat ketakutan.  Namun masih tenggelam dalam kebisuan, lelaki itu duduk di sebuah kursi panjang tanpa menoleh sedikitpun ke arah ku.
“Duduklah dulu,” perintahnya. Pandangannya menyorot ke depan hingga membuatku mendelik. Sekilas kulihat senyum terukir di bibir tipisnya. SENYUMNYA! Mengapa tidak asing bagiku? Apakah dugaanku benar?

   Dia mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda berbentuk hati. Sontak aku sangat kaget! Surat itu…. surat itu sangat mirip dengan surat yang kuterima dua hari yang lalu.
“Su.. suurat itu?” gumam ku hingga membuatnya sedikit bergerak.
“Masih ingat?” tanyanya dingin. Jangan-jangan….
“Kamu benar, surat itu dari ku.” Ujarnya membuatku semakin penasaran. Aku hanya menggigit bibir.
“Lalu, kamu siapa?” tanyaku kembali hingga membuatnya tersenyum kembali.
“Baiklah, sebenarnya aku adalah ……”
 Pippp pipp! Oh sial! Sepertinya hpnya bunyi. Aku terus menatap wajahnya dengan seksama. Aku mencoba memperhatikannya, mungkin saja ada sesuatu yang bisa membuatku mengenalinya. Dia mengangkat telepon dan  menjauh dariku. Selesai menutup percakapannya tadi, tiba-tiba dia meminta maaf padaku.
“Maaf, maafkan aku. Sepertinya aku harus segera pergi, ada sesuatu yang penting yang harus kuselesaikan. Lain kali kita bertemu kembali.” Dengan terburu-buru dia melangkah. Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Di kejahuan, aku masih memperhatikannya. Tiba-tiba dia membuka topi, dan…..


   ”Hei! Dicariin ke mana aja sih? Aku kira kamu hilang, Shel!” kaget Nicky membuatku lemas. Aku hanya terkikik sambil mengajak Nicky kembali ke kelas.
“Jadi bagaimana?” tanyaku. Nicky hanya terdiam. Dia membuka mulut,
“Pergilah ke taman di sisi kiri tadi.” Serunya.
“Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, jika kamu ingin tahu, pergilah. Maaf Chisel.” Lanjutnya sambil meninggalkan ku. Tiba-tiba aku merasakan keanehan dari nya. Tidak seperti biasa, Nicky yang selalu terbuka. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Dengan agak ragu, aku berjalan menuju taman tadi. Sesampainya di sana, apa yang terjadi? Aku hampir pingsan! Tak percaya siapa yang sedang kulihat.
“Bry… Bryan?” ucapku hampir tak percaya. Bryan berbalik sambil tersenyum hangat.
Dia menyuruhku mendekat. Aku mengiyakan dengan gugup.
Ada apa?” tanyaku hati-hati.
“Kamu tahu, saat pertama kali aku melihatmu? Saat MOS dan aku marah atas keterlambatanmu. Saat itu aku ingin minta maaf dan terus terbayang wajah polosmu. Sayang, aku lupa namamu dan di mana kelasmu. Hingga waktu itu, saat aku menolongmu membawa buku ke ruangan guru dan di situlah ku tau namamu. Kamu tau apa yang kurasakan? Tiba-tiba saja aku tertarik padamu. Saat itu juga!” terang Bry. Astaga! Ya Tuhan, inikah yang namanya cinta?
“Chisela Misery, i know you are very surprised. But, before I'm late, i must admit, i love you so much. And were sent a letter that was me.” Lanjut Bryan. Aku hanya melongo, seolah aku tak mendengar apa-apa. Adakah yang bisa membangunkan ku sekarang? Tolong sadarkan aku jika ini hanya mimpi. Entah mengapa, aku… aku…. Ingin menangis. Adakah yang bisa mengartikan semua ini?
“With all my feelings, would you be my girlfriend?” ucap Bryan dengan agak tersedak. Kurasa aku adalah gadis yang mati rasa, mengapa aku tak terenyuh dengan kata-katanya? Apa Tuhan belum memberikan perasaanku padanya? Atau aku memang masih ‘ingusan’ seolah belum mengenal apa itu cinta? Ingin kugoreskan segenap perasaan pada Bry, tapi sulit. Selama ini aku mencoba untuk lebih dekat padanya namun selalu risih. Aku hanya menganggap nya sebatas teman dan kakak. Itu saja.

   “Bryan, seorang lelaki yang menjadi pujaan gadis. Semua yang kamu katakan, aku sangat menghargai. Tapi aku harus jujur, aku tidak bisa membohongi perasaan ku sendiri. Dengar Bry, entah mengapa, entah mengapa aku belum bisa menerima yang kamu ucapkan tadi. Aku masih bingung, aku belum bisa memutuskan.” Aku hampir menjatuhkan air mata tak sanggup mengucapkan kata-kata yang berarti ‘menolak’. Aku tau, dia sangat yakin dengan apa yang diucapkannya itu, namun harus kukatakan berapa kali? Aku belum mencintainya. Benar-benar kosong perasaan ku padanya. Maaf jika aku agak frontal.
“Baiklah, jika kamu belum bisa memutuskan, akan kutunggu sampai kamu siap. Oke?” Tanya Bryan dengan senyum agak terpaksa. Sejenak aku menatap mata birunya yang terang, aku mencoba mencari celah-celah rasa itu. Namun tetap tidak bisa!
“I.. iya, oh waktuku hampir habis. Aku harus segera latihan untuk festival, bye Bryan. Have a great day.” Aku meninggalkannya sembari mencoba tersenyum.
“I did not know, why my feelings have not been there for you, Bryan.” Gumamku.
***
   “Wajahmu suntuk sekali?” Tanya Shane ketika aku sampai di ruang musik.
Ada masalah?” tanyanya lagi. Aku hanya diam sambil melangkah ke arah sebuah piano kalsik yang masih sangat bagus. Shane hanya menatapku dengan aneh.
“Tidak seperti biasanya yang selalu ceria.” Gumamnya. Aku menekan-nekan tuts piano dengan sembarang hingga terdengar alunan aneh yang mengganggu pendengaran.
“Hei, jika ada masalah, bisa cerita padaku.” Tawar Shane sambil menutup telinganya. Baiklah, aku menghentikan permainan ‘gila’ ini. Shane mencoba duduk di sampingku.
Ada apa?” tanyanya kembali. Aku masih menunduk mencoba menghindar dari tatapan Shane.
“Jika terus begini, sampai kapan kita mau latihan? Mau melihat Ms.Elizabeth kecewa?” ucapnya yang berhasil menyadarkan ku. Aku menyerah, aku mulai membuka mulut pada Shane,
“Sebenarnya, tadi aku…… aku ditembak Bryan.” Ucapku. Sontak Shane terlihat kaget. Aku terengah melihatnya.
“lanjutkan,” kata Shane.
“Entah mengapa, aku sangat kaget. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku menyukainya. Aku tidak tega untuk menolak, namun aku juga tidak bisa menerimanya dengan kebohongan.” Jelas ku sejelas-jelasnya. Shane hanya diam lalu tersenyum sambil menatapku. Tiba-tiba senyumnya membuatku sedikit tenang. Entah apa artinya.                       
“Rasa cinta itu adalah karunia Tuhan. Siapa saja bebas untuk memberikan cinta untuk siapapun. Intinya kamu berhak untuk mencintai atau tidak. Jangan pernah paksa perasaan jika memang belum ada. Kurasa, Bryan akan mengerti walau dengan proses yang lama.” Nasihat Shane yang membuatku terenyuh.
“Terimakasih untuk nasihatnya ya, Shane.” Aku tersenyum padanya seperti biasa. Shane hanya mengangguk.
“Siap untuk latihan, putri?” candanya.
“Putri? Haha, ayoo pangeran!” Shane sedikit merona ketika kubilang ‘prince’ hahaha!

   Shane mengambil microphone nya, sedangkan aku sudah mengambil tempat di depan piano. Kami sudah memilih satu lagu yang cocok untuk festival nanti. Tapi, masih dirahasiakan ya. Hahaha. Mula-mula kami berdua harus mencocokkan satu sama lain, mulai dari bentuk suara Shane dan bunyi tuts piano nya. Dengan sabar Shane terus menyemangatiku walau jari sudah agak keram. Satu kali, dua kali, sampai sepuluh kali pun dan akhirnya kami bisa latihan secara lega. Jreeeenggg!! Bunyi tadi mengakhiri latihan hari ini.
Proook prookk prokk! Tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang di depan pintu masuk.
“Amazing! Saya rasa saya akan tenang ketika di Canada nanti. Kalian berdua sudah cukup mandiri hingga memulainya tanpa menunggu saya terlalu lama. Lagu yang kalian pilih sangat menyentuh hati dan saya suka. Dengan ini, saya yakin kalian akan membanggakan sekolah. Silahkan istirahat. Teruslah berlatih hingga hari H nanti.” Pesan Ms.Elizabeth sambil tersenyum lebar.
“Thanks Miss!” serentak kami berdua ucapkan. Lalu shane mengajakku ke kantin untuk membeli minuman karena dehidrasi sudah meningkat.

   “Besok latihan lagi ya?” Tanya ku. Shane hanya mengangguk sambil meneguk dua liter susu kesukaannya.
“Kamu maniak susu ya? Dua liter loh!” celetuk ku.
“Iya, hehe..” sahut Shane. Aku pamit duluan ke Shane untuk segera balik ke kelas.
***
*Dua Hari Kemudian*

   Dengan yakin, aku melangkah ke kelas Bryan. Aku mencoba menyakan pada Kian yang kebetulan sedang berada di pintu kelas.
Bryan? Oh dia sedang baca buku tuh di dalam.” Ucap Kian sambil memperhatikan ku. Aku beterimakasih padanya dan dengan perlahan menghampiri Bryan.
“Bry?” panggilku pelan. Bryan memunculkan wajahnya yang tenggelam dalam sebuah novel tebal.
“Tumben baca novel, katanya tidak suka?” Tanya ku.
“Memangnya tidak boleh? Ada apa ke sini?” Tanya Bryan mulai dingin. Aku sudah memaklumkannya karena itu wajar. Bry pasti kecewa. Aku menarik lengannya dan mengajaknya ke taman tempat tempat Bryan menembakku.
Bryan aku mau jujur, tapi kamu jangan marah ya?” ucapku. Bryan hanya mengangguk sambil menatap pohon beringin tua itu.
“Bry, aku sangat sangat menghargai perasaanmu. Demi Tuhan, aku sangat menghargai. Tapi, aku tidak mau kamu tersiksa dalam kepalsuan cinta. Maafkan aku Bry. aku sudah menganggapmu sebagai teman dan kakak. Tidak lebih. Entah mengapa, cinta itu belum tumbuh di hatiku. Maaf Bry, aku tidak mau membohongimu dan diriku sendiri.” Aku mulai menangis. Aku sangat menyesal mengatakannya tapi aku memang harus jujur padanya. Aku mencoba menatap Bryan dengan sungguh-sungguh.

   “Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Cukup jadi teman saja tak apa-apa.” Ucap Bry lemas.
“Bry, bolehkah aku memelukmu?” tanyaku mencoba menghiburnya. Tiba-tiba Bryan tersenyum dan mengangguk. Aku langsung memeluknya dengan agak payah. Bryan tinggi sih!
“Be your self, Bry. oke?” ucapku sambil melirik novel yang sedang dipegangnya. Bryan hanya tertawa sambil berkata,
“Iya iya, Chisel cantik. Aku hanya ingin mencoba kebiasaan baru untuk membaca. Bantu ya?”
“Pasti, ganteng!” sahutku. Syukurlah, terimakasih Tuhan Bryan mau mengerti. Sudah kubilang, dia pantas menjadi kakakku karena sifat pengertiannya. Hahaha, and thanks to my prince, Shane.
***

   Malam itu, tiba-tiba ada yang datang ke rumah ku.
“Dear, tolong buka pintunya ya. Mom lagi sibuk, bibi juga lagi di dapur.” Perintah mom.
“Oke mom!” sahutku. Dengan langkah ringan aku membuka pintu dan whaaaaaaaaat????
“Nicole? Ada apa?” Tanya ku. Dengan cepat dia berkata,
“Segera ganti baju dan ikut aku!”
Nah loh! Datang-datang seperti polisi saja. Dengan cepat aku menuju kamar dan pamit pada mom. Syukutlah mom mengizinkan.
“Hei, ada apa??” aku berteriak di samping Nicole di dalam mobilnya.
“Shut up, please! Diam saja, tenang, kamu tidak akan kusakiti!” ucapnya.
Ya Tuhan, semoga aku tidak kenapa-napa.
***
 Uppsss, ketauan deh Bryan suka sama Chisel, tapi sayang yahh ditolak :( Tapi, apa yang dibilang Chisel ada benarnya juga kan?? :) 
Terus, itu si Nicole kenapa the tiba-tiba datang kayak hansip aja yak?? Mau dibawa kemana tuh si Chisel? Penasaran kan? Part 10 menyusuuuuul ;)
Thanks before, Bella.

Senin, 13 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 8*


*Shoot Her!*

@O’Rice Chalet Restaurant

   Di barisan meja nomor empat, duduk seorang lelaki berpakaian kemeja putih berbalut jas hitam, tampak sangat tampan walau sederhana. Di tangannya, sudah tergenggam sepucuk mawar merah dan sebatang coklat ‘Godiva’. Dia sedang menunggu seseorang dengan cukup lama sambil berharap-harap cemas. diremasnya jemari-jemari yang sudah panas dingin. Setiap menit, dilihatnya IPhone berulang kali berharap ada pesan masuk dari orang yang ditunggunya. Setelah hampir tiga puluh menit dia menunggu, datanglah seorang gadis cantik mengenakan long-dress berwarna merah tua dengan rambut indah tergurai berhiaskan pita pink di poninya. Sangat cantik, bak seorang putri.
“Hai, Mark! Maaf menunggu lama, mencari sebuah baju yang cocok sangatlah rumit dan membutuhkan waktu lebih dari dua jam!” keluhnya. Mark hanya tersenyum sambil mempersilahkan dia duduk.
“Casual pun yang kamu pakai, akan tetap terlihat cantik.” Puji Mark. “Nicole, bloss on mu ketebalan ya??” Tanya Mark yang membuat Nicole terkejut. Sebenarnya itu bukanlah bloss on yang over dosis, tapi rona merah pipi Nicole akibat pujian Mark tadi. Tak lama kemudian, beberapa menu makan malam itu sudah siap tersaji di atas meja hidangan.

   Setelah mereka berdua selesai menyantap hidangan, tiba-tiba Mark meminta Nicole untuk menutup matanya sementara. Mark menggenggam tangan Nicole dan menuntunnya ke suatu tempat tak jauh dari tempat mereka semula.
“Mark, kita di mana?” Tanya Nicole penasaran. Lalu Mark menyuruh nya untuk membuka mata perlahan-lahan. Beberapa saat, di sekelilingnya sudah berderet rapi lilin-lilin kecil yang bersinar layaknya rembulan di daratan. Sedangkan di depannya, terdapat lampu-lampu kecil yang mengantung berbentuk hati menyala terang benderang. Tiba-tiba, bunyi tuts piano mengalun indah memecah kesunyian malam.
“Mark??” panggil Nicole mencari-cari Mark. Dan dari arah belakang, terdengar suara lelaki menyanyi yang diiringi piano tadi. Nicole berbalik arah, mencari asal suara yang didengarnya sangat sangat indah!

“…. I'm ready to begin this journey
Well, I'm with you with every step you take
And we've got a whole lifetime to share
And I'll always be there, darling, this I swear

So please believe me for these words I say are true
And don't deny me a lifetime loving you
If you ask, will I be true' Do I give my all to you'
Then I will say I do

So come on, just take my hand
Oh, come on, let's make a stand for our love
But I know this is so hard I believe, so please

So please believe me for these words I say are true
And don't deny me a lifetime loving you
And if you ask, will I be true' And do I give my all to you'
If you ask, if I'll be true' Do I give my all to you'
Then I will say I do…”

Entah apa yang kini ia rasakan. Di hadapannya, Mark dengan memegang sebatang mawar merah dan sebatang coklat kesukaannya berlutut santun padanya sambil tersenyum sangat manis.
“Nicole, sorry if I was overreacting. however, this is all I try for you. probably the first time, you and I never knew each other. but guess it suddenly came to me. with all the confidence and support of friends, will you be my girlfriend?” Nicole terhenyak sesaat mendengar itu. Sepertinya dia belum siap untuk menerima pernyataan Mark. Entah cinta nya pada Mark belum terbumbui atau rasa cinta pada orang lain mengalahkan segalanya. Dia takut untuk menolak, namun dia juga tidak bisa membohongi persaan dirinya sendiri. Mark, lelaki yang baru beberapa bulan dikenalnya tanpa sadar telah jatuh cinta padanya.
Dia bingung harus menjawab apa, dia juga tidak tega harus melukai hati seorang lelaki yang mungkin disia-siakannya, karena Mark adalah idaman para wanita.

   ‘Emm, Mark?” panggil Nicole hingga membuat Mark sedikit cemas. Mark takut, cintanya tertolak untuk yang kedua kalinya selain pada Calmond.
“Bangunlah,” pinta Nicole. Dia menarik tangan Mark dan mengajaknya duduk di sebuah kursi panjang berhiaskan rangkaian mawar putih berseri.
“Maaf, sekali, sebelumnya aku sangat terkejut atas apa yang terjadi dan yang kamu ucapkan tadi.” Ucap Nicole hingga membuat Mark menundukkan kepalanya dan menenggelamkan wajahnya dari hadapan Nicole.
“Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini. Tapi ku mohon, apapun jawabannya nanti, menurutku itu yang terbaik. Percayalah…” lanjut Nicole dengan sangat hati-hati. Saat itu hanya terdengar dengkrikan jangkrik dan terangnya lampu hias yang menemani mereka berdua. Mark tiba-tiba terdiam dalam kebisuan hatinya. Dia berusaha menguatkan diri agar tetap terlihat gentleman.
“Baiklah, terimakasih untuk malam ini. Kamu bersedia datang dan menemaniku makan malam.” Ucap Mark sangat lirih. Nicole menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum semanis mungkin.
“Hampir larut malam, aku harus segera pulang.” Beritahu Nicole pada Mark sambil melirik arloji di tangannya. “Mau kuantar?” tawar Mark.
“Tidak perlu. Supirku sudah menunggu di depan bersama mobil nya. Hope you’ll be okay. Good night Mark!” sahut Nicole. Dengan perlahan, dia meninggalkan Mark di tengah-tengah dinginnya malam yang semakin larut, sama larutnya dengan hati Mark saat itu.

   “Elo masih punya harapan, Mark. Nicole kan belum menjawab, artinya mungkin saja dia mengiyakan nantinya. Don’t be sad, bro! Kita masih ada buat bantuin lo.” Hibur Nicky sambil meletakkan tangannya di bahu Mark.
“Yoi, Mark! Gue, Nicky dan Shane bakal siap buat bantuin elo nyari gebetan yang lain seandainya ditolak sama Nicole.” Timpal Bryan. Sayangnya, saat itu Shane tidak bisa hadir bersama mereka. Sepertinya ada keperluan lain. Kemudian Mark bertanya pada Bry soal hubungannya pada Shane akhir-akhir ini yang membuat Bryan agak gusar untuk menjawabnya.
“Gue dan Shane baik-baik aja. Cuma sedikit komunikasi aja. Dia juga sibuk begitupun gue.” Jelas Bryan,
“Gue harap, elo dan Shane akur lagi seperti dulu. Gue enggak mau di antara kita saling jaga jarak.” Harap Mark.
***

   Tuk.. tuk.,. tuk.. Suara hentakan pensil milikku membahan seisi kelas yang mulai kosong dari penghuninya. Perasaan jenuh dan bosan menghampiriku. Harusnya sekarang adalah waktunya makan siang. Tetapi tiba-tiba perutku menolak untuk diisi. Sreeeettt!!!! Sebuah pesawat kertas melintas melewati jendela tak jauh dari tempatku duduk dan mendarat dengan sukse di mejaku. Iseng-iseng kubuka isi kertas itu. Ternyata ada beberapa baris tulisan yang ditujukan pada………. AKU!

Isi suratnya àSorry if I disturb you. But only for some time. Do you still remember the letter in the drawer of your desk some time ago? Actually I was a fan of your secrets. Someday, I'll know who I am. if it is very timely. I hope you still want to wait for. I love you”

Ya Tuhan, apalagi sih ini? Aku memang sedikit penasaran. Dalam surat ini dikatakan bahwa si pengirim adalah penggemar rahasiaku. Grrrrr….. sudahlah, mending kusimpan saja surat ini. Siapa tau penting untuk tugas menulis surat cinta(?)

   Tiba-tiba kepala seseorang muncul di depan kelas tanpa diundang. Aaaapa jangan-jangan hantuuu?? Ohhh nooo!!
“Doooorrr!!” teriaknya sehingga akupun teriak sedemikian kencangnya membuat beberapa teman berdatangan untuk melihat apa yang terjadi. Taukah kalian, aku sangat malu menjadi bahan tontonan sekarang! Ternyata ini semua ulahnya Bryan! Aaah, apa sih maunya dia?? Setiap hari mungkin bagi dia sangat hampa jika tidak menganggu orang lain termasuk aku!
“Bryyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!” kesal ku meledak tumpah tanpa bisa di kontrol lagi. Dia hanya cengar-cengir seolah tidak bersalah, sedikitpun! Heeh!
“Sorry sorry, habisnya sendirian aja sih? Serius amat baca apaan tuh?” Tanya Bry. cepat-cepat kumasukkan surat tadi sehingga membuat Bry penasaran.
“Cie cieee, surat dari sopooo??” godanya. “Mau tau aja!” jawabku, judes.
“Emm, eh Bry, kamu tadi ngeliat Shane gak?” tanyaku. Bryan tiba-tiba berdengit melihatku.
“Shane? Tumben nanyain dia? Gue gak tau. Mungkin di perpustakaan sekolah. Cari aja.” Jawabnya tak acuh. Ih, si Bryan kalau ditanya gak pernah serius!
“Yaudah deh, aku mau ke perpus aja, sekalian pinjam buku dann…”
“Dan apa???????” Tanya Bryan, penasaran. “Ketemu Shane! Mau ikut?” tawarku.
“Enggah deh. Hati-hati ya di jalan, nanti tersandung pula.” Ucapnya sambil cekikikan. Ceritanya dia doain aku jatuh di jalan gitu?? Ggrrrrrrr!
“Huh, aku pergi dulu ya. Bye bye, Bryan cubby.” Ledekku. Senyum Bryan sirna secara perlahan-lahan. Entah kenapa.
“Yahh, padahal gue mau ngajak lo lunch, Shel. Tapi malah milih nyamperin si Shane.” Keluhnya dalam hati. Dia berjalan lunglai ke luar kelas hampir menabrak tembok kelas yang disangkanya pintu keluar.

@Perpustakaan

   Celingak-celinguk, kiri kanan kulihat saja, banyak buku berjajar aarrr… Hehehe! Aku mencoba mencari Shane di lorong ke tiga. Mungkin saja dia sedang menghapal rumus matematika, pelajaran kesukaannya! Aku berjalan perlahan. Memperhatikan sekeliling. Siapa tau aja ketemu Shane di jalan.
“Shaaannnee!!” panggilku sehingga membuat seorang petugas di situ hampir marah padaku. Shane melihat ke arah ku dan tersenyum. Hiyaaaa!!! Senyum yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Aku segera menanyakan padanya tentang festival minggu depan.
“O iya, bagaiman pertemuan dengan Ms.Elizabeth? sudah?” dia balik bertanya. Aku mengangguk pertanda sudah.
“Ms.Elizabeth memintaku untuk bermain piano sekaligus menyanyi bersama mu. Dan berkat nasihatmu, dengan mantap kuiyakan permintaannya.” Ucapku senang. Shane juga terlihat sangat gembira mendengarnya.
“Kamu pasti pemain piano yang sangat handal. Seperti dad mu.” Celetuk Shane tiba-tiba. Apa?? Seperti dad? Shane kenal dengan dad? Bagaimana dia tau dad bisa bermain piano?
“Sudah jangan dipikirkan. Makan siang dulu yuk? Setelah itu baru kita bicarakan rencana selanjutnya.” Ajak Shane sambil menarik tanganku. Kebetulan saja perutku tiba-tiba bunyi. Hahaha… aneh! Saat di kantin, aku bertemu Mark, Nicky dan juga Bryan.
“Waah, mau makan siang berdua yaa?? Boleh ganggu gak?” goda Mark.
“Udah Mark jangan ditanya lagi. Shane kan baik hati, jadi kita pasti dibolehin dong. Wkwkwkwkw!” sergah Nicky. Namun Bryan hanya diam bagai patung yang hiportemia di siang bolong. Nicky mendorong Bryan hingga dia terkejut dan membalas dorongan Nicky. Wajahnya hanya murung saja. Ckcckck!
“Tuh kan, gue keduluan lagi sama Shane! Mending minder aja ah!” kesal Bry dalam hati. Dia memisahkan diri ke meja lain. Sedangkan aku makan bersama Shane, Nicky dan Mark.
***

* Tiga Hari Kemudian *

   Seperti biasa, aku hanya menghabiskan waktu makan siang di kelas dengan beberapa teman. Dan pesawat kertas beberapa hari lalu kembali datang ke meja ku. Dengan segera kubuka lipatan kertas dan membaca isinya,
Hi Chisel, I hope I'm not busy. Meet me at the school  park near the school football field.”
Whaaat?? Apaan lagi nih?? Ketika aku beranjak pergi dari tempat duduk, sebuah pesawat kertas kedua datang ke mejaku. Ckckcck! Aku ingin segera pergi, namun rasa penasaranku mengalahkan keinginanku tadi.
 “Kamu tidak perlu tahu siapa aku. aku mohon temui aku di taman sekolah dekat lapangan basket.

   Tuhaaan!! Apa yang terjadi dua orang misterius memintaku untuk menemuinya di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama! Wujudku hanya satu sedangkan yang harus kutemui dua! Aku dilanda kebingungan. Entah yang mana harus ku pilih. Dan tempatnya pun berseberangan. Aku pun berjalan seperti orang linglung, sambil menggigit jari dengan perasaan cemas. Aku harus pilih ke mana?

***
 Naah, di awal cerita part 8 ini, kisah romantisme nya Nicole sangat indah bukan? *ditimpuk team feehily*
Berbeda jauh dengan Nicole, si Chisel malah mendaptkan surat yang sangat misterius dari dua orang tak dikenalnya. Dan kebingungan mulai melandanya ketika orang itu memintanya menemui dengan waktu yang sama dan tempat yang berbeda! Yang mana kah yang akan dipilh Chisel??

Penasarankan?? Ikutin terus ya ceritanya! Part 9 menyusuuul, babaay! ;)

Thanks before, Bella.