-Chapter 1-
Tiupan angin menyapa tubuhku pelan, garis
warna jingga cakrawala di pinggir langit membawa tanda sore telah tiba. Aku
yang masih terpaku di dekat sebuah nisan yang masih baru tak peduli apakah aku
harus bermalam selamanya di sini. Pikiranku masih membeku, hatiku masih
menangis, mataku sangat bengkak hingga bibirku pun menjadi kering. Keegoisan
menutup hampir semua logika ku hingga aku hampir gila. Terbalut dengan pakaian
berwarna serba hitam, aku meracau tak karuan,
“Mengapa kau pergi secepat ini? Aku
masih mencintaimu! Atau kau sudah hilang rasa hingga tega membuatku pilu
seperti ini?”
Entahlah tanggapan para pelayat
yang berangsur-angsur menghilangkan diri. Aku sama sekali tidak peduli. Yang ku
mau sekarang hanyalah orang yang tidur ini kembali bangkit menemani hariku yang
sepi. Setiap menit, perasaanku berubah-ubah. Kadang sedih kadang pula aku
merasa kesal. Aku belum bisa menerima keputusan Tuhan. Aku belum siap sehingga
emosi ku pun masih mengambang.
“Aku sadar, belakangan ini aku
jarang memberi perhatian padamu. Namun bisakah kau beri aku kesempatan kembali?
Ku mohon bangunlah, walau hanya sebentar. Aku masih ingin memeluk jasad mu yang
hidup. Ku mohon bangunlah! BANGUNLAH! BANGUNLAH!” teriakku.
“Setelah itu, kau boleh kembali
ke dalam tidur panjangmu, Brad!” lanjutku kembali terisak.
Pria yang kutangisi, bernama Bradey Naomhan,
seorang asli Ireland .
Kami saling menyukai sejak berusia remaja dan pada saat itulah aku resmi
menjadi kekasihnya hingga aku mulai memasuki masa dewasa. Aku menyukainya juga
menyukai namanya. Bradey Naomhan, dalam bahasa Ireland berarti ‘Semangat Suci’. Kepribadiannya
pun membuat aku terkagum. Dia seorang yang optimis dan pantang menyerah, hingga
akupun tertular virus semangatnya. Namun kematian nya sekarang berawal dari
kami yang mulai memenangkan ego sendiri.
* SKIP *
--- December 26th 2012. Sligeach, Sligo , Ireland---
“Kita sudah sama-sama dewasa dan kau
sebagai lelaki seharusnya bisa memberiku keluasan dalam bergerak!” Kesalku.
Prangggg! Brad melempar vas bunga
hingga menembus jendela apartemenku. Aku menutup telingan sambil menahan air
mata.
“Ku kira dewasa akan mengubah
sikap pilih kasihmu, ternyata makin menjadi! Aku sudah muak dengan kesabaranku
sendiri. Aku menyesal telah mencintaimu! Hubungan kita berakhir dan jangan
pernah mendatangiku kembali!”
Braak! Brad menghentak pintu dan
menancap gas mobil jeep nya dengan kencang.
“Braaad! Tunggu! Aku masih……..
masih mencintaimu..”
Aku terduduk di lantai dengan
rambut berantakan. Bayangkan, selesai mengurus tesis di siang bolong dan
pulangnya harus menghadapi kekasih yang salah mengerti. Bukannya aku tidak mau
lagi memberi hari lebih banyak pada Brad, namun target kelulusan harus ku kejar
dan otomatis hanya bersisa sedikit waktu kami untuk bersama. Sedangkan waktu
untuk mengurus diriku sendiri saja harus mencuri-curi.
Aku diam membeku, tak percaya dengan apa
yang diucapkan Brad tadi. Aku benar-benar merasa bersalah atas semua ini.
Karena ku, hubungan kami berantakan. Dan yang ku khawatirkan, Brad akan
melakukan suatu hal yang nekat karena tidak mampu menahan emosinya. Aku takut
terjadi apa-apa dengannya. Hingga malam tiba, belum ada satu kabar pun dari
Brad. Ku rasa dia masih benar-benar kesal dan memutuskan komunikasi padaku.
Perasaanku masih kacau, lebih kacau dari yang sebelumnya. Feeling ku merasa
sedikit buruk. Aku segera meraih handphone dan menghubungi Brad. Percuma,
nomornya sibuk.
“Maafkan aku, Brad. Aku masih
menyukaimu.” Aku mengela nafas dan mengambil handuk untuk segera menyegarkan
diri.
Pukul 21.15
Ting
tong! Seseorang menekan bel apartemenku. Dengan cepat segera kuletakkan hair
dryer dan membuka pintu.
“Cepatlah ke rumah sakit! Dia
sedang sekarat!” Ucap pria setengah baya itu yang ternyata kakaknya Brad. Urat
di wajahnya menunjukkan dia sangat cemas. Dengan ragu-ragu aku melangkah
mengambil kunci apartemen dan menuju mobil nya.
“Brad?!” aku kaget setengah
berteriak. Aku menutup wajah sambil memeluk ibu nya Brad. Tampak dari aroma
tubuh Brad, dia meneguk alkohol hingga membuatnya sangat mabuk.
“Apa yang terjadi dengannya?” aku
bertanya pada orang-orang di ruang kamar. Sepertinya tidak ada yang sanggup
untuk membeberkan kejadian aslinya. Tapi, seorang lelaki tua membuka mulut,
“Dia mengendarai mobil dengan
kondisi mabuk berat hingga menabrak trotoar jalan. Waktu itu aku sedang menjaga
kedai tepat di depan kejadian. Akulah yang menolongnya pertama kali dan
membawanya ke sini. Dengan bantuan polisi, keluarganya dapat diberitahu. Memang
kau siapa?”
Deg! Aku tak mampu menjawab.
“Aku… aku mantan kekasihnya.”
Hingga malam semakin larut dan
akhirnya Brad menghembuskan nafas terakhirnya dan membuat kami semua menangis
hingga sampai pemakaman.
---SKIP---
Aku menggaruk dan memukul-mukul tanah yang
subur itu hampir berantakan. Tanganku mulai mendekati nisan dan berniat
merusaknya.
“Bisakah kau hentikan sikap
burukmu itu?” seorang lelaki di belakang memergoki ku. Dia melepas kacamata
hitam yang sedang dipakainya dan berjalan mendekatiku. Aku mencium aroma parfum
yang begitu segar dari tubuhnya.
“Makam siapa? Ayahmu? Ibumu? Atau….”
“Kekasihku. Tepatnya mantan
kekasihku.” Potongku cepat.
“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud
untuk….”
“Tak apa, maaf aku harus segera
pergi. Sudah hampir malam dan rumahku sangat jauh dari sini.”
Aku mengambil tas dan pamit pada
lelaki yang tak kukenal itu. sebelum beranjak, aku membisikkan kata-kata di
sebelah nisan Brad,
“Besok aku akan kembali ke sini,
sayang. Tenanglah di sana ,
aku takkan meninggalkanmu.”
Sudah hampir setengah jam aku menunggu
sebuah tumpangan, namun tak kunjung datang. Aku hampir putus asa. Jika sudah
seperti ini, biasanya Brad selalu siap untuk menjemputku tak melihat jarak yang
mungkin cukup jauh. Walau sudah seperti ini, keluarga Brad masih bersikap baik
padaku layaknya saat kami masih menjalin hubungan. Aku ingin meminta pertolongan
Nolen, kakaknya Brad. Namun kuurungkan niat karena akan sangat merepotkan.
“Tidak baik seorang wanita
sendirian di malam hari. Mari kuantar.” Tawar seseorang. Aku tersentak,
ternyata lelaki berkacamata hitam itu masih mengawasi ku di sini. Padahal sudah
sangat lama aku berdiri. Demi keselamatanku juga, aku mengangguk dan menerima
niat baiknya itu. Di dalam mobil, kami saling berdiam diri dan menatap ke arah
depan. Beberapa menit kemudian, lelaki itu membuka percakapan,
“Sudah berapa lama kau di tempat
tadi?” tanyanya menyelidiki. Aku berpikir sambil menghitung putaran jam di
arloji.
“Ku rasa hampir tiga jam. ” Jawabku.
Dia terlihat kaget.
“Kau wanita yang tegar. Masih
tetap setia walau dia sudah berbeda tempat dengan mu.”
Yang ada dalam pikiranku adalah
tanggapannya tentang diriku tadi adalah salah. Aku bukan wanita yang tegar dan
setia, buktinya aku masih keras kepala untuk mengikhlaskan Brad. Ketika aku
melihat lelaki itu dari arah samping, tiba-tiba aku seperti melihat wajah Brad.
Aku menatapnya, seolah melepas rasa rindu yang mendalam pada Brad.
“Brad?” sontak aku mengeluarkan
kata-kata itu dengan sedikit gemetar. Lelaki itu melihat ke arahku.
“Brad? Siapa? Mengapa kau
menatapku seperti itu? Ada
yang aneh?”
Astaga, Tuhan, dia mirip sekali
dengan Brad. Hidungnya, bibirnya, dan gaya
rambutnya mengingatkanku pada masa lalu bersama Brad.
“Oh maaf, tiba-tiba aku kepikiran
Brad. Dia kekasihku yang meninggal itu.”
Lantas lelaki hanya tersenyum dan
menancap gas mobil lebih cepat.
Akhirnya, aku menginjakkan kaki di
apartemen ini. Mungkin jika tidak ada lelaki itu, ucapan ku untuk bermalam di
pemakaman akan menjadi kenyataan.
“Terimakasih atas pertolonganmu,
semoga Tuhan membalasnya.”
Aku tersenyum padanya sambil
melambaikan tangan. Dia hanya membalas senyumanku dan membunyikan klakson.
“Kenapa senyumnya terasa berbeda
di hatiku? Ah, menghayal saja kau Eilinora Muireaan!” rutukku dalam
hati.
To Be continue......
kata katanya frontal 'n keren kk \(ˇ▼ˇ)/
BalasHapusaaww :3 thannnnks :)
HapusD tnggu klnjutanya ya dek...
BalasHapusOya dek ntar ada Mark ga...?
*OVER teamfeehily
oke kak, :) ada dong, westlife kan masukkk :D
Hapus