Sabtu, 01 September 2012

BETWEEN SINCERITY AND LOVE


-Chapter 2-


Sampai hari ini aku belum berniat untuk melanjutkan urusan tesis ku. Setelah kematian Brad, semangatku dengan sendirinya menguap. Aku sadar, ini semua salah, namun aku tidak tega meninggalkan Makam Brad yang sunyi.

“Sudahlah, sebaiknya selesaikan saja tesismu. Sudah ada yang bertanggung jawab untuk mengurusi makam Brad.”
Perkataan itu yang sering ibu Brad ucapkan ketika aku mampir ke makam. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk seolah menuruti perkataanya. Namun apa daya, keinginan terlampau kuat hinga-hingga akal sehatku kalah bersaing.

“Tidak apa-apa, bu. Aku sengaja mengambil liburan beberapa hari untuk menemani Brad yang menyendiri.” Itulah jawaban yang sering keluar dari tenggorokanku. Biasanya, ibu Brad hanya menahan gerakan matanya yang panas sambil memelukku hangat.

     Cahaya oranye menguning mempercantik langit menyambut sang raja pagi. Layaknya sunrise, setelah peregangan ringan, biasanya aku mengambil secangkir teh hijau panas bersama sepotong roti tawar menikmati taburan garis-garis warna yang memanjakan mata. Namun tidak untuk hari ini, aku sudah merasa segar diguyur dinginnya air yang membasahi tubuh. Lalu, segera bersiap mengambil pakaian berwarna gelap dan sebuah tas kecil yang bersedia kugandeng ke mana-mana. Dengan keyakinan, aku melangkah keluar apartemen dan memesan sebuah tumpangan menuju ke tempat yang setiap hari kurindukan.
Sesampainya di makam Brad, aku segera duduk di sebelah gundukan tanah yang terlihat subur. Seperti biasa, aku berbicara sendiri seolah sedang berhadapan dengan Bradey di sini.

“Kau tau sayang, sampai saat ini aku belum bisa memikirkan pengganti mu. Aku masih belum yakin bisa menggeser posisimu di hidupku. Karena apa? Karena aku masih sangat mencintaimu, Brad. Jika kau masih hidup, mungkin aku menjadi gila jika kau benar-benar memutuskan hubungan kita.”
Aku mengambil selehai tisu untuk menyumbat air mata yang mendesak untuk bebas.
“Aku yakin, perkataanmu di masa lampau hanya sebagai luapan emosi hingga kau nekat mengatakan putusnya hubungan kita. Aku sudah memaafkan mu Brad.”

Pipiku kembali basah, kini kubiarkan membanjir untuk menenangkan perasaanku sejenak. Langit terasa gelap seolah merasakan gundah sedihku yang tak mampu ditampung diriku sendiri. Terdengar derap langkah di belakang mendekat.

“Kau kembali ke sini?” tiba-tiba seseorang sudah mengambil posisi tepat di sampingku. Dia menatap lurus mencipratkan cahaya matanya yang biru. Aku hanya diam tak menggubris perkataannya.
“Hei, kau lupa? Aku yang menolongmu kemarin! Secepat itukah kau melupakanku?” dia kembali berceloteh seperti meminta perhatianku yang terus menatap lekat nisan Brad.
“Kau sangat mencintainya?” Dia kembali berucap dengan santai sambil mengambil sesuatu dari dalam jaket coklatnya.

“Pertanyaan yang bodoh! Jika aku tidak mencintainya, untuk apa aku repot-repot ke sini?!”
Aku sungguh kesal. Benar-benar kesal. Kepalaku ingin meledak. Pertanyaannya barusan membuat suhu di tubuhku menaik lebih dari seratus empat puluh derajat. Aku menatapnya tajam hingga menembus bola mata birunya. Tetapi dia hanya tersenyum dan tiba-tiba senyum nya memadamkan amarahku. Seolah dia menyihirku lewat wajah nya itu.
“Me.. mengapa kau tersenyum?” aku merasa sedikit aneh dengan nya. Ternyata benar, dia lelaki yang mengawasiku seharian.
“Karena aku juga ingin menularkannya padamu.” Jawabnya sangat polos.
“Kau tau, jika kau terlalu lama bersedih, alam pun akan menangis.” Ucapnya kembali menatap mendungnya awan.
“Mengapa kau begitu yakin?”
“Karena sebentar lagi akan hujan, ayo segera berteduh.” Ajaknya sambil menarikku. Diam. Itulah yang kulakukan saat ini. Benar saja, seolah dia mengetahui apa yang akan terjadi kejadian di waktu ke depan, pasukan air menyerbu tandusnya tanah hingga membuat sedikit tergenang. Jika saja dia tidak ada di sini, mungkin aku sudah menjadi wanita malang.

     Syukurlah, kami selamat dari terjangan hujan. Dia membawaku dengan mobil jeepnya ke suatu tempat, sebuah rumah pohon berdaun rindang berakar liar tetata rapi. Hujan yang menit demi menit bertambah volumenya memaksaku untuk tetap bersama lelaki itu.
“Duduklah. Di sini sangat nyaman, kujamin itu.” suaranya meyakinkanku untuk mencoba duduk di kursi bambu yang masih kuat memapang siapapun yang duduk. Sepertinya dia tak asing lagi dengan suasana rumah pohon ini. Sebenarnya aku sangat malas untuk mengeluarkan suara, terlebih terhadapnya.
“Rumah ini milik siapa?”
Dia yang sedang membopong sebuah tikar yang terajut halus bercorak indah berwarna hitam-putih dengan cepat menggelar sangat rapi. Dia berbalik ke arahku dan duduk di sebuah kursi plastik bersebelahan denganku.
“Mengapa? Apa rumah ini kurang atau bahkan tidak nyaman untukmu?”
Aku menyipitkan mata dan menajamkan suara,
“Bukan itu yang kumaksud! Aku hanya ingin tau siapa pemilik rumah ini? Kau mengerti atau tidak sih? Susah sekali menyambungkan pembicaraan padamu!”
Baru kali ini aku menemukan lelaki ‘tulalit’ berparas tampan. Eh maksudku lumayan tampan. Bukan, bukan! Sangat tampan tepatnya! Oh yeah, baiklah, dia memang tampan…… sekali.
“Baiklah, aku mengerti. Sepertinya kau sangat emosi. Apa ini pengaruh dari kematian……”
“Jangan kau sebut itu lagi! Apa kau mau melihat aku kembali menangis?” ancamku.
Dia hanya menepuk kening dan tertawa kecil.
“Oke, dahulu rumah pohon ini dibangun oleh kakek khusus untukku. Di sinilah aku bersamanya menghabiskan waktu-waktu senggang dengan berbagai cerita yang menajubkan.sayangnya saat ini dia sudah meninggal meninggalkan ku hanya bersama ibu. Dua tahun setelah kakek pergi, ayah pun menyusulnya. Dan rumah ini satu-satunya pemberian berhargaku dari kakek. Pada suatu saat, ketika aku sudah menginjak umur remaja, pohon ini hendak ditebang oleh kontraktor perusaahan industri. Aku yang terkejut mendengarnya, dengan cepat tanpa menghiraukan resikonya menghadang mereka. Aku sampai nekat pada ibu untuk pergi dari rumah jika pohon ini benar-benar dimusnahkan. Syukurlah, Tuhan mendengar doaku. Akhirnya dengan berat hati, para pengusaha itu mengurungkan niat nya. Begitulah,”
Tak pernah kusangka, ternyata dia seorang yatim. Dan dia telah bersedia menceritakan sedikit kisah hidupnya yang menurutku cukup mengharukan.
“Kau ingin menangis kembali?” tanyanya yang melihat mataku mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, aku memang sangat cengeng. Hatiku memang mudah tersentuh, oleh karena itu, jangan pernah heran jika aku sering menangis.
“Ti.. tidak. Tentu saja tidak!” aku mengelak dari tatapannya. Sebenarnya aku ingin menoleh kembali melihat mata indahnya yang menenangkan jiwa. Entahlah mengapa itu bisa terjadi.

     Garis kilatan cahaya berarak di tengah langit hitam menjulang, membawa roman sangat mengerikan hingga membuatku loncat terkaget dan spontan aku MEMELUK DIA! Jika kalian mentertawaiku, aku hanya meringis dalam rasa malu. Dengan cepat aku segera bangkit dan menutup wajah, sangat malu.
“Hei, mengapa tidak berlama-lama?” tanyanya sambil tersenyum.
Huh, dasar memang lelaki! Tapi di hatiku terbesit sedikit penyesalan mengapa aku melepaskan pelukan tadi. Aku tidak berani memandang wajahnya dan berbalik dengan niat keluar dari sini.
“Kau gila? Di tengah hujan yang deras dengan tambahan kilatan petir, kau mau berjalan dengan tubuh yang hangus? Sudah tak apa, itu sangat wajar bagi wanita.” Ucapnya ringan. Sepertinya dia benar, aku harus kembali mendengarkannya dan duduk manis sambil menikmati hawa yang sangat dingin merajam kulit.
“Maafkan aku, tadi sangat tidak sopan.” Aku menunduk mencoba menghapus kejadian tadi.
“Menurutku wajar-wajar saja. Sudah lama aku tidak mendapatkan pelukan sehangat itu.”
Wajahnya menerawang menembus tebalnya awan, membentuk suatu memori yang mungkin dulu dilupakannya.
“You’re have a girlfriend?” pertanyaan itu tidak sengaja meluncur dari bibirku.
“Dulu. Sebelum dia meninggal karena kecelakaan tragis. Itu kesalahanku.”
Aku melihat dari wajahnya sebuah penyesalan. Entah apa maksudnya. Sepertinya aku merasakan sesuatu yang tidak aneh.
“Ahh, sudahlah, aku belum bisa menceritakannya sekarang.”
Dia menggelengkan kepala sambil berjalan ke arah jendela kecil dan menyentuh butiran air sejuk.
“Baiklah, aku tidak memaksamu untuk menceritakan semuanya kok.”
“Tidak apa-apa, terkadang aku juga butuh teman. Suatu saat aku akan menceritakannya padamu.” Janjinya sambil mengerlingkan mata. Sangat manis.
“Janji ya?” aku memastikannya. Dia hanya mengangguk pelan dan menatap luasnya alam.

     Hari ini kurasa bukan hari yang buruk, hujan begitu bersahabat, menemukan ku pada sosok orang yang sangat menyenangkan. Mulai dari hari inilah aku dan dia menjadi dekat. Aku pikir, dia lelaki yang menyebalkan, ternyata tidak sama sekali. Sayangnya, aku belum pernah mengenal siapa dia.
“Hei hujannya sudah reda, berkeinginan untuk pulang? Atau menemaniku makan sebentar? Perutku sudah bunyi, nih.” Dia memberi pilihan. Sebenarnya aku ingin segera pulang ke apartemen, namun tidak enak dengannya. Lagi pula, sebagai tanda terimakasih, aku menyetujui pilihan yang kedua. Dia terlihat sangat gembira dan aku sepertinya begitu pula. Dia menyuruhku menunggu di bawah pohon yang rindang. Setitik demi setitik gerimis masih membahasahi bumi yang sudah kuyup.
“Naiklah ke mobilku. Sebelum hujan bertambah lebat.” Perintahnya sambil memberhentikan mobil tepat di depanku. Aku mengangguk dan berlari ke arah pintu depan.
“Sepertinya kita mulai akrab ya?” ucapnya dengan nada cepat. 

To Be Continue.....

1 komentar:

  1. oi move on dong Eilinora Muireaan *modus*
    oh iya, tesis tu apa kk ?? ._.

    BalasHapus