-Chapter 2-
Sampai hari ini aku belum berniat
untuk melanjutkan urusan tesis ku. Setelah kematian Brad, semangatku dengan
sendirinya menguap. Aku sadar, ini semua salah, namun aku tidak tega
meninggalkan Makam Brad yang sunyi.
“Sudahlah, sebaiknya selesaikan
saja tesismu. Sudah ada yang bertanggung jawab untuk mengurusi makam Brad.”
Perkataan itu yang sering ibu
Brad ucapkan ketika aku mampir ke makam. Aku hanya tersenyum tipis dan
mengangguk seolah menuruti perkataanya. Namun apa daya, keinginan terlampau
kuat hinga-hingga akal sehatku kalah bersaing.
“Tidak apa-apa, bu. Aku sengaja
mengambil liburan beberapa hari untuk menemani Brad yang menyendiri.” Itulah
jawaban yang sering keluar dari tenggorokanku. Biasanya, ibu Brad hanya menahan
gerakan matanya yang panas sambil memelukku hangat.
Cahaya oranye menguning mempercantik
langit menyambut sang raja pagi. Layaknya sunrise, setelah peregangan ringan,
biasanya aku mengambil secangkir teh hijau panas bersama sepotong roti tawar
menikmati taburan garis-garis warna yang memanjakan mata. Namun tidak untuk
hari ini, aku sudah merasa segar diguyur dinginnya air yang membasahi tubuh.
Lalu, segera bersiap mengambil pakaian berwarna gelap dan sebuah tas kecil yang
bersedia kugandeng ke mana-mana. Dengan keyakinan, aku melangkah keluar
apartemen dan memesan sebuah tumpangan menuju ke tempat yang setiap hari
kurindukan.
Sesampainya di makam Brad, aku
segera duduk di sebelah gundukan tanah yang terlihat subur. Seperti biasa, aku
berbicara sendiri seolah sedang berhadapan dengan Bradey di sini.
“Kau tau sayang, sampai saat ini
aku belum bisa memikirkan pengganti mu. Aku masih belum yakin bisa menggeser
posisimu di hidupku. Karena apa? Karena aku masih sangat mencintaimu, Brad.
Jika kau masih hidup, mungkin aku menjadi gila jika kau benar-benar memutuskan
hubungan kita.”
Aku mengambil selehai tisu untuk
menyumbat air mata yang mendesak untuk bebas.
“Aku yakin, perkataanmu di masa
lampau hanya sebagai luapan emosi hingga kau nekat mengatakan putusnya hubungan
kita. Aku sudah memaafkan mu Brad.”
Pipiku kembali basah, kini
kubiarkan membanjir untuk menenangkan perasaanku sejenak. Langit terasa gelap
seolah merasakan gundah sedihku yang tak mampu ditampung diriku sendiri. Terdengar
derap langkah di belakang mendekat.
“Kau kembali ke sini?” tiba-tiba
seseorang sudah mengambil posisi tepat di sampingku. Dia menatap lurus
mencipratkan cahaya matanya yang biru. Aku hanya diam tak menggubris
perkataannya.
“Hei, kau lupa? Aku yang
menolongmu kemarin! Secepat itukah kau melupakanku?” dia kembali berceloteh
seperti meminta perhatianku yang terus menatap lekat nisan Brad.
“Kau sangat mencintainya?” Dia
kembali berucap dengan santai sambil mengambil sesuatu dari dalam jaket
coklatnya.
“Pertanyaan yang bodoh! Jika aku
tidak mencintainya, untuk apa aku repot-repot ke sini?!”
Aku sungguh kesal. Benar-benar
kesal. Kepalaku ingin meledak. Pertanyaannya barusan membuat suhu di tubuhku
menaik lebih dari seratus empat puluh derajat. Aku menatapnya tajam hingga
menembus bola mata birunya. Tetapi dia hanya tersenyum dan tiba-tiba senyum nya
memadamkan amarahku. Seolah dia menyihirku lewat wajah nya itu.
“Me.. mengapa kau tersenyum?” aku
merasa sedikit aneh dengan nya. Ternyata benar, dia lelaki yang mengawasiku
seharian.
“Karena aku juga ingin
menularkannya padamu.” Jawabnya sangat polos.
“Kau tau, jika kau terlalu lama
bersedih, alam pun akan menangis.” Ucapnya kembali menatap mendungnya awan.
“Mengapa kau begitu yakin?”
“Karena sebentar lagi akan hujan,
ayo segera berteduh.” Ajaknya sambil menarikku. Diam. Itulah yang kulakukan
saat ini. Benar saja, seolah dia mengetahui apa yang akan terjadi kejadian di
waktu ke depan, pasukan air menyerbu tandusnya tanah hingga membuat sedikit
tergenang. Jika saja dia tidak ada di sini, mungkin aku sudah menjadi wanita malang .
Syukurlah, kami selamat dari terjangan
hujan. Dia membawaku dengan mobil jeepnya ke suatu tempat, sebuah rumah pohon
berdaun rindang berakar liar tetata rapi. Hujan yang menit demi menit bertambah
volumenya memaksaku untuk tetap bersama lelaki itu.
“Duduklah. Di sini sangat nyaman,
kujamin itu.” suaranya meyakinkanku untuk mencoba duduk di kursi bambu yang
masih kuat memapang siapapun yang duduk. Sepertinya dia tak asing lagi dengan
suasana rumah pohon ini. Sebenarnya aku sangat malas untuk mengeluarkan suara,
terlebih terhadapnya.
“Rumah ini milik siapa?”
Dia yang sedang membopong sebuah
tikar yang terajut halus bercorak indah berwarna hitam-putih dengan cepat
menggelar sangat rapi. Dia berbalik ke arahku dan duduk di sebuah kursi plastik
bersebelahan denganku.
“Mengapa? Apa rumah ini kurang
atau bahkan tidak nyaman untukmu?”
Aku menyipitkan mata dan
menajamkan suara,
“Bukan itu yang kumaksud! Aku
hanya ingin tau siapa pemilik rumah ini? Kau mengerti atau tidak sih? Susah sekali menyambungkan pembicaraan padamu!”
Baru kali ini aku menemukan
lelaki ‘tulalit’ berparas tampan. Eh maksudku lumayan tampan. Bukan, bukan!
Sangat tampan tepatnya! Oh yeah, baiklah, dia memang tampan…… sekali.
“Baiklah, aku mengerti.
Sepertinya kau sangat emosi. Apa ini pengaruh dari kematian……”
“Jangan kau sebut itu lagi! Apa
kau mau melihat aku kembali menangis?” ancamku.
Dia hanya menepuk kening dan
tertawa kecil.
“Oke, dahulu rumah pohon ini
dibangun oleh kakek khusus untukku. Di sinilah aku bersamanya menghabiskan
waktu-waktu senggang dengan berbagai cerita yang menajubkan.sayangnya saat ini
dia sudah meninggal meninggalkan ku hanya bersama ibu. Dua tahun setelah kakek
pergi, ayah pun menyusulnya. Dan rumah ini satu-satunya pemberian berhargaku dari
kakek. Pada suatu saat, ketika aku sudah menginjak umur remaja, pohon ini
hendak ditebang oleh kontraktor perusaahan industri. Aku yang terkejut
mendengarnya, dengan cepat tanpa menghiraukan resikonya menghadang mereka. Aku
sampai nekat pada ibu untuk pergi dari rumah jika pohon ini benar-benar
dimusnahkan. Syukurlah, Tuhan mendengar doaku. Akhirnya dengan berat hati, para
pengusaha itu mengurungkan niat nya. Begitulah,”
Tak pernah kusangka, ternyata dia
seorang yatim. Dan dia telah bersedia menceritakan sedikit kisah hidupnya yang
menurutku cukup mengharukan.
“Kau ingin menangis kembali?”
tanyanya yang melihat mataku mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan, aku memang sangat
cengeng. Hatiku memang mudah tersentuh, oleh karena itu, jangan pernah heran
jika aku sering menangis.
“Ti.. tidak. Tentu saja tidak!” aku
mengelak dari tatapannya. Sebenarnya aku ingin menoleh kembali melihat mata
indahnya yang menenangkan jiwa. Entahlah mengapa itu bisa terjadi.
Garis kilatan cahaya berarak di tengah
langit hitam menjulang, membawa roman sangat mengerikan hingga membuatku loncat
terkaget dan spontan aku MEMELUK DIA! Jika kalian mentertawaiku, aku hanya
meringis dalam rasa malu. Dengan cepat aku segera bangkit dan menutup wajah,
sangat malu.
“Hei, mengapa tidak berlama-lama?”
tanyanya sambil tersenyum.
Huh, dasar memang lelaki! Tapi di
hatiku terbesit sedikit penyesalan mengapa aku melepaskan pelukan tadi. Aku
tidak berani memandang wajahnya dan berbalik dengan niat keluar dari sini.
“Kau gila? Di tengah hujan yang
deras dengan tambahan kilatan petir, kau mau berjalan dengan tubuh yang hangus?
Sudah tak apa, itu sangat wajar bagi wanita.” Ucapnya ringan. Sepertinya dia
benar, aku harus kembali mendengarkannya dan duduk manis sambil menikmati hawa
yang sangat dingin merajam kulit.
“Maafkan aku, tadi sangat tidak
sopan.” Aku menunduk mencoba menghapus kejadian tadi.
“Menurutku wajar-wajar saja.
Sudah lama aku tidak mendapatkan pelukan sehangat itu.”
Wajahnya menerawang menembus
tebalnya awan, membentuk suatu memori yang mungkin dulu dilupakannya.
“You’re have a girlfriend?”
pertanyaan itu tidak sengaja meluncur dari bibirku.
“Dulu. Sebelum dia meninggal
karena kecelakaan tragis. Itu kesalahanku.”
Aku melihat dari wajahnya sebuah
penyesalan. Entah apa maksudnya. Sepertinya aku merasakan sesuatu yang tidak
aneh.
“Ahh, sudahlah, aku belum bisa
menceritakannya sekarang.”
Dia menggelengkan kepala sambil
berjalan ke arah jendela kecil dan menyentuh butiran air sejuk.
“Baiklah, aku tidak memaksamu
untuk menceritakan semuanya kok.”
“Tidak apa-apa, terkadang aku
juga butuh teman. Suatu saat aku akan menceritakannya padamu.” Janjinya sambil
mengerlingkan mata. Sangat manis.
“Janji ya?” aku memastikannya.
Dia hanya mengangguk pelan dan menatap luasnya alam.
Hari ini kurasa bukan hari yang buruk,
hujan begitu bersahabat, menemukan ku pada sosok orang yang sangat
menyenangkan. Mulai dari hari inilah aku dan dia menjadi dekat. Aku pikir, dia
lelaki yang menyebalkan, ternyata tidak sama sekali. Sayangnya, aku belum
pernah mengenal siapa dia.
“Hei hujannya sudah reda,
berkeinginan untuk pulang? Atau menemaniku makan sebentar? Perutku sudah bunyi,
nih.” Dia memberi pilihan. Sebenarnya aku ingin segera pulang ke apartemen,
namun tidak enak dengannya. Lagi pula, sebagai tanda terimakasih, aku
menyetujui pilihan yang kedua. Dia terlihat sangat gembira dan aku sepertinya
begitu pula. Dia menyuruhku menunggu di bawah pohon yang rindang. Setitik demi
setitik gerimis masih membahasahi bumi yang sudah kuyup.
“Naiklah ke mobilku. Sebelum
hujan bertambah lebat.” Perintahnya sambil memberhentikan mobil tepat di
depanku. Aku mengangguk dan berlari ke arah pintu depan.
“Sepertinya kita mulai akrab ya?”
ucapnya dengan nada cepat.
To Be Continue.....
oi move on dong Eilinora Muireaan *modus*
BalasHapusoh iya, tesis tu apa kk ?? ._.