Selasa, 28 Agustus 2012

Puzzle Of My Heart *Part 10 ~ Ending*


#10 Behind Festival and True Love

@Sushi Restaurant
  
   Aku hanya mengikuti Nicole dari belakang sambil bertanya-tanya dalam hati. Dia memilih untuk duduk di lantai dua karena suasana lebih nyaman dan terhindar dari ramainya pengunjung malam itu. Dengan wajah dingin dia mempersilahkan ku duduk sembari meletakkan tas kulitnya.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya tanpa melirikku sedikitpun. Aku mencoba bersabar atas semua sikap anehnya.
“Tidak, aku sudah kenyang. Terimakasih.” Ucapku menolak. Dia hanya mengangkat bahu sambil memanggil pelayan.
“Jangan ajak aku bicara sampai aku menyelesaikan makan malamku ini.” Peringatnya. Aku hanya mengangguk sambil memainkan handphone.

   Triing! Bunyi hentakan garpu dan sendok menandakan Nicole sudah menyelesaikan makannya.
“Aku membawamu ke sini karena aku ingin bicara sesuatu.” Jelas Nicole. Tiba-tiba dia menatapku. Kulihat matanya masih menyiratkan rasa persahabatan padaku. Dan aku yakin, dia melakukan ini semua karena sebuah alasan. Entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh begitu cepat. Aku sedikit kaget melihatnya menangis. Segera kuambil selembar tisu dan memberikan padanya.
“Chii. Chisel.. Maafkan aku, selama ini aku selalu menuduhmu yang tidak-tidak. Maafkan atas sikapku yang tidak baik ini. Aku memang gadis bodoh! Gadis ingusan yang belum dewasa! Seharusnya kamu tidak berteman dengan gadis dungu sepertiku. Maafkan aku selama ini membuatmu kehilangan semangat belajar. Aku memang gadis yang bodoh!” Nicole memaki-maki dirinya sendiri. Aku hanya mematung melihat tindakannya. Dengan sangat terisak dia meminta maaf padaku. Tak berapa lama, rasanya mataku sudah terasa panas. Aku tak tahan lagi, segera kupeluk Nicole dan menenangkannya.
“Sudahlah, Nicole. Tak apa, aku sudah memaafkan mu jauh-jauh sebelum kamu meminta maaf.” Hiburku tersenyum. Dia hanya menganggukkan kepala sambil membalas pelukanku. Segera kupesan satu cup ice cream untuk menenangkan fikirannya.  

   “Selamat ya!” ucap Nicole sambil menelan ice cream huzzle-nut nya. Aku hanya melongo sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.
“Selamat atas apa?” Nicole hanya tersenyum simpul dan menghabiskan ice creamnya. Aku menatapnya penasaran menunggu jawabannya yang memuaskan.
“Kamu sudah berhasil menjadi pacar lelaki yang dulunya kamu benci. Bryan McFadden.” Sontak aku tertawa sambil memegang perut. Aku hampir tersedak atas apa yang dibilang Nicole. Nicole mengernyitkan keningnya.
“What’s worng?” tanyanya padaku. Aku belum menjawab. Hanya tertawa dan tertawa, sampai-sampai pelayan di meja seberang melihat ku dengan aneh. Setelah puas tertawa, aku menjawab,
“Tidak. Aku tidak pacaran dengannya!”
Kini Nicole yang tertawa bahkan lebih lama dariku. Dengan sabar aku menunggu hingga ia terdiam.
“Don’t lie! Aku tau Bryan suka padamu dan memintamu menjadi pacarnya, right?” ujar Nicole terburu-buru.
“Ceroboh! Memangnya kamu tau aku menerimanya?” pertanyaanku berhasil membuatnya kembali membeku.
“La… Lalu?”
“Tidak. Aku tidak menerimanya.” Ucapku pelan.
“Mengapa?!” Tanya nya kembali.
“Karena aku tidak mencintainya, Nicole. Aku tidak mau membuat Bryan jatuh dalam kebohongan ku.” Tiba-tiba Nicole memelukku kembali, dia mebisikkan sesuatu.
“Aku yakin keputusanmu benar. begitu juga dengan cinta Mark terhadapku.”
“Kamu tidak menerimanya?” tanyaku dengan geram.
“Aku belum menjawab. Tapi sungguh, aku tidak mencintainya. Aku… Aku telah mencintai lelaki lain, namun lelaki itu menyukai sahabatku sendiri.” Nicole mulai melunak. Ya Tuhan, jangan-jangan……..
“Kamu menyukai Bryan?” Dengan hati-hati aku memandang wajahnya. Tak lama dia pun mengangguk. Ternyata benar, setelah kuperhatikan selama ini Nicole memang menyimpan perasaan pada Bryna. Bodoh sekali! Mengapa aku tak menyadarinya dari dulu sehingga pertengkaran ini tak terjadi?!
“Maafkan aku Chisel, aku memang menyukainya. Alasan itu yang membuatku bersikap seperti ini. Aku … aku cemburu jika melihat Bryan bersama mu. Apalagi di depan mata kepalaku sendiri.” Terangnya kini dengan menunduk. Ah, ternyata cinta telah mebutakan nya, hingga ia nekat seperti ini.
“Tenang, Cole. Aku dan Bryan hanya sebagai teman, itu saja.” Hiburku. Dengan mata berbinar dan senyum yang merekah Nicole menangguk.
“Jadi, kita tetap bersahabat?” tanyaku sambil mengacungkan kelingkin.
“Tentus!” sahutnya menyambut kelingkingku. Di saat angin malam mulai berhembus membawa segala keluh kesah ku dan Nicole malam itu. segarnya udara malam membuatku mengantuk hingga memaksa Nicole untuk mengantarku pulang. Malam itu, menjadi malam yang indah bagiku. Di mana sahabatku kembali dalam kehidupanku yang selama ini merana seperti kehilangan separuh jiwa. Love you, always, Nicole!
***
   Pagi hari, dimana merpati meneguk air bening di kolam sekolah seolah sedang bersiap menyambut para siswa yang datang. Udara dingin pertanda winter akan datang memaksa ku mengenakan syal hijau lumut sambil memegang erat tas pink tua. Hari ini, pelajaran bebas, artinya kita bisa masuk kelas yang diinginkan. Sayangnya, aku tidak bisa masuk kelas fisika karena harus segera latihan untuk festival lusa besok.
“Pagi, nona.” Sapa Bryan, Nicky dan Mark ketika aku hendak menaiki anak tangga menuju kelas. aku hanya tersenyum sambil membalas,
“Pagi para pria tampan.” Entah mengapa, tiba-tiba rona merah muncul di wajah mereka bertiga. Aku hanya cekikikan sambil terus berjalan.

   “Loh, kalian masih di sini? Tidak masuk kelas?” kagetku ketika Bryan, Nicky dan Mark masih berdiri berjajar di dasar anak tangga. Mereka hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Kami ingin ikut anda, nona.” Ucap Mark. Aku hanya menepuk jidat sambil berjalan bersama mereka menuju ruang musik. Ketika aku sampai, ternyata masih sepi. Beruntung ada mereka bertiga yang menemaniku.
“Ehh, gue bisa main piano nih. Dengerin deh, terkhusus buat nona cantik ini.” Ucap Bryan membuat Mark dan Kian menggodanya.
“Lo suka ya sama Chisel?” Tanya Kian sambil nyengir.
“Cie cieeee….” Teriak Mark. Bryan hanya mengedipkan matanya hingga membuatku terpingkal-pingkal.
Sambil memainkan piano, Bryan juga bernyanyi. Suaranya yang khas membuatku ingin mendengarkan nya berkali-kali.

“An empety street, an empety house, a hold inside my heart
  I’am all alone the rooms are getting smaller
 I wonder how, I wonder why, I wonder where they are
The days we had, the song we sang together, oh yeah
And oh my love, I’am holding on forever reaching for a love that seems so far

So I say a little pray, and hope my dreams will take me there
Where the skies are blue to see you once again, my love
Over seas from coast to coast
To find the place I love the most
Where the fields are green
To see you once again, my love…”

   Tak kusangka, ternyata Bryan mempunyai kemampuan yang luar biasa. Dia mahir sekali memainkan piano seolah aku melihat dad yang memainkannya.
“Standing applause for you, Bry!” kagumku. Dia hanya tertawa sambil bangkit.
Aku memperhatikan sekeliling, sepertinya dia belum datang.
“Shane mana ya? Tumben belum muncul, biasanya dia paling awal.” Tanyaku.
“So sweet amat nanyain nya? Hahaha, palingan masih di kelas.” goda Kian. Aku hanya mencubit lengannya dengan pelan sambil menutup wajah.

   Lima menit, sepuluh menit, hingga waktu terus merangkak, Shane tak kunjung datang. Aku mulai cemas antara menunggunya maupun latihan yang harus segera dilaksanakan, karena waktu tinggal satu hari lagi! Dengan gontai, aku melangkah keluar ruangan meninggalkan tanda tanya pada mereka bertiga. Aku pun bingung dengan perasaan yang kini hadir, di saat aku membutuhkannya, dia malah tak hadir. Tuhan, semoga dia baik-baik saja. Ketika aku sudah berdiri di depan kelas Shane, aku memanjangkan leher mencoba mencari nya di dalam. Tiba-tiba seorang gadis berkacamata memanggilku,
“Hei, kamu mencari siapa?”
Aku diam tak bergeming mencoba menjawabnya,
“Shane ada?” tanyaku dengan cemas.
“Oh, dia sedang berada di UKS. Sepertinya dia terserang demam mendadak. Cobalah ke sana. Oh iya, kamu pacarnya ya?”
Seperti tersedak biji salak, aku terbatuk sehingga memaksaku untuk meneguk segelas air pemberian gadis itu.
“No, tentu saja bukan. We’re just friends.” Jelasku dengan muka bersemu. Gadis itu hanya tersenyum sambil mengangguk. Dengan cepat aku mengucapkan terimakasih padanya dan bergegas menuju UKS. Entah mengapa pikiran ku saat itu mulai kacau, kenapa tiba-tiba perasaanku sangat care padanya? Aneh.

   Tok.. tok.. tok.. Aku mengetuk pintu tempat Shane berbaring dengan pelan.
“Masuk,” ucap seseorang di dalam. Dengan sangat jelas itu suara Shane. Terdengar lemah, tidak seperti biasanya. Ketika masuk, aku terbungkam. Sebagian tubuhnya yang terbalut selimut dan di sampingnya terdapat beberapa obat membuatku terenyuh.
“Demam?” dengan lugu aku bertanya padanya. Shane mengangguk lemah. Seperti tersengat malaikat, aku memegang dahinya secara tak sadar. Demi Tuhan, sangat panas.
“Main hujan lagi?” tebakku dengan nada sedikit tinggi. Alisku menjungkit mencoba mengintrograsinya. Dia tersenyum dan mengangguk.
“Aku rindu hujan.” Ucapnya. Aku mengernyit sambil duduk di sampingnya.
“Sudah latihan?” Tanya kembali. Aku menggeleng sambil menatap langit ruangan.
“Aku menunggumu,” ujarku.
“Jika aku belum sembuh, kamu akan tetap tampil dalam festival itu. akan ada seseorang yang menggantikan ku. Aku rasa dia akan sangat cocok.” Terang Shane. Seperti terhantam godam raksasa, aku menatapnya dengan galak. Tidak mungkin! Jadi apa arti dari semua latihan yang selama ini kami jalani? Sia-sia begitu sajakah? Namun apa daya, demi kesehatannya aku tak bisa memaksa. Aku juga tidak mau dia tampil kurang maksimal.
“Pergilah temui Bryan, dia yang akan menggantikanku. Sudah mendengar nya bermain piano kan? Sudah bisa kutebak kamu akan terpukau dengannya. Suaranya juga tak kalah indah bukan? Pergilah.” Perintah Shane dengan nada sedikit memaksa. Aku bertahan, tetap di tempat. Aku mematung dengan tatapan kosong.
“Tidak! Sampai kamu benar-benar sehat dan dapat keluar dari ruangan yang sumuk ini, aku akan tetap bersamamu.” Yakinku. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba sikapku menjadi seperti ini? Aku juga tak begitu sadar dengan ucapanku barusan.
“Mau mengecawakan Ms.Elizabeth? Aku yakin, tanpaku kamu pasti bisa.” Shane tersenyum sambil mempersilahkanku keluar. Sebelum aku mencapai pintu, Shane menarik lenganku sambil berbisik,
“Aku tetap akan datang ke acara itu dan melihat penampilan mu yang luar biasa.”

   Denyitan pintu ruang musik kembali mengisi sunyinya ruangan yang hanya tinggal seorang. Baiklah, sepertinya Shane menuntutku untuk berkonsentrasi. Mencoba mengukirkan senyum namun susah. Hari itu mungkin menjadi hari terburuk di mana tanpa ada semangat menggebu.
“Demi Shane, akan kulakukan semua ini dengan sungguh-sungguh.” Tiba-tiba Bryan membuka mulut mempersilahkan ku mengambil tempat biasa. Aku menghampirinya dan mulailah kami berlatih. Untuk pertama kalinya berdua dengan Bryan.
***
   Cakrawala mulai menguning, menandakan datangnya malam yang dingin. Sepoi angin menggoda ku untuk mengatupkan mata dengan tenang. Tapi tidak dengan pikiranku! Masih terus terbayang wajah dan kondisi nya. Aku semakin tak mengerti dengan permainan cinta yang begitu sulit kupahami. Aku mencoba menggeser perhatian, percuma, sangat susah. Apa ini yang dinamakan cinta monyet? Terkadang membuat kita melayang berakhir dengan sakitnya perasaan. Namun mengapa aku begitu yakin dengan feeling ku kali ini? Tak terasa, waktu terus bergerak mau cepat ataupun lambat. Ketukan pintu kamar mebuyarkan segala lamunanku sambil menatap gelapnya langit.
“Semoga dia, “ harapku dalam hati. Sayangnya tak mungkin, dia sedang sakit.
Bryan? Ada apa?” tanyaku sambil membetulkan letak jaket yang agak kebesaran. Dugaan ku benar, bukan dia yang datang. Seseorang yang tiba-tiba kuharapkan untuk mengisi malam ku yang suntuk tidak benar-benar datang.
“Inner beauty mu keluar juga, nona.” Puji Bryan membuatku sedikit melejit. Hahaha, dasar gombal!
“Temani aku keluar sebentar, ya?” mohonnya tiba-tiba.
“Tenang, aku sudah minta izin pada tante Jodi, kok.” Sambungnya, buru-buru.
Baiklah, mungkin ini adalah kesempatan ku menjauh dari kepenatan. Aku mengangguk dan mengambil sebuah tas mini berwarna hijau.

   “Ke mana kita pergi?” tanyaku ketika mobil yang dikendarai Bryan memutar roda dengan santai.
“Go to the boutique.” Jawabnya pendek.
Butik? Untuk apa ke sana? Aku sedang tidak mood untuk belanja. Bisa-bisa rambutku keriting gara-gara melihat baju bertebaran. Bukannya hilang dari suntuk malah menjadi depresi. Setelah sampai, aku sempat enggan untuk masuk hingga Bryan menarikku.
“Ayolah, Chisel yang cantik, manis, cute, baik hati, suka menabung, rajin menolong, pintar, hormat orang tua.” Bujuk Bryan, lagi-lagi dengan konyol hingga aku terpingkal-pingkal membuat beberapa pengunjung melirik ke arah kami. Mungkin jika aku dan Bryan pacaran, setiap hari aku akan menjadi gadis tawa yang sangat aneh. Huh!
“Sebentar lagi, festival dimulai. Aku ingin kamu tampil beda, maksudku mengajak mu ke sini untuk fitting baju.” Jelas Bryan hingga membuatku tersentak sedemikian rupa.

   Tak butuh waktu lama, Bryan telah memilihkan ku sebuah gaun berwarna soft pink dengan corak hitam dan peyet putih. Terkesan sederhana namun sangat mengagumkan. Aku melongos melihatnya bersusah payah mengangkat gaun itu agar tidak rusak. Aku hampir tak percaya melihat apa yang dipilihnya. Se-modis itukah dia? Entahlah, sepertinya otak ku sudah full capacity hingga tidak mampu memikirkan nya kembali.
“Ayo kuantar ke kamar pas.” Bryan menarik lenganku.
Dengan masih menyimpan tanda Tanya besar, aku segera mencoba gaun pilihan Bryan itu dengan cepat. Ya Tuhan, it’s so beautiful. Aku berdiri layaknya seorang Cinderella pada abad 20 ini. Perlahan aku mengeluarkan diri dari kamar pas ini. Ternyata tidak ada orang, ku rasa Bryan menunggu di tempat aku dan dia masuk tadi. Dengan hati-hati aku berjalan sambil mengibaskan rambutku yang tergerai. Maklum, gara-gara Bryan menodong masuk ke rumah, aku jadi tidak sempat mengikat rambut.

   “Oh My God! Cantik melebih dari seorang putri kerajaan!” puji Bryan sambil menatapku lekat. Rona merah di pipiku seakan membalas tatapannya. Tiba-tiba wanita muda pemilik butik menyeletuk,
“Cantik sekali, pacar anda ya? Beruntung anda mempunyai gadis muda seperti dia.”
Bryan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk membuatku sedikit gusar. Mengapa kami selalu disangka sebagai sepasang kekasih? Entahlah, mungkin sikap Bryan yang menjadi penyebabnya. Aku hanya tersenyum kecut sambil mencubit pelan lengannya. “Tinggal di ubah style rambutnya, and all is perfect!” tukas Bryan.
“Baiklah, akan kusimpan rapi gaun ini untuk nona cantik. Besok pukul tujuh pagi segera datang ke sini kembali dan semua akan lancar.” ucap wanita muda itu sambil membawa gaun yang sudah kulepas dari tubuhku. Aku mengucapkan padanya kata terimakasih sambil menggandeng Bryan menuju mobil.
“Nona, besok akan aku jemput pukul setengah tujuh, oke? Jika belum bangun aku akan membawa hadiah kecil untuk mu.” Kata-katanya membuatku ingin meninju Bryan.
“Hadiah apa?” tanyaku
“Kecoa terbang. Hihiihi…” ujar Bryan sambil tancap gas. Telingaku memerah, bulu kudukku merinding mendengar kata-kata ‘Kecoa Terbang’. Dari kecil, aku memang takut sekali dengan binatang seperti itu. Oh God! Saat sampai di gerbang rumah, Bryan kembali mengingatkan pukul berapa aku harus bangun jika aku tidak menginginkan hadiah darinya. Dengan merengut aku mengangguk sambil berbalik menjauh.

   Pipp pipp! Dering handphone di atas laci kamar menghambat waktu tidurku. Dengan sedikit malas aku meraih hp dan melihat layarnya. Sebuah pesan masuk dari, Shane! Tiba-tiba hembusan angin malam yang segar membuat mataku berbinar sambil tersenyum berbunga-bunga. Padahal mungkin saja bukan hal nyang penting. Dia menanyakan kabarku apakah sudah siap menaklukan panggung festival tanpanya. Serta bagaimana persiapan kostum untuk besok. Dengan cepat kubalas pesannya diselipkan kalimat memastikan apakah dia sudah sehat.
Bruuukkkk! Aku menghempaskan tubuh ku yang terasa berat ke kasur kesayangan. Dengan berbalut masker dan timun segar melekat di mata, kunyalakn pendingin kamar dan mematikan lampu tidur. I’am ready for tomorrow!
***
   “Rambutnya style sanggul sederhana saja ya, biar tidak mengganggunya. Terus mascara agak ditebalkan karena bulu matanya tipis. Lipstick nya jangan berwarna terlalu terang, bajunya sudah cerah. Bloss on nya ditipiskan membentuk lengkungan tirus karena pipinya tidak terlalu tembam. Jangan lupa high-heel nya, pilih yang warna pink tua agar terkesan muda. Ingat! Sanggulnya biasa saja, atau jika mau, kuncir saja rambutnya dengan gaya tinggi.” Oceh sang make-over hingga membuat kami semua kalang kabut. Ada yang manggut-manggut, ada pula yang mencibir mengikuti gaya bicara nya. Asataga! Mungkin jika bukan tuntutan festival, aku akan teriak dan menerobos para makhluk aneh ini. Dan beruntung juga, ada Bryan yang sedang menahan tawanya. Kurasa semua yang dilihat dan didengarnya selalu terkesan lucu. Setelah 1 jam---------Astaga------------- akhirnya aku selesai memoles wajah dan sekarang waktunya mengenakan gaun serta high-heel berwarna cantik. Aku cukup puas dengan semua pesiapan yang ada. Walau agak sedikit tergesa, namun, dapat ku ancungi dua jempol.


   “Siap untuk tampil, putri?” goda Bryan hingga terdengar beberapa siulan di sekitar butik. Dia terlihat sangat tampan, lebih dari biasanya. Di sisi pintu keluar, wanita muda yang kami temui kemarin mengedipkan mata sambil berteriak,
“Good luck! You look so beautiful, today! Like a princess.”
Aku menghargai pujian nya sambil menyelipkan kata terimaksih lalu masuk ke mobil Bryan. Jujur saja, debaran jantung yang ku rasa sulit dikontrol ini semakin menjadi. Hingga matahari naik beberapa derajat, akhirnya kami sampai di sebuah gedung mewah dengan aksen pentas orkestra raksasa. Demi Tuhan! Aku mengalami rasa gugup luar biasa. Sambutan dari teman-teman satu maupun luar sekolah membuatku harus mendekatkan diri pada Bryan. Dan penyebab lainnya, dad ku------ Kian Egan------ seorang pianis terkenal hadir bersama mom dan Koa untuk melihat performance ku. Ku rasa, mental dad sudah sangat tebal hingga tak bisa ditembus tombak zaman purba. Lihatlah! Ini semua masih pentas kecil bagi dad, karena dad sudah sering mengisi acara dalam pentas musik dunia. Aku sangat-sangat salut memiliki seorang dad sepertinya!

   Aku sudah bergabung dengan seluruh peserta festival musik di ruang VIP. Sangat dingin, syukurlah aku memakai jaket, gaun ini sedikit membuat ku terkekang untuk bergerak. Aku mencoba mencari Shane, namun tidak ada. Rasanya seperti ada yang kurang, karena tanpa bantuannya aku pasti tidak menyanggupi acara ini.
“Hei, kenapa murung? Jangan membuat make-up mu luntur ya, putri.” Sampai saat ini, Bryan masih memanggilku dengan sebutan ‘putri’.
“Mencari Shane? Berdoa lah semoga dia dapat hadir.” Ucap Bryan dengan sungguh. Cahaya matanya menyiratkan sebuah keyakinan. Apa yang tersembunyi di balik binar mata biru nya itu?
Sepertinya acara sudah berjalan. Waktu terus merangkak mencoba memperlambat. Namun, aku merasa begitu cepat semua ini terjadi. Mulai dari pembukaan, sambutan, dan sampai pada penampilan masing-masing peserta.
“Setelah peserta yang akan maju ini, gilirran kamu yang akan tampil.” Peringat Bryan sambil melatih suaranya sedikit.
“Only me? Tapi kan kita tampil berdua, kok yang kamu sebut hanya aku?”
Deg! Aku mulai berkeringat menelisik arti kata yang diucap Bryan tadi. Bryan mengangguk dan tersenyum sambil menyodorkan beberapa potong roti isi untuk mengganjal perut yang sedari tadi menggelar konser seriosanya.

  “Next, the collaboration of music and sounds that will be displayed by the Neoclassical school. Please take the place.” Suara sang pembawa acara seakan mencekik leher ku, menyusup ke nafasku hingga membuatku sulit berdiri. Kaki ku terasa keram berdenyut tak karuan.
“Yakin dan percaya kamu bisa. Berdoalah sebelum memulainya.” Ucap Bryan dengan sedikit melunak. Aku menggenggam tangannya seolah tidak merelakan Bryan meninggalkan ku di panggung seorang diri.
“Ayo, jalan duluan. Aku di belakangmu.”
Shane, kamu dimana? Aku benar-benar gugup tanpa dampingan mu. Tuhan, aku percaya keajaiban, bisakah Engkau mengganti Bryan menjadi Shane? Aku terus meracau dalam hati. Mataku mulai sembab. Mungkin jika dad tau, dia akan mengejekku dengan kata-kata ‘payah’. Tiba-tiba hp ku berdering, ternyata pesan singkat dari dad.
“C’mon dear, kami menunggu penampilan luar biasamu. Dad yakin, kamu bisa! Berdoalah.”

Kembali kutatap wajah Bryan, dia masih mengulum senyum yang hangat, tapi aku merindukan senyum seseorang yang lebih hangat dari itu.
“Cepatlah, naik.” Perintah Bryan. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dengan doa dan dukungan orang-orang yang kucintai, aku mulai berjalan dan naik ke atas panggung. Namun tetap saja, aku hanya seorang diri. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran Shane. Dengan keyakinan, aku mengambil posisi di depan sebuah piano mewah berwarna putih bersih menajubkan. Di mana Bryan? Apa yang diucapkannya tadi benar? Aku hanya tampil seorang diri? Ku harap kini seekor lalat atau nyamuk bisa mendengar kesahku yang sangat tidak mengenakkan ini.

   Tiba-tiba lampu mati, dan sorakan juga tepuk tangan para penonton membahan seisi ruangan. Seseorang berdiri di sampingku, ku kira itu Bryan, ternyata……………. SHANE! He’s really Shane!! Astaga! Dia benar-benar di sini? Dia tersenyum dan mengisyaratkan padaku untuk memulai menekan tuts piano. Ketika aku memulai dia mengiringi dengan suara emasnya,

`` I would die for you
Lay down my life for you
The only thing that means everything to me
'Cause when you're in my arms
You make me prouder than 
Than anything I ever could achieve
And you make everything that used to seem so big
Seem to be so small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

And I often wonder why,
Someone as flawed as I 
Deserves to be as happy as you make me
So as the years roll by
I'll be there by your side
I'll follow you wherever your heart takes me
Cause you make everything that used to be so big
Seem to be soo small since you arrived

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Now anyone who's felt the touch of heaven in their lives 
Will know the way I'm feeling, looking
In my babay's eyes
That's why I can't bear to be too far away
I know that god must love me cause
He sent you to me on angel's wings 

On angel's winds, an angelical formation
Angel's wings, like letters in the sky
Now I know no matter what the question
Love is the answer
It's written on angel's wings

Love is the answer
It's written on angel's wings ``

   Jreeeeeeeeeeeenggg!! Can’t believe, I can do it!!! Thanks God, aku benar-benar ingin pingsan dapat kembali melihat Shane di sini. Shane menyambut tanganku dan menggandengnya ke hadapan ratusan penonton. Kami berdua memberi salam hormat. Di kejauhan, aku melihat dad, mom, dan semua orang memberi kami berdua sebuah `standing applause`. Bahagia mulai menjalar di jiwaku. Rasa rindu dan cemas kini terhapus dibawa terangnya sang surya dari celah-celah jendela. Merpati bertengger di ranting pohon luar seolah juga ikut puas dengan penampilan kami.

   Semua peserta di belakang panggung memuji penampilan kami tadi sambil menjabat tangan. Ah! Bahagia sekali rasanya. Ku lihat di sudut terangnya lampu, Bryan berdiri sambil menatapku dan Shane.
Bryan, thank too for everything! Sudah kuduga, bakalan ada yang aneh dari semua ucapan mu tadi.” Aku memeluk Bryan sebagai tanda terimakasih. Lalu Shane menghampiri Bryan dengan tujuan yang sama,
“Gue tau, cinta takkan dapat dipaksa. Sepertinya Chisel memang cocok untuk lo. Dari kemarin dia selalu khawatir keadaan lo, bro!” terang Bryan hingga membuat pipiku bersemu merah. Shane melirikku sambil cengar-cengir, imut sekali. Hahahah!
“Thanks bro, buat pengertiannya. Gue yakin suatu saat ada yang lebih baik buat lo.” Shane menepuk pundak Bryan dengan penuh persahabatan. Kami semua tertawa lepas. Shane mengajakku keluar dan menemui semua temanteman juga Ms.Elizabeth. Miss sangat histeris dengan performance kami yang sungguh amazing, menurutnya. Aku memeluknya. Di belakang sudah ada dad, mom juga Koa. Aku kembali memeluk dad dengan perasaan bangga serta mengucapkan terimakasih pada mereka atas dukungannya.
~ Take a rest ~

      Nicole! Tiba-tiba aku teringatnya, setelah lelah beristirahat, aku mencarinya. Dia pernah bilang, bahwa berusaha untuk datang walaupun telat. Ketika kutanya pada mom, dia sudah datang sejak aku dan Shane tampil. Namun sekarang entah ke mana. baiklah, aku segera mencarinya. Saat aku sampai di ujung jalan di sudut yang begitu luas, aku melihat Nicole------sangat cantik----- bersama seorang lelaki yang sangat tak asing bagiku.
“Aku… memang sedari dulu bertemu, aku memang menyimpan rasa padamu.” Ucap Nicole pelan. Apa? Nicole… dia pasti mengungkapkan pada lelaki itu.
“Aku memang sedikit bodoh, ternyata ada perempuan yang memperhatikanku. Maafkan jika selama ini aku kurang menyadarinya. Jika begitu, will you be my girlfriend?” ucap lelaki di depan Nicole. Tiba-tiba mata Nicole berbinar seolah mendpat oksigen baru.
“Really?? Yes, I will! Thanks Bryan!” Nicole lalu memeluk lelaki itu. hampir tersedak, dia sangat berani menyatakan pada ya… Bryan McFadden! Dan sekarang mereka berdua resmi berpacaran. Bagaimana dengan jawaban yang ditunggu Mark saat memintanya menjadi kekasih nya pula?

    “Tenang, Mark sudah tau semua ini.” Nicole membuyarkan lamunanku. Aku terkaget karena takut jika dikira menguping pembicaraan mereka.
“Congrtasss Bryan!! Sekarang kamu sudah punya kekasih yang sangat cantik!” aku memberi selamat pada Bryan dan Nicole. Mereka berdua hanya tersenyum. Aku rasa aku ingin ke toilet, dengan tergesa-gesa aku pamit pada mereka dan membiarkan mereka terlarut dalam kebahagian batin.

   “Mark?” aku mengernyitkan kening melihat Mark menggandeng seorang wanita cantik berparas Prancis. Mark hanya tersenyum dan berkata,
“Hai Chisel! Permainan mu bersama Shane tadi sungguh luar biasa! Perkenalkan, ini Calmond Grumbel, pacar baruku.” Wanita itu tersenyum sambil menjabat tangan ku. Ya Tuhan. Nicole sudah menemukan kekasih cintanya. Dan Mark sudah bertemu dengan tambatan hatinya. Aku kembali mengucapkan selamat dan berpamit untuk pergi duluan. Ketika aku sampai di sudut ruangan, ada seseorang menarikku lembut.
“Shane?” aku terdiam. Dia hanya berjalan memintaku mengikutinya. Setelah beberapa menit, kami sampai di sebuah taman indah dengan dinginnya angina tanda-tanda winter akan datang sebentar lagi.

   “Ada apa?” tanyaku dengan penasaran. Shane mengajakku duduk.
‘Masih ingat dengan dua surat misterius. Satu berbentuk hati merah muda dan satu lagi memintamu ke taman di sebelah lapangan sepak bola. Remember?” aku terhenyak. Benar-benar tidak menyangka.
“It’s me. Aku yang mengirim itu. maaf jika membuatmu penasaran dan terganggu namun maksudku,……” Shane menarikku berdiri di samping bunga tulip yang mulai membeku.
“Aku benar-benar ingin mengenalmu sangat dalam. Dengan alasan itu, baru sekarang aku sungguh-sungguh menyatakannya padamu. Aku benar-benar mencintaimu sejak aku mengenal dad mu, pianis terkenal, Kian Egan. Aku mengusulkan semua ini karena aku yakin, kamu mempunya bakat yang sama seperti dad mu. Dan itu benar. With all my beliefs, my love and sincerity of my heart, will you be my girlfriend?”
Aku benar-benar membeku dalam hawa dingin cinta. Aku benar-benar membisu dengan segala perkataan yang ingin kuucapkan, aku benar-benar tuli dengan apa yang dia katakana, aku benar-benar buta dengan apa yangkulihat sekarang. Semua! Semua harapan ku, yang selalu kupendam secara diam-diam telah terwujud menjadi nyata. Sekarang, Shane telah menyatakan bahwa dia telah terpikat pada ku. Dengan mata yang berkaca-kaca perlahan tapi pasti akan jatuh, aku mengangguk dan berkata,
“ YES, I WAN TO BE YOUR GIRLFRIEND, Shane!”
Aku memeluknya, tangis ku pecah, aku bersyukur pada Tuhan kini telah menyembuhkan lelaki yang sangat kucintai. Tiba-tiba semua orang yang ku kenal, berada di sekelilingku, mengukir senyum, memberi selamat pada kami yang telah resmi menjadi sepasang kekasih. Dengan tulus, aku mengecup pipi Shane dan Shane mengecup keningku.

    Dentingan jam, terus merangkak memakan peristiwa yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Surya mulai tenggelam di telan musim yang kini telah berganti menjadi salju yang selalu kutunggu-tunggu. Tepat di musim dingin ini, aku dan Shane menjadi sepasang kekasih. Kunikmati bersama Shane indahnya salju dan dinginnya udara membalut seluruh tubuh. Aku rasa, tidak ada lelaki yang sempurna, namun bagiku Shane segalanya. Dia telah memenuhi bahkan melebihi criteria seorang belahan jiwaku. Dad dan mom hanya tersenyum melihatku mulai dewasa dan percaya diri. Ini semua berkat dia, lelaki yang amat sangat kucintai, Shane Steven Filan. Dan kurasa, kini aku, Chisela Misery, seorang gadis beranjak dewasa, gadis muda yang beruntung mendapatkan hatinya Shane.

``Love comes by itself, wait until you're absolutely sure``

THE END
 ----- Buat semua yang sudah setia membaca, terimakasih. Saya sebagai author, memohon maaf apabila dalam penulisan mengandung hal-hal yang kurang pantas. Mohon dimaklumi karena saya sebagai penulis pemula yang mencoba merangkak ke arah yang lebih baik. Jika ada kritik, saran, komentar atau masukan, silahkan berikan, saya pasti menerima. Sekali lagi, thanks  for attention! :) 

6 komentar:

  1. Critanya keren,,,
    prok prok prok *tpuk tngan* :)
    coba aja shane cs maen film psti keren...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasihhhhh kak vino :) yeaaay!! seandainya westlife bikin film buat fansnya yaaa kak u,u

      Hapus
    2. Ada bkat koq jd penulis....
      Ada yg horror ga critanya..? Hehe

      #horrorlovers... ;-)

      Hapus
  2. Bagus de'... hahaha... Ending yang kamu harapkan sendirinya yaa... hahaha :D
    Good job, dear!!! ^-^

    BalasHapus
    Balasan
    1. huahahahaha, ceritanya Chisel itu aku <3 #eaaaa wkwkwkw, Thankkkkkkkk you kak ;)

      Hapus